THE FUTURE OF INTELLECTUALS AND THE RISE OF THE CLASS
Oleh: Alvin W. Gouldner, New York
The Seabury Press, sebuah buku Continuum, 1979, 121 halaman
dengan bibliografi dan indeks.
KAUM intelektual, sadarilah siapa dirimu". Slogan ini agaknya
layak diterapkan sebagai penyifatan isi buku Gouldner -- buku
kedua dari triloginya yang berjudul The Dark Side of the
Dialectic. Keseluruhan buku ini ditujukan untuk membuktikan
kesalahan anggapan kaum Marksis yang berpendapat, bahwa
pertentangan dasar abad ini terjadi antara kaum kapitalis dan
kaum proletar. Atau, dengan sedikit modifikasi, antara kaum
petani dan kelas yang menguasai mereka.
Dilihat dari kacamata Gouldner, semboyan yang relevan dalam
pertentangan kelas bukanlah seruan Marx dan Engels yang
berbunyi: 'kaum buruh sedunia, bersatulah!' Harus dicari
semboyan lain.
Antara kelas bawah yang diisap, dan kelas atas yang melakukan
pengisapan, menurut Gouldner, muncul sebuah kelompok baru yang
tidak mudah dikategorisasikan memihak kepada siapa. Kelompok
itu, menurut Gouldner, adalah kaum intelektual modern. Ini
dibaginya ke dalam dua kategori: kaum intelektual (yang
mengutamakan kecakapan) dan kaum inteligensia (yang mengutamakan
pengembangan pemikiran).
Kelas Cacat
Poros intelektual dan inteligensia itulah yang dinamai Gouldner
'kelas baru' -- yang memiliki peranan terpenting dalam dinamika
dan pertentangan kelas di abad modern ini. Lawan 'kelas baru'
adalah 'kelas lama' yang oleh Gouldner dinamai kelas beruang
(moneed class).
Mulanya, 'kelas baru' adalah kelompok lebih berpendidikan belaka
dari kelas beruang itu sendiri. Tetapi dalam jangka panjang,
dengan semakin khususnya pembidangan kecakapan, terjadi
kompetisi sengit antara kelas baru yang memegang fungsi
pengelolaan modal dan kelas beruang yang hanya memiliki modal
secara formal. Mereka, dalam pertarungan berkepanjangan, akan
dibuat lemah oleh kelas baru, diredusir menjadi rentenir,
penikmat hasil dividen tanpa berwewenang melakukan usaha, dan
sebagainya.
Justru dalam fungsi pengelolaan modal itulah terletak sikap
moral yang ambivalen dari kelas baru. Di satu pihak, baik karena
ketulusan dan kejujuran intelektual mereka maupun karena
kebutuhan oportunistik, kelas baru melakukan aliansi dengan kaum
buruh dan petani menentang kelas beruang.
Itu misalnya tercermin dalam sejumlah isu yang disitir Gouldner
dalam hal. 16-17: kebebasan kampus, perlindungan hak-hak
konsumen, pengembangan sistem manajemen yang lebih menghemat
sumber, tuntutan pemberian tempat dominan bagi para ahli dan
brain trusts dalam penentuan kebijakan umum, pengembangan pamong
praja yang independen dari kekuasaan politik, gerakan
pelestarian alam dan gerakan kebebasan wania (women's lib).
Tetapi, di pihak lain, sebagaimana semua kelas lain dalam
perjalanan sejarah, kelas baru ternyata hanya memperjuangkan
kepentingannya sendiri -- sering atas kerugian kaum buruh dan
petani.
Gouldner menunjuk pada kelemahan beberapa penyifatan kelas baru
sebagai 'teknokrat penyejahtera' (Galbraith Bell, Berle dan
Means), 'kelas memerintah' (Bakunin, Machajski), 'pendamping
kelas lama' (Parsons) dan 'pengabdi kekuasaan' (Chomsky dan
Zeitlin). Dan sebagai gantinya Gouldner mengajukan konsep kelas
baru sebagai kelas cacat (Flawed Universal Class) yang berwatak
elitis, mengejar kepentingan sendiri dan menggunakan kecakapan
spesialistisnya untuk mengembangkan kekuasaannya sendiri, dan
untuk menguasai situasi kerjanya sendiri' (hal. 7).
Walau memiliki cacat luar biasa dalam dirinya, kelas ini
merupakan kelas yang semakin meningkat peranannya, dan memiliki
kemungkinan terbesar untuk menumbangkan kelas lama -- hal yang
sudah tentu menguntungkan kelas buruh dan petani. Sebagai kelas
yang memiliki pertentangan internalnya sendiri, yang bersifat
mendasar, ia akan mengubah wajah sejarah.
Dari keenambelas 'tesis' yang merupakan bab-bab buku ini, tesis
pertama memeriksa kelemahan-kelemahan utama 'Skenario Marksis'
karena revolusi-revolusi abad ini banyak timbul dari kelas
petani, dengan sendirinya setelah revolusi berhasil, bukannya
pembangunan sosialis yang terjadi -- melainkan hanya upaya elite
urban untuk menguasai mereka dengan segenap cara. Begitu juga
Skenario Marksis ternyata tidak mampu menjawab pertanyaan, di
manakah sebenarnya tempat kaum teoretisi.
Adalah kaum teoritisi yang menimbulkan dan mengarahkan revolusi.
Tanpa mereka, yang nantinya mengajukan klaim sebagai pengawal
revolusi, kaum petani tidak akan mampu membuat revolusi,
melainkan hanya serangkaian pemberontakan. Tidak ada pengalihan
pemilikan secara kolektif dalam skala masif -- yang menjadi inti
revolusi sosial - berlangsung dalam pemberontakan.
Tesis kedua merumuskan hubungan kaum intelektual di satu pihak
dan kaum petani dan massa rakyat lainnya di pihak lain. Kaum
intelektual menyediakan kerangka yang diperlukan bagi sebuah
revolusi. Sedang mereka sendiri berfungsi selaku penengah dan
pengawal revolusi guna mendapat basis kekuatan massa rakyat.
Tesis ketiga melihat kedua jenis utama kelas baru yang terlihat
dan yang tak terlihat. Kelas baru sering harus menyembunyikan
diri di balik profesionalisme untuk dapat tinggal hidup di
hadapan kekuasaan menindas. Peranan revolusionernya dilakukan
hanya secara terselubung, seperti dalam pengembangan isu-isu
yang diamati Gouldner di atas.
Tetapi di negara-negara berindustri maju, kaum intelektual
berperan sebagai penuntut struktur masyarakat baru. Ia menentang
subordinasi dirinya kepada kepentingan kelas beruang. Perjuangan
itu mengambil bentuk dua macam: menegakkan masyarakat sosialis
di negeri-negeri sosialis, dan menciptakan masyarakat
berkecukupan (welfare state) di negeri kapitalis.
Mengingat sifatnya yang demikian, kelas baru dengan sendirinya
lalu berperan sebenarnya sebagai sebuah burjuasi kultural --
yang dikaji dalam tesis kelima. Pemilikannya atas modal kultural
sekaligus menyatukan kelas baru dengan kelas pekerja -- dan
memisahkan keduanya. Yang menyatukan adalah kebutuhan
menumbangkan kelas beruang. Yang memisahkan adalah berkembangnya
bahasa tersendiri bagi kalangan kelas baru, pendidikan
tersendiri dengan sistem reproduksi kelas baru itu sendiri
sebagai hasilnya, dan berkembangnya pembidangan lebih jauh di
lingkungan kelas baru sendiri.
Ho Chi Minh
Lalu harus dibedakan antara kaum intelektual dan inteligensia,
seperti disebut di atas. Juga antara birokrasi gaya lama dan
kelompok baru yang dinamai Gouldner sebagai 'intelegensia
staf'--seperti terjadi di kalangan pemikir militer yang
melakukan revolusi untuk menumbangkan kelas beruang di Peru,
Portugal dan Ethiopia.
Tak dapat diabaikan juga peranan 'intelektual revolusioner'
--yang dikupas Gouldner dalam tesis kesepuluh. Di Dunia Ketiga,
kaum intelektuallah yang memimpin revolusi: Chou En-lai, Chu
Yeh, Liu Shaochi dan Ho Chi Minh dikemukakan sebagai contoh.
Mereka merupakan lingkungan tersendiri dalam kelas baru. Bahkan
Marx sendiri seorang intelektuil, dan Marksisme adalah hasil
jerih payah melakukan 'revolusi' di perpustakaan.
Buku ini menarik untuk dibaca. Banyak pelajaran dapat ditarik
darinya - terpenting adalah justru kesadaran semakin mendalam
akan kemungkinan yang dapat diraih kaum intelektual kita sendiri
dalam perjuangan menegakkan masyarakat yang demokratis,
benar-benar adil dan mampu menyejahterakan warganya. Juga untuk
menyadari keterbatasan peranan intelektual sendiri.
Pembahasan metodologis dan teoretis lainnya dari buku ini sangat
berharga. Sebagai panduan menelusuri literatur tentang
pertentangan kelas. Apalagi ia ditulis dari sudut pandangan
Hegelian yang tidak cengeng dan romantis, tetapi tetap memiliki
kerangka moral yang utuh.
Abdurrahman Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini