Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Titik Samar di Ujung Lorong

Kumpulan tulisan yang begitu gamblang lagi padat analisis untuk meneropong "gerhana" dalam dunia politik bagi perempuan Indonesia.

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik Perempuan Bukan Gerhana Pengarang: Ani Widyani Sucipto Penerbit: Kompas, 2005 Tebal: 332 halaman

Perjalanan setapak demi setapak, tanpa henti, tanpa mengenal lelah itu telah memungkinkan aktivis perempuan menggapai "sesuatu" yang pada awalnya dianggap impian, "lelucon", mustahil dicapai dalam masyarakat Indonesia yang masih sangat kental dengan budaya patriarki. Dalam bukunya, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Ani (panggilan Ani Widyani Soetjipto) mencatat usaha gerakan perempuan sepanjang 1999-2004 sampai berhasil membuka pintu masuk ke dunia politik bagi perempuan Indonesia. Kemajuan, walaupun baru merupakan "Angin Segar tetapi Bukan Angin Surga" (judul salah satu bab), menunjukkan kesadaran Ani bahwa "Memang Jalan Masih Panjang" (bab terakhir).

Selasa 18 Februari 2003 hari yang bersejarah. DPR telah mengesahkan Undang-Undang Pemilu yang mencantumkan Ayat (1) Pasal 65 dalam batang tubuh UU Pemilu: "Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen." Disadari bahwa ketentuan tersebut masih "sangat lemah" dengan dicantumkannya perkataan dapat. Kata yang juga mengartikan kebalikannya: kalau demikian, maka dimungkinkan pula partai politik tidak dapat mengajukan perempuan calon anggota legislatif berbagai tingkatan.

Menjelang Pemilu 2004, partai-partai yang sebelumnya enggan memperhatikan kebutuhan keterlibatan perempuan dalam dunia politik sekalipun terpaksa mencari perempuan yang bersedia dicalonkan untuk badan legislatif dan tentu saja turut serta berkampanye meyakinkan calon pemilih tentang keunggulan partai yang didukungnya. Namun, jika tidak dapat, undang-undang mendukungnya juga dalam keterbatasan usaha mencari calon perempuan. Tentu saja, bagi perempuan yang bersedia dicalonkan, masih banyak yang hanya "digunakan" oleh pimpinan partai yang didominasi laki-laki dengan meletakkannya di urutan sepatu, hanya untuk memperoleh suara bukan agar berhasil menjadi anggota DPR.

Usaha mendapatkan perempuan yang bersedia dicalonkan tidak mudah dicapai oleh partai politik. Bukankah dunia politik adalah dunia laki-laki karena politik itu "keras". Lihat saja bagaimana anggota DPR dapat saling adu jotos. Atau, pernyataan demikian sering diucapkan oleh laki-laki yang sebenarnya tidak menghendaki perempuan memasuki dunia yang begitu lama dikuasainya. Dan memang, akhirnya dalam dunia politik pun berlaku "zero sum game" karena kursi legislatif terbatas jumlahnya. Maka, kalau ada perempuan yang berhasil menang, berarti ada laki-laki yang dikalahkan.

Demikianlah kenyataan yang dihadapi perempuan dalam dunia politik. Sebaliknya, belum banyak perempuan yang bersedia memasuki dunia publik umumnya dan dunia politik khususnya. Di antara perempuan aktivis, yang umumnya berpendidikan cukup tinggi, beredar anggapan bahwa politik itu "kotor" karena yang hitam dapat dibuat putih dan sebaliknya yang putih dapat dibuat hitam, dunia tanpa prinsip dan sering pula tanpa etika.

Walaupun demikian, disadari pula bahwa kalau perempuan ingin berperan mengubah keadaan, perempuan harus dapat menjadi kekuatan dalam badan legislatif, turut membuat dan/atau mengesahkan undang-undang yang berpihak pada kepentingan perempuan. Umumnya peraturan perundang-undangan yang diharapkan netral dalam kenyataannya sangat bias gender, seperti misalnya Undang-Undang Perkawinan. Kepentingan perempuan sukar mendapat perhatian seperti ditunjukkan oleh sukarnya meloloskan RUU KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) menjadi undang-undang, dan belum berhasilnya meloloskan RUU PPILN (Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri).

Kondisi itulah yang direkam oleh Ani sebagai latar belakang usaha aktivis perempuan dengan dukungan media massa turut menyumbang pada berkembangnya demokrasi di Indonesia yang meletakkan dasar kesetaraan, keterwakilan, dan keadilan melalui affirmative action untuk perempuan di parlemen. Rekaman Ani yang sangat baik dalam Politik Perempuan Bukan Gerhana merupakan kumpulan tulisan pilihan yang dibuatnya antara 1999 dan 2004. Perubahan judul tulisan lebih sesuai dengan judul buku yang merupakan rekaman sejarah perjuangan perempuan menggapai tempatnya dalam dunia politik Indonesia. Buku ini terdiri dari tiga bagian. Bagian Satu mengenai posisi perempuan di dunia politik umumnya. Bagian Dua merekam berbagai penjuru perjuangan perempuan membuka pintu keterlibatan perempuan menentukan kepentingan perempuan melalui parlemen, dalam dunia perpolitikan yang didominasi laki-laki. Dalam Bagian Tiga, Ani mengingatkan bahwa keberhasilan tercapainya kuota 30 persen dalam Undang-Undang Partai Politik 2003 merupakan titik terang dalam lorong yang panjang.

Bagi gerakan perempuan pendukung demokrasi yang mencari keadilan dan kesetaraan gender, rekaman sejarah dalam Bagian Dua merupakan inti perjuangan, keberhasilan, dan juga peringatan. Dalam bagian ini Ani mencatat "Terobosan Strategis" yang dibutuhkan melalui reformasi konstitusi dan pemilu (139-158). Namun, dicatatnya bahwa karena "Reformasi Setengah Hati", penerapan kuota perempuan dalam paket Undang-Undang Politik menjadi sangat urgen (159-162). Tetapi, melalui "Perjuangan yang Tidak Mudah", Ani mengingatkan ditemuinya "Jalan Buntu di Panja RUU Parpol" (163-168). Dalam "Angin Segar tetapi Bukan Angin Surga" dibahasnya bahwa arti keberhasilan affirmative action dalam bentuk kuota 30 persen tersebut memang titik terang, tetapi lorong masih panjang (169-174). Perdebatan yang berkembang tentang arti Pasal 65 (1) dalam UU Pemilu 12/2003 direkamnya dalam "Kebijakan yang Tidak Mudah Dimengerti" (175-188), yang diikuti dengan tindakan lanjutan berbagai kalangan yang diperlukan "Membangun Sinergi dan Jejaring" (189-208).

Dalam Bagian Tiga, Ani mengingatkan beratnya medan perjuangan perempuan memasuki dunia politik Indonesia yang masih sangat kuat didominasi laki-laki "Politik Indonesia Masih Menjadi Dunia Laki-laki" (235-301). Namun, kegigihan kaum perempuan telah berhasil membuka pintu "Langkah Awal Baru Saja Dimulai" (302-310).

Namun, tentu saja tiada gading tanpa retak. Tulisan yang dengan begitu baik, begitu gamblang, tetapi padat analisis situasi mencapai "gerhana" dalam dunia politik bagi perempuan Indonesia, sangat disayangkan, kurang mendapat perhatian editorial. Pembaca diganggu oleh cukup banyak kesalahan ketik, kesalahan pengertian (misalnya GPSP bukan kependekan Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan, h. 284, melainkan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan), tabel yang kurang rapi dengan angka di belakang koma yang tidak konsisten.

Terlepas dari beberapa kesalahan kecil tersebut, Ani Widyani Soetjipto dengan sangat baik telah memberi sumbangan yang sangat berharga. Ani telah berhasil merekam dengan rinci sejarah perkembangan keberhasilan sekelompok aktivis perempuan dengan dukungan media massa menunjukkan pijar dalam lorong dunia politik yang sangat kental dominasi laki-laki. Buku ini tidak hanya harus menjadi bacaan bagi perempuan aktivis dan/atau politisi, tetapi juga bagi masyarakat umumnya yang ingin belajar bagaimana dunia yang dikuasai oleh sekelompok orang (dalam hal ini laki-laki) dapat dimasuki oleh kelompok marginal, kaum perempuan.

Jakarta, 29 Mei 2005 Mayling Oey-Gardiner, pemerhati masalah perempuan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus