Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Saladin

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yerusalem, apa harga kota ini? Pertanyaan ini mungkin lebih tua ketimbang abad ke-12 dan tak berhenti pada abad ke-21.

Konon, Oktober 1187, di depan tembok Yerusalem yang telah bobol, itulah yang ditanyakan Balian, Baron dari Ibelin, yang mempertahankan kota itu, kepada Saladin, pemimpin pasukan Muslim yang mengepungnya. Pertempuran besar berhenti. Puluhan ribu manusia tewas di kedua belah pihak, sebelum akhirnya Yerusalem diserahkan. Apa sebenarnya nilai dari kota yang telah menimbulkan perang yang tak berkesudahan yang disebut "Perang Salib" ini? Dalam film Kingdom of Heaven yang disutradarai Ridley Scott, Saladin menjawab pendek pertanyaan sang Baron: "Tak ada." Lalu ia berjalan kembali ke arah pasukannya. Tiba-tiba ia berpaling dan berkata, "Segala-galanya."

Saya tak tahu, itukah yang terjadi dalam sejarah. Tapi film ini—yang tampak berniat sedapat mungkin setia kepada yang pernah dicatat para penulis tarikh, tapi juga tak hendak melepaskan hasratnya untuk jadi sebuah tontonan gaya Hollywood—setidaknya meninggalkan semacam teka-teki: bagaimana sebuah kota yang "tak ada" harganya juga bisa berarti "segala-galanya"?

Saladin (dimainkan oleh Ghassan Massoud) tampak sebagai pemimpin yang memikirkan baik-baik apa yang dikatakan dan dilakukannya. Inginkah ia tunjukkan, dalam perang memperebutkan Yerusalem itu manusia memberikan makna yang tak dapat ditawar-tawar kepada sesuatu yang sebenarnya nihil nilainya? Tapi ia bukan seorang yang sinis; ia seorang yang arif. Ataukah ia ingin menunjukkan, kian sengit perebutan klaim si Yahudi, si Nasrani, dan si Muslim atas Yerusalem, kian tampak kota itu sebagai lambang yang kosong dan sebab itu terbuka bagi semua pihak untuk mengisinya dengan makna?

"Yerusalem sudah tak ada lagi," kata Tiberias. Penasihat militer Raja Baldwin V ini (dimainkan oleh Jeremy Irons) datang dari kalangan Kristen yang menganggap perang hanya sia-sia. Dulu ia datang ke Yerusalem karena percaya bahwa kota itu harus dipertahankan demi Tuhan dan iman. Berangsur-angsur dalih itu terkuras oleh waktu dan kesalahan. Yang tersisa: sebuah semangat yang profan, bahkan terkadang jorok, dari kekuasaan. Tiberias dan pasukannya akhirnya menampik ikut bertempur mempertahankan Yerusalem ketika perdamaian tak dapat dipertahankan lagi. Sebelum ia pergi, ia berpamitan kepada Baron dari Ibelin, kesatria yang meskipun menyukai perdamaian dengan orang Muslim, akhirnya bertekad tinggal untuk menahan serbuan Saladin. Kata Tiberias: "Semoga Tuhan bersamamu; Ia sudah tak lagi bersama aku."

Bersama siapa sebenarnya Tuhan waktu itu? Mungkin Tuhan hanya disebut dengan ambisi untuk membuat yang-absolut menguasai hidup manusia. Sementara itu orang macam Tiberias tahu, yang-absolut tak akan menyelamatkan apa pun, juga di Yerusalem. Diterapkan oleh manusia, yang-absolut tak kenal kesabaran.

Tiberias, Baron dari Ibelin, dan Saladin tahu: bahaya besar menunggu manusia bila iman membakar habis kesabaran. Mereka tampik desakan orang yang memprioritaskan kemenangan Kristen atau Islam di atas kehidupan sesama. Mereka tak mau mengunggulkan doktrin yang kekal di atas keterbatasan tubuh dan jiwa: sejarah bukanlah sesuatu yang gampang.

Sejarah seperti Yerusalem: sebuah riwayat bolak-balik antara titik ketiadaan makna dan titik di mana makna dimutlakkan. Kota itu tak sepenuhnya nol; ia bukan sebidang kain bersih yang tak punya bekas peradaban. Karena tiap peradaban menyembunyikan jejak barbarisme, Yerusalem disebut "yang suci" (Al-Quds) bukan karena ia punya Baitullah dan nabi-nabi, melainkan karena pengalaman dan hasrat, fantasi dan kekuasaan. Yerusalem—baik di dalam daulat Kristen, Muslim, ataupun Yahudi—tak akan jadi cermin kerajaan Surga, dengan kesempurnaan dan kesucian yang tak terbantah.

Mungkin itu sebabnya peran yang paling menarik dalam film ini adalah Baldwin V, raja yang mengenakan topeng keemasan untuk menutupi parasnya yang membusuk terserang lepra, penyakit yang menurut keyakinan disebabkan kutuk Tuhan.

Raja ini suara lembut yang tahu bahwa yang-suci mustahil akan datang sepenuhnya di Yerusalem. Baginya perang atas nama iman Kristen melawan mereka yang Muslim bukanlah laku yang sakral. Ia memilih perdamaian. Ketika dua pasukan besar berhadapan di dataran Kerak, ia mengucapkan "Assalamualaikum" kepada Saladin. Saladin menyahutnya, seraya dengan hangat menawarkan resep obat kepada raja Nasrani itu. Perang baru terjadi ketika Baldwin wafat dan para pemimpin yang fanatik mengambil alih kekuasaan.

Dalam hal ini Kingdom of Heaven agaknya menyimpang dari catatan sejarah. Tampak film ini ingin menunjukkan hubungan antara si penderita lepra, sosok yang malang dan terkutuk, dengan laku yang mulia: hanya dalam sengsara dan mengenal kesengsaraan kebesaran jiwa bukan sebuah kesombongan.

Saladin bukanlah seorang yang sengsara, tapi ia dikagumi sebagai seseorang yang tak hendak membuat kesengsaraan tak dapat dielakkan. Tiap kali ia harus mengorbankan jiwa manusia, ia siap untuk berdamai, mungkin karena ia tak pernah secara final menyimpulkan bahwa yang dilakukannya adalah untuk memperoleh sesuatu yang berarti "segala-galanya". Selalu terselip di hatinya: jangan-jangan ia sebenarnya sedang hendak mencapai sesuatu yang sama sekali tak bernilai.

Tentu saja Saladin hanya satu pelaku dalam sejarah "Perang Salib" yang panjang dan kompleks itu. Mungkin sultan berdarah Kurdi itu malah sebuah perkecualian. Ketika ia jamin bahwa tak ada orang Kristen yang akan dibunuh ketika mereka meninggalkan Yerusalem, ia mengatakan, ia tak dapat disamakan dengan "tiap orang". "Saya Salahudin," katanya, "Salahudin."

Lalu dimasukinya kota itu. Di satu ruang istana, dilihatnya sebatang salib tumbang ke lantai karena pertempuran beberapa jam yang lalu. Dengan tangannya sendiri, ditegakkannya kembali lambang itu.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus