SURAT DARI REDAKSI PELABUHAN Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, 10 Juli 1990. Seorang Jepang tua berjalan tertatih-tatih diiringi seorang lelaki (juga Jepang) setengah baya. Mereka baru saja turun dari pesawat SQ 162 yang terbang dari Singapura. Sementara itu, seorang ibu berdiri gelisah di antara kerumunan para penjemput. Sang ibu menatap satu per satu rombongan penumpang yang keluar dari ruang pengambilan bagasi. Sekali-sekali mata sang ibu melirik foto yang ada di tangannya. Tiba-tiba ibu itu melambaikan tangannya kepada lelaki Jepang tadi. Si Jepang langsung menyapa, "Yuyu-San?" Sang ibu menggangguk, dan keduanya bersalaman dengan erat. Mata mereka berkaca-kaca tapi wajah mereka tersenyum. "Sebenarnya saya ingin memeluk Papa, tapi saya ragu-ragu, takut itu tak sesuai dengan adat Jepang," tutur Sri Wahyu alias Yuyu, 45 tahun, ibu tadi, pengusaha sebuah salon kecantikan di Cirebon, Jawa Barat. Lelaki Jepang itu, Shusaku Wakamatsu, 73 tahun, memang ayah kandungnya, yang kini tinggal di Tokushima, Pulau Shikoku, Jepang, yang baru pertama kali ini dilihatnya. Cirebon, Indonesia, 1945. Kepala kempetai di kota ini bernama Wakamatsu. Rupanya, ia punya hubungan dengan seorang wanita pribumi. Jepang kalah perang, dan September 1945 Wakamatsu pulang ke Jepang meninggalkan wanita tadi dalam keadaan hamil tujuh bulan. Pada waktunya, wanita tadi melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi inilah Sri Wahyu. Jakarta, Desember 1986. Majalah TEMPO edisi 13 Desember menurunkan laporan khusus tentang Indonesia di masa penjajahan Jepang. Laporan itu memuat wawancara Seiichi Okawa, Kepala Biro TEMPO di Tokyo, dengan bekas kempetai Jepang. Di Bandung, Deddy Sudjarwanto, mahasiswa Unpad, membaca laporan itu. Terbit harapan di hatinya ia bisa mencari tahu kakeknya, bernama Shusaku Wakamatsu. Deddy memang putra Sri Wahyu. Deddy pun menyurati Okawa di Tokyo, tentang harapan itu. Di tengah kesibukannya sebagai wartawan, di tengah Tokyo, Okawa menyisihkan waktu untuk misi kemanusiaannya. Ia menelepon ke sana kemari, ke perseorangan maupun instansi pemerintah dan swasta Jepang yang pernah berada atau berhubungan dengan Cirebon semasa pendudukan Jepang. Akhirnya, Okawa menemukan Wakamatsu di Provinsi Shikoku. Akhirnya, berlangsung surat-menyurat antara Sri Wahyu dan Wakamatsu via Okawa yang masing-masing diterjemahkan Okawa ke Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang. Akhirnya, bapak-anak itu bertemu. "Sayang, ia cuma bisa seminggu di sini, tapi tahun depan ia akan datang lagi," tutur Sri. Itu misi kemanusiaan Okawa kedua. Yang pertama, berkat artikelnya di koran Jepang, Yomiuri, seorang anak perempuan Indonesia penderita penyakit mata yang langka, crouzon, bisa disembuhkan. Karena artikel itu sejumlah dermawan Jepang terketuk hatinya, menyumbangkan uang 7 juta yen (sekitar Rp 85 juta) untuk biaya operasi di Jepang. Okawa pula yang menghubungi para dokter ahli dan rumah sakit di Jepang, sampai akhirnya mata Swastika Bayuwati, 12 tahun waktu itu, putri Giri Supeno, wartawan The Indonesian Times, Jakarta, dioperasi dan sembuh -- di akhir 1984.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini