Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Temu Penyair dan Rute Menuju Kematangan

Banyak acara temu penyair berskala besar digelar tahun ini. Apa dampaknya bagi kemajuan sastra?

15 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Temu Penyair dan Rute Menuju Kematangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di
Akhir zaman
Tiada sesiapa
Mahu menikah
Melahirkan anak.
Di
Akhir zaman,
perempuan
Petak persegi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puisi berjudul Di Akhir Zaman itu dibacakan dengan langgam tenang oleh penyair Singapura Rohani Din, 65 tahun, sore itu. Ia duduk rileks pada sebuah level rendah di halaman luas Pusat Dokumentasi Informasi dan Kebudayaan Minangkabau, Padang Panjang, Sumatera Barat, Jumat, 4 Mei lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak seperti penyair lain yang rata-rata membacakan dua puisi, atau satu sajak tapi panjang, Rohani Din hanya tampil singkat dengan satu sajak pendek. Kenapa? "Biarlah anak-anak muda yang lebih banyak tampil. Mereka membutuhkan (pentas) itu," kata perempuan yang akrab disapa Bunda tersebut.

Acara pembacaan puisi sore itu adalah bagian dari rangkaian perhelatan Temu Penyair Asia Tenggara yang digelar di Kota Padang Panjang (3–6 Mei). Tak kurang dari 300 penyair dan pegiat literasi Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara berinteraksi selama tiga hari itu.

Banyak agenda yang mesti dijalani para peserta. Acara pembacaan puisi, pentas seni, dan seminar yang membahas perkembangan sastra sudah pasti jadi menu utama. Juga ada peluncuran antologi Epitaf Kota Hujan yang menghimpun karya peserta dan penulis tamu. Antologi ini dikurasi oleh Sulaiman Djuned, Iyut Fitra, dan Ahmadun Y. Herfanda.

Dalam seminar yang bertema "Sastra Merekatkan Persatuan Antarbangsa" itu tampil pembicara dari berbagai negara. Mereka, antara lain, adalah Prof. Dr. Abdul Hadi W.M. (Indonesia), Asst. Prof. dr. Phaosan Jehwe (Thailand), Prof. Madya Dr. Rahimah Binti A. Hamid (Malaysia), dan Dr. Hjh. Fatimah Hj Awg Chuchu (Brunei Darussalam).

Di luar itu, ada agenda menarik, yakni pencanangan Padang Panjang sebagai kota literasi. "Kami menyiapkan perhelatan ini sejak empat tahun lalu," kata Muhammad Subhan, ketua panitia, dan pegiat literasi Padang Panjang. Target penyelenggaraan kegiatan, salah satunya, adalah memperkenalkan wisata budaya Padang Panjang. Namun ada ambisi besar lain, yakni menjadikan kota berhawa sejuk itu sebagai kota literasi.

Di luar tujuan tersebut, muncul pertanyaan menggelitik. Dalam pertemuan antar-penyair yang bisa dibilang kolosal itu, apakah dampaknya bagi perkembangan sastra? Pertanyaan itu kian penting diajukan karena pertemuan di Padang Panjang itu bukan satu-satunya pertemuan akbar para penyair pada tahun ini. Masih ada kegiatan serupa di kota-kota lain.

Tahun 2018 ini adalah masa yang sibuk bagi para penulis puisi Indonesia. Dari triwulan kedua hingga keempat, nyaris selalu ada acara temu penyair berskala besar di berbagai daerah.

Setelah Padang Panjang, pada pertengahan Juli nanti bakal digelar Festival Sastra Bengkulu yang mempertemukan 150 sastrawan di Asia Tenggara. Mata acaranya kurang-lebih sama dengan event di Padang Panjang, yakni pentas sastra, seminar, wisata sastra, dan peluncuran antologi puisi.

Kesamaan lain, ada target yang terkait dengan kota penyelenggara, dalam hal ini Bengkulu. "Mempromosikan dan mengenalkan sejarah serta budaya Bengkulu," kata ketua panitia Willy Ana. Tujuan lainnya, kata Willy Ana, adalah agar jaringan antar-seniman kian terbuka. "(Hal itu) akan membuka akses seniman lokal ke forum yang lebih luas."

Masih di Juli, negara jiran Singapura juga akan menggelar pertemuan penyair serumpun. Info mengenai hal ini diperoleh dari Rohani Din. Lalu pada November para sastrawan kembali bisa saling melepas kangen di acara Sawahlunto Poetry Reading Fest di Baturunciang, Sawahlunto. Penyelenggaraan tahun ini adalah yang kedua.

"Misi awalnya adalah memperkenalkan destinasi alam baru di Kecamatan Silungkang, yakni Baturunciang," kata Eddy Pramuduane, yang bersama anak muda Silungkang bernama Freddy menggagas acara ini.

Acara kemudian diwujudkan dengan dukungan Dinas Kebudayaan dan Benda Bersejarah Permuseuman Sawahlunto. Pada acara nanti, selain penyair dalam negeri, juga diundang para pujangga Asia Tenggara, Jepang, Belanda, Italia, Turki, dan Maroko.

Benang merah dari rangkaian semua acara itu sangat menarik, yakni sastra dimanfaatkan untuk mendukung eksistensi kota penyelenggara. Entah untuk menegaskan identitas tertentu (menjadi kota literasi, misalnya), atau untuk mempromosikan destinasi wisata setempat.

Barangkali ini adalah ikhtiar agar sastra tidak hanya asyik sendiri di menara gading. Tapi karena para sastrawan tengah berkumpul, boleh juga diajukan pertanyaan yang sempat disinggung di atas: bagaimana dampaknya bagi dunia sastra?

Kalangan penyair rata-rata berpendapat manfaatnya akan muncul secara tidak langsung. Ayu Harahap, penyair dari Medan yang mengikuti acara di Padang Panjang, mengatakan interaksi yang terjadi sesama penulis akan menambah wawasan. "Saling memberi masukan tentang kualitas tulisan masing-masing," kata dia.

Ayu juga menjadikan acara itu sebagai ajang "mencuri" ilmu para senior. Caranya, mengajak mereka berdiskusi. Dia berharap, dengan demikian, kualitas tulisannya meningkat.

Subhan Ihsan dari Cianjur berpandangan serupa. Saat mengikuti acara di Padang Panjang itu dia mengaku banyak berdiskusi dengan sejawat soal sastra. "Ngobrol dengan sesama penyair sense-nya lebih dapat. Lebih fokus," kata dia. Subhan yakin hasil interaksi itu akan berpengaruh terhadap kualitas karyanya.

Bagi Iyut Fitra, hal yang menarik adalah penerbitan antologi yang menyertai kegiatan. Penyair asal Payakumbuh ini tak menampik dalam mengkurasi antologi yang berkaitan dengan perhelatan, kualitas tak sepenuhnya jadi pegangan utama. Tapi ada faktor lain, "Misalnya kuota yang dinginkan panitia."

Tapi dia tetap optimistis antologi itu bisa jadi ruang pergulatan bagi para penyair untuk mematangkan proses. "Kami menemukan beberapa puisi bagus yang ditulis penyair-penyair muda."

Raudah Djambak, penyair Medan, punya rumusan sederhana. "Ini lebih sebagai silaturahmi sastra. Dan itu juga penting," kata dia. Sastra memang butuh jalan panjang menuju kematangan. Ada banyak pos yang mesti dilalui, salah satunya silaturahmi antar-penyair. TULUS WIJANARKO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus