KELUARGA Marlia terpaksa bersedih dua kali, untuk hal yang
sama. Pertama, meninggalnya Awaluddin, pemeran bapak dalam
'Keluarga Marlia' itu, Ahad terakhir Februari lalu (lihat box).
Kedua, Maret ini di teve, dalam permainan sandiwara mereka.
Marlia Hardy, janda 53 tahun dengan dua anak, pengasuh sandiwara
tersebut dan sekaligus pemegang peran ibu, rupanya tak bersedia
mengganti peran Pak Awal dengan orang lain. "Acara kami standar
pendidikan. Jadi tak mungkin tokoh bapak diganti orang lain,"
katanya kepada TEMPO. Itulah sebabnya ia dan "anak-anaknya"
harus muncul di tv dengan cerita tentang kematian bapak. Juga
secara resmi para pirsawan tv tahu seterusnya "anak-anak Marlia"
akan menjadi yatim. Memang rupanya ada citra pada penonton,
bahwa 'Keluarga Marlia' di tv itu, sehari-harinya ya begitulah.
Citra itu akan tetap dipegang agar tidak mengecewakan.
Tentu, hilangnya tokoh bapak akan berpengaruh terhadap
"ramai"nya sandiwara remaja ini. Ditambah lagi mereka masih
mengalami kehilangan yang lain perginya Musa Sanjaya, pemegang
peran Kak Didu, yang sejak 6 Februari secara resmi berhenti
menjadi anggota.
Didu rupanya ingin juga bermain di tv bersama grup sandiwara
lain, sementara 'Keluarga Marlia' tak membolehkan hal itu. Dan
meskipun menurut Bu Mar, kalau main film atau sandiwara di luar
tv dia sama sekali tak dilarang, Musa (30 tahun ke atas, yang
menanggung keluarga dengan satu anak), rupanya memang sedang
dalam masa peralihan dalam usaha mencari rezeki. Waktu Awaluddin
meninggal misalnya, ia tak melayat karena menurut istrinya,
Khalilah, sedang ikut pengambilan film di Sumedang -- untuk tv.
Lebih dari itu ia sudah enam bulan bikin grup lawak (belum
diberi nama) bersama Urip Arpan, Atet (yang pertama "duplikat
Benyamin," yang kedua juara lawak) ditambah orang lenong
Mihardja -- dan muncul di panggung.
Dalam surat pengunduran dirinya, Musa juga mengakui bahwa
kepopulerannya sekarang ini tak lain berkat 'Keluarga Marlia.'
Tapi tepatkah tindakan keluarnya itu atau tidak, untuk
perjuangan bagi hidupnya lebih lanjut, yang jelas 'Keluarga
Marlia' harus "mengumumkan sesuatu" kepada penonton mereka.
Karena itu dalam kisah yang akan muncul di bulan ini juga, yang
menceritakan kepergian tokoh bapak, menghilangnya Didu juga akan
masuk tema. Akan dikisahkan: Didu tertabrak mobil pengendaranya
lari. Didu dibawa ke rumahsakit (semua itu hanya diberitakan
dengan dialog, tentunya), dan Ruri, toloh kemenakan dalam
"keluarga " itu, akan berkata "Kok tega ya, Kak Didu
meninggalkan kita?" -- Kesannya kira-kira: Kak Didu meninggal.
Mengapa harus begitu? "Soalnya, umpama kita katakan Didu pergi
ke suatu tempat, tentu dia kadang-kadang masih akan disebut
namanya -- bahkan penonton akan menunggu kapan pulangnya." Itu
keterangan Marlia.
Demikianlah selama tujuh tahun (grup ini muncul pertama kali
Juni 1973) sebuah "keluarga" tentu saja mengalami perkembangan.
Grup ini sendiri dahulu digolongkan dalam kelompok 'sandiwara
anak-anak' di tv -- dan mendapat jatah main dua kali sebulan --
sementara sekarang sudah digeser kedudukannya ke dalam kelompok
'sandiwara remaja' dan hanya mendapat sekali sebulan.
Bahasa Jawa
Maklum, "anak-anak" sendiri sudah menjadi besar. Tokoh Ruri
misalnya (Endang Mustikawati, 19 tahun), sekarang sudah kelas 3
SMEA. Kiki (Tuti Herani), tingkat 3 di sebuah akademi
perbankan. Dan ke dalam keluarga itu sudah masuk pula tokoh
supir (Masngudi) -- selain tokoh Bu Supi (Sofia A. Rachman) yang
tetap setia dan terlalu banyak berbahasa Jawa itu. Penonton yang
mengikuti mereka sejak-awal tentu mengetahui perkembangan itu,
bagaikan perkembangan dalam keluarga mereka sendiri.
Dan memang, grup Marlia Hardy dinilai sebagai kelompok sandiwara
yang paling realistis cerminan keadaan nyata sebuah keluarga
klas menengah-bawah yang hidup di salah satu kota di Indonesia.
Beruntung, teknik pembawaan yang mereka pilih sejak awal (oleh
Marlia, dengan beberapa bantuan Awaluddin tentunya) sangat klop
dengan latar belakang itu. Dalam dialog maupun blocking
misalnya, mereka terhitung bukan "Barat" -- juga tidak
dibikin-bikin seperti halnya drama "modern" atau film Indonesia
umumnya.
Memang, masih disangsikan mampukah para pemain yang selalu
membawakan naskah Marlia itu memerankan satu 'watak' seperti
yang misalnya dituntut dalam drama-drama yahg lebih "serius".
Toh peran-peran itu tidak pula 100% sama dengan keadaan orangnya
sehari-hari. Setidak-tidaknya lihatlah Didu juga anak-anak yang
lain.
Singkat kata, itulah grup yang modal pertamanya terutama berujud
bakat -- yang juga berarti kecocokan. Dan ini pula yang
menyebabkan kelompok seperti ini, kalau mau tetap bagus tidak
terlalu mudah mencari pengganti ataupun tambahan -- mesti yang
'khas', dan yang klop dengan kesatuan maupun latar belakang.
Diharap mereka tetap hidup, sementara bapak merestuinya dari
jauh, semoga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini