HANYA tiga atau empat tahun yang silam, ketika Pikiran Ketua Mao
masih jadi azimat revolusi di daratan Cina, Revolusi Kebudayaan
(RK) atau lengkapnya Zichanjieji Wenhua Da Geming (Revolusi
Besar Kebudayaan Proletariat) merupakan tonggak sejarah penting
dalam revolusi Cina. Tak kurang dari Hua Guofeng sendiri yang di
tahun 1978 masih menjabat ketua partai, perdana menteri dan
ketua Komisi Militer dengan lantang berkata: "Tanpa Revolusi
Kebudayaan, tiada RRC seperti sekarang inl."
Sekarang keadaannya sudah sangat lain. Jelas sudah kampanye
untuk menilai kembali Mao dan pikiran-pikirannya serta
menempatkan kembali pada proporsi sebenarnya, tak lain dari
gerakan untuk secara berangsur menghapus bekas-bekas dominasi
Mao yang telah berlangsung tak kurang dari 40 tahun. Dalam
kecenderungan semacam ini, Deng Xiaoping sendiri di tahun 1978
mengatakan: "Revolusi Kebdayaan telah dimanipulasikan oleh
Jiang Qing, Lin Biao dan para pengikutnya buat menghabisi
lawan-lawan mereka."
Sabda Deng seolah-olah suatu salvo untuk mengadakan
"pengganyangan anumerta" atas diri Mao dan ajarannya, terutama
yang bertalian dengan RK. Sejak tahun 1978 bermunculanlah
serangkaian tulisan, seminar maupun pernyataan yang isinya
menyerukan penilaian kembali atas Mao dan Maoisme. Tendensi itu
masih berjalan sampai sekarang. Patut dicatat, Mao pribadi tak
pernah secara langsung dikritik. Semua kesalahan ditimpakan
kepada Jiang Qing, Lin Biao dan kelompok mereka.
Faksionalisme merupakan salah satu hal yang disebut sebagai ciri
khas RK dan "kerunyaman terbesar" yang diwariskan oleh Lin Biao
dan komplotan empat. Hu Yaobang sendiri, Sekretaris Jenderal PKC
menulis dalam majalah teoritis partai Hong Qi (Panji Merah) dan
mengatakan faksionalisme sebagai "bekas-bekas mentalitas kuno
dan kebiasaan feodal penyebab timbulnya klik Lin Biao dan
komplotan empat," yang menyebabkan "naiknya orang-orang tertentu
ke panggung kepemimpinan partai sambil mencelakakan orang lain."
Berbicara tentang Mao pribadi dan Maoisme, Huang Kecheng,
seorang pejuang revolusi kawakan rekan Mao yang sekarang
menjabat ketua Komisi Pengawasan Disiplin PKC menulis dalam
Jiefangjun Bao (Harian Tentara Pembebasan). Ia berkata: "Sebagai
tokoh terkemuka pembangun partai Ketua Mao telah beberapa kali
menyelamatkan revolusi Cina dari krisis. Sayangnya, di
tahun-tahun terakhir hayatnya ia melakukan kesalahan. Sesudah
dasar-dasar sosialisme di Cina tercapai, ia tidak memfokuskan
kerja partai ke pembangunan sosialis, melainkan menempatkan
perjuangan klas sebagai tugas utama. Akibatnya ia mengacaukan
perselisihan antara kita dengan pertentangan antara kita dengan
musuh."
Dalam skema terencana untuk mendiskreditkan RK ini bekas-bekas
Pengawal Merah pun dijadikan alat propaganda. Baru-baru ini
Beijing Review memuat wawancara dengan beberapa pemuda/pemudi
yang di masa RK dulu menjadi aktivis. Orang-orang ini, yang
semuanya berumur 30-an, mengakui bahwa RK cuma merupakan
tindakan-tindakan anarkhis yang mengganggu ketenteraman dan
kelancaran produksi. Mereka menuduh Lin Biao, komplotan empat
dan para pengikut mereka telah memanipulasikan RK buat
keuntungan politik kelompoknya.
Sejalan dengan tendensi ini gejala paling menyolok adalah
rehabilitasi atas orang-orang yang dulu jadi korban. Contoh
hidup tentu saja Deng Xiaoping (arsitek Empat Modernisasi dan
de-Maoisasi), Hu Yaobang (Sekretaris Jenderal Partai) dan Zhao
Ziyang (Perdana Menteri), tiga serangkai yang merupakan tokoh
kunci RRC sekarang. Yang menonjol tentu saja rehabilitasi
anumerta atas Liu Shaoqi. Karyanya yang penting "Bagaimana
Menjadi Komunis yang baik" juga diterbitkan kembali. Buku manual
Liu itu sekarang digunakan sebagai alat penanaman kembali
disiplin dalam partai yang sejak RK mengalami kemunduran.
Berita terakhir dari daratan Cina mengatakan bahwa Song
Qingling, janda "Bapak Revolusi Cina" Sun Zhongshan (Sun
Yat-sen) telah diangkat jadi Ketua (Presiden) RRC. Sejak Liu
Shaoqi digulingkan jabatan itu tetap dikosongkan. Song yang
berusia lebih dari 80 tahun dan sakitan tentu cuma akan
melakukan tugas protokoler belaka. Tapi, berat dugaan apabila
Song sudah tiada nanti, akan diangkat seorang presiden yang
punya kekuasaan eksekutif menentukan. Spekulasi yang lebih
"berani" bahkan mengatakan, pengangkatan Song dipakai sebagai
jalan pelancar duduknya Deng Xiaoping sebagai Ketua RRC. Jelas,
ini menunjukkan gejala ke arah pra-RE.
Revisi atas RK yang dijalankan para penguasa di Beijing
berpengaruh besar ke kalangan ahli masalah Cina di luar RRC.
Dulu, sejak meletusnya RK di akhir tahun 1965 sampai pertengahan
tahun 70-an, para pengamat Cina melihat RK dalam konteks yang
luas (makro). Mereka yang berada di "kiri" maupun "kanan"
melihat pergulatan politik selama RK sebagai pertentangan antara
golongan Maois dan non Maois. Yang tertarik pada peranan
Pengawal Merah terpukau oleh daya tarik Mao terhadap generasi
muda yang terpanggil oleh seruan untuk berevolusi.
Sejak akhir tahun 70-an, sejalan dengan penilaian kembali atas
Mao dan ajarannya di Beijing, ditambah dengan makin terbukanya
negeri itu terhadap dunia luar, kecenderungan di atas sedikit
demi sedikit mulai ditinggalkan. Malahan bisa dikatakan bahwa
dalam tahun-tahun terakhir ini telah muncul sekelompok
"revisionis" yang tidak melihat RK sebagai bayangan konflik
Maois lawan non-Maois.
Termasuk ke dalam kalangan ini misalnya Hong Yung Lee yang
menulis buku The Politics of the Cultural Revolution. Ia
berusaha membuktikan bahwa di antara jutaan anggota Pengawal
Merah didapatkan komposisi klas, taktik dan tujuan perjuangan
yang berbeda. Semua itu membawa akibat terjunnya para pemuda ke
dalam RK dilatarbelakangi oleh komposisi klas mereka, tidak
hanya membeo kepada panggilan Mao. Studi Anita Chan dan
kawan-kawannya atas para bekas aktivis Pengawal Merah di Kanton
yang baru-baru ini dimuat dalam majalah China Quarterly
menampilkan kesimpulan yang sama.
Mark Blecher dan Gordon White yang menulis Micropolitics in
Contemporary China menganalisa RK secara mikro. Kedua penulis
itu berkesimpulan, memang kalau dilihat secara makro RK
berhubungan erat dengan masalah-masalah nasional seperti jurang
pemisah antara elitedengan massa, penerusan nilai-nilai
revolusi, perubahan nilai-nilai budaya, dan penolakan terhadap
individualisme. Namun, kalau dilihat secara mikro, konflik itu
berkisar pada faktor-faktor "asal klas" (class origin) seperti
pekerjaan, mobilitas, keuntungan diri, persahabatan, dan
persoalan-persoalan pribadi lainnya. Debat tingkat nasional
menyediakan retorik untuk diskusi lokal, tapi tidak menentukan
isu utama mana yang akan jadi bahan perdebatan. Sumber konflik
di tingkat lebih rendah berkisar pada masalah-masalah lokal yang
kadang-kadang sepele, bukan persoalan politik tingkat tinggi.
Pendapat tradisional yang menilai para pelaku kegiatan politik
di Cina hanya sebagai mesin politik belaka dan tidak berhati
nurani nampaknya akan ditinggalkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini