Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Toko Kue dan Boneka Ibu

Kiki Sulistyo

24 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
tempo/kendra paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Toko Kue

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kamu kurus dan tampak telantar. Rambutmu kusut seperti tak pernah tersentuh air. Baju kaus dan celana pendek kumal, sekumal kulit di sekujur tubuhmu. Aku memegang es krim. Kamu berdiri di depanku. Tidak ada kata-kata. Matamu menatapku tanpa bisa kumengerti artinya. Jalanan sangat ramai. Dunia yang aneh, banyak gambar dan warna-warna. Tapi mata dan pikiranku seperti diarahkan kepadamu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibuku keluar dari toko kue. Mencari-cari aku. Lalu menemukanku berbagi es krim denganmu. Ibu meraih lenganku, setengah terseret aku menjauh darimu. Dia tidak berkata-kata, tapi aku rasakan dari genggaman tangannya suatu perintah, agar aku tak lagi melakukan hal yang sama. Kami pergi, meninggalkanmu. Jalanan sangat ramai. Aku bisa memilih apa yang akan aku lihat; barisan toko, papan-papan iklan, seorang anak yang membawa boneka. Tapi aku tidak bisa memilih apa yang akan aku dengar. Semua suara masuk ke telingaku, tanpa aba-aba, tanpa permisi. Aku tidak tahu dari mana sumber suara-suara itu. Mereka seperti makhluk hidup yang tidak bisa mati. Tidak ada saat yang benar-benar sepi tanpa suara. Bahkan, bila aku bermimpi, mimpi itu akan penuh suara-suara.

Tapi tak ada suaramu. Kita tidak pernah berbicara di menit-menit yang singkat itu. Di jalanan, sebelum kami sampai rumah, aku membayangkan seperti apa suaramu. Mungkin setelah kami jauh, kamu berkata, "Es krim..."Ah ya, es krim itu masih di tanganku. Lumer dari bungkusnya, menyentuh punggung tanganku, seperti getah. Seharusnya aku berikan es krim itu untukmu. Setidaknya kamu bisa memiliki saat-saat yang menyenangkan. Tapi ibuku pasti akan marah, seperti dia marah ketika melihat es krim menyentuh punggung tanganku. "Habiskan..," katanya. Matanya setengah melotot, seperti mata robot. Aku menjilat lelehan es krim itu.

Entah kenapa aku merasa seperti menjilat getah dari pohon yang dilukai. Aku pernah melihat pohon yang dilukai. Kakakku yang melukainya. Dengan paku, kakakku membuat gambar hati dan menuliskan namanya dan nama seseorang yang tidak kukenal. Beberapa hari kemudian, aku melihat dari gambar itu meleleh getah berwarna cokelat. Aku menyentuh getah itu, seperti menyentuh hati dari nama-nama di gambar itu. Getah itu sudah mengeras. Mungkin sepasang hati itu juga sudah mengeras. Sebab, kakakku kemudian menghilang, tak pernah lagi kembali ke rumah.

Ibu dirundung muram. Ayah, ah, aku malas membicarakan ayah. Ia seperti hantu yang kadang ada di rumah, kadang entah ada di planet mana. Ibu dan ayah suka bertengkar. Tapi mereka bertengkar tanpa mengeluarkan suara. Mata merekalah yang bertengkar. Cahaya di mata keduanya seperti tidak bisa bertemu untuk menerangi ruangan di dalam rumah.

Suatu ketika, seperti biasa ayah tak ada di rumah, tapi tak seperti biasa, semenjak itu ia tak pernah lagi ada. Aku tinggal berdua dengan ibu. Semakin hari aku lihat ibuku semakin tak pernah berbicara. Cahaya di matanya juga lenyap entah ke mana. Mungkin cahaya itu memburu musuhnya. Ibu ada bersamaku, tapi cahaya matanya menghilang, pasti ayah telah mengambil cahaya itu. Dunia yang aneh. Waktu memang berlalu; aku bersekolah, bermain, menangis, jatuh sakit, bertambah besar, melihat kenyataan, lalu menua. Tapi aku tak pernah sungguh-sungguh mengalami semua itu.

Suatu hari ibuku tiba-tiba tak bisa berjalan. Seluruh peristiwa pelan-pelan seperti terhapus dan aku kembali menjadi seorang anak kecil yang sedang memegang es krim. Rasanya pertemuan denganmu baru saja berlangsung tadi pagi dan malamnya ibuku sudah terbaring di dipan seperti seekor penyu tua yang terdampar di pantai. Aku ingin mencari kakakku. Aku ingin mencari ayahku. Mungkin kakakku berdiam di dalam pohon tempat ia pernah menorehkan gambar hati dan menuliskan namanya dan nama seseorang yang tidak kukenal. Mungkin ayahku berdiam di mata ibu, masuk jauh ke dalam rongganya hingga tak bisa dilihat lagi. Tapi pohon itu sudah ditebang dan mata ibu tak pernah lagi terbuka selamanya. Mustahil aku bertemu dengan ayah dan kakakku. Dan karena ibu hanya berbaring saja dengan mata terpejam, ia takkan marah lagi padaku kalau aku membiarkan lelehan es krim menyentuh punggung tanganku. Ia juga tidak akan marah kalau aku berikan es krim padamu.

Aku akan kembali ke toko kue, membeli es krim dan memberikannya padamu. Kamu masih di sana, bukan?

Boneka Ibu

Ibuku sebuah boneka. Suatu ketika ayah membawanya dari kota. "Ini ibumu," katanya singkat. Ibu mengedip-ngedipkan mata. Rambutnya pirang terang, kulitnya cokelat kekuningan. Aku memeluk ibu dan ia tertawa geli. Kadang kuajak ibu berjalan-jalan. Setiap bertemu orang segera kupamerkan. "Wah, cantik, kulitnya halus sekali, bulu matanya lentik," ucap seseorang. Yang lain berdecak kagum, apalagi ketika mencium harum kulit ibu. Aku senang sekali. Setiap hari kubawa ibu ke sana-kemari.

Kalau aku sudah cukup besar untuk sekolah, aku pasti akan membawa ibu ke dalam kelas. Tapi, kata ayah, aku masih terlalu kecil. Teman-temanku yang setiap pagi berangkat sekolah lewat depan rumah sering berhenti sejenak, melihat aku dan ibu bercengkerama. Mereka ikut tertawa ketika kupeluk ibu dan ia tertawa geli. Aku senang sekali.

Karena semua orang di sekitarku sudah tahu, aku ajak ibu ke tempat lebih jauh, bajuku sampai kotor oleh debu yang diterbangkan angin ketika aku berjalan. Tapi ibu tetap tersenyum dan tertawa-tawa geli setiap kali kupeluk. Tempat itu ramai, jalanannya lebar, gedung-gedungnya menjulang. Ada jembatan di atas sungai yang airnya keruh. Banyak anak-anak sepantaranku bermain di sana. Aku menghampiri mereka, duduk tak jauh dari tepi sungai. Aku ingin anak-anak itu melihat ibu, lalu seperti orang-orang lain, mereka akan terkagum-kagum dan memuji kecantikannya. Namun, rupanya mereka tak tertarik. Mereka lebih asyik bermain air, entah apa enaknya main di air keruh begitu, yang jelas mereka bahkan tak melirik sedikit pun padaku. Meski telah kupancing-pancing dengan memeluk ibu erat-erat sehingga ibu terus tertawa-tawa, anak-anak itu tak juga mengalihkan perhatiannya padaku. Karena bosan, aku pergi dari tempat itu. Aku berjalan di depan barisan pertokoan sembari memamerkan ibu pada setiap orang. Di depan sebuah toko kue, aku melihat seorang anak laki-laki menyodorkan es krim pada seorang anak perempuan berambut kusut yang mengenakan pakaian kumal. Aku mau memamerkan ibu kepada mereka, tapi seorang perempuan tiba-tiba keluar dari dalam toko dan menarik lengan anak laki-laki itu agar menjauh. Aku jadi takut. Muka orang-orang di sini tampak kusut seakan ada cacing yang menggerogotinya. Bahkan, seseorang menyuruhku pergi ketika di depan deretan etalase kaca aku melihat banyak orang berdiri diam mengenakan macam-macam pakaian. Aku memamerkan ibu pada orang-orang yang diam itu, tapi tak ada reaksi apa-apa, bahkan mereka tak bergerak sedikit pun. Ketika kudekatkan ibu pada kaca etalase, saat itulah seseorang itu keluar dari dalam toko dan menyuruhku pergi.

Ayah marah-marah ketika aku pulang. Dua sabetan sabuk kulit cukup membuat betis dan wajahku panas. Di betisku tercetak dua garis kemerahan dan di wajahku tumpahan air mata membuat debu-debu basah dan luntur, mengotori kulitku. "Kecil-kecil ngapain main jauh-jauh? Untung kamu tak diculik. Main di rumah saja, ibumu bisa mati kalau kamu ajak main jauh-jauh!" seru ayah. Aku tidak mau diculik, juga tidak mau ibu mati. Jadi aku menurut. Beberapa hari aku diam di rumah. Berdua saja dengan ibu. Tapi lama-lama aku bosan juga. Lagi pula, sejak ada ibu, anak-anak di sekitar rumah seperti malas bermain denganku. Mereka juga tidak lagi mengagumi dan memuji kecantikan ibu. Sementara ibu tetap saja tertawa-tawa setiap kupeluk.

Karena rasa bosan itu, aku mulai berjalan lagi membawa ibu. Mula-mula ke tempat-tempat sekitar, tak jauh dari rumah. Tapi makin hari makin jauh, meski aku selalu ingat untuk pulang sebelum ayah pulang entah dari mana. Aku takut diketahui ayah.

Suatu hari, aku tak tahu jalan kembali. Rupanya, karena terlampau riang, aku dan ibu berjalan sampai ke dalam hutan. Tanpa kuduga, petang tiba-tiba membentang. Burung-burung siang pulang, kelelawar dan serangga malam ke luar sarang. Cahaya lebih cepat sirna karena daun-daun menyerapnya. Aku jadi takut. Aku takut ayah akan marah lagi. Aku takut diculik. Aku takut ibu mati, seperti kata ayah. Apalagi ketika kabut turun dengan lembut, pandanganku samar hingga tak kulihat lagi di mana ibu berdiri. Aku seru berulang kali, "Ibu, Ibu, Ibu…!" Tapi hanya gema suaraku berkumpul dan saling memantul.

Malam tiba. Gelap paripurna. Aku gemetar mendengar suara anjing hutan. Hampir menangis, aku mencari ibu. Sambil memanggil-manggil, tanganku meraba-raba sekitar. Meski sudah berjalan pelan, tetap saja kakiku terantuk batu atau selintang kayu. Ibu tak menyahutku. Rasa sedih menjalar seperti akar, kecemasan bergoyang di sekitar. Lalu kudengar suara seutas suara memanggil namaku.

Itu pasti suara ibu. Benar, itu pasti suara ibu. Dari balik pohon besar ada kulihat cahaya memancar. Seorang perempuan keluar. Itu memang ibu, hanya saja kelihatan sedikit berbeda. Sekarang ibu tak lagi kaku. Tubuhnya lentur seperti penari yang pernah kulihat di televisi. Ibu menghampiriku. Dari rambutnya tercium aroma wangi. Pelan-pelan aku merasa tenang kembali; ibu sudah kutemukan, kini, aku bisa pulang. Kupeluk ibu, tapi ia tak tertawa geli seperti biasa. Aku ragu-ragu, benarkah ini ibu? Kulepaskan pelukan. Wajah perempuan itu seperti tak kukenal. "Kau bukan ibuku!" kataku berseru. Senyumnya terlepas, pancaran cahaya dari kulitnya seperti terkelupas. Aku merasa ngeri. Tak bisa kutahan kakiku untuk lari. Tapi, yang terjadi, aku hanya bisa mengayunkan kaki tanpa bisa maju. Kupercepat ayunan kaki, tetap saja aku tak bisa maju. Aku semakin ngeri. Tenagaku nyaris habis. Aku menangis sejadi-jadinya. Gerakanku kian lambat dan berat, hingga tak sanggup lagi bergerak. Aku jatuh tergeletak.

Saat itu kudengar suara manja seorang bocah, yang mirip suaraku sendiri, berkata hampir menangis, "Ayah, ayah, bonekanya mati…." 

(Kekalik, 2017-2019)


Kiki Sulistyo meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 untuk kumpulan puisi Di Ampenan, Apalagi yang Kau Cari? (Basabasi, 2017) dan Tokoh Seni Tempo 2018 bidang puisi untuk buku Rawi Tanah Bakarti (Diva Press, 2018).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus