THE RISE OF ERSATZ CAPITALISM IN SOUTHEAST ASIA Oleh: Yoshihara Kunio Penerbit: Oxford University Press, New York, 1988, 297 halaman YOSHIHARA Kunio dari Universitas Kyoto, yang berkedudukan di Center for Southeast Asian Studies (Pusat Penelitian tentang Asia Tenggara), telah menulis sebuah buku yang penting dan mendorong kita untuk berpikir. Ia membahas tumbuhnya kapitalisme di Asia Tenggara, meski yang dimaksudnya adalah negara-negara anggota ASEAN, kecuali Brunei Darussalam. Ia memilih memakai istilah ersatz untuk bukunya ini. Istilah ini memang kurang enak kedengarannya, sebab artinya adalah "buatan, pemalsuan", atau "pengganti/substitut". Menurut Yoshihara Kunio, perkembangan kapitalisme di ASEAN ini (termasuk Singapura) bersifat ersatz. Dengan memakai istilah "kapitalis" dan "kapitalisme", Yoshihara sebenarnya memakai istilah yang kurang populer di banyak negara ASEAN maupun kalangan akademis. Sejak kritik Marx terhadap kapitalisme, para akademisi lebih cenderung memakai istilah seperti: penanam modal atau pengusaha, sebab istilah kapital memiliki sifat negatif dan dapat diartikan politis. Dengan memakai istilah kapitalis, Yoshihara bermaksud mengembalikan istilah kapitalis dalam kedudukan terhormat lagi di dunia akademis dan di masyarakat. Menurut Yoshihara, pemakaian istilah lain untuk kapitalis mengacaukan dan menyamarkan peran sang kapitalis. Yoshihara meminjam konsep mengenai kapitalis dan kapitalisme dari Fernand Braudel, sejarawan Prancis yang terkenal. Para pengusaha, pemilik modal di ASEAN, kata Yoshihara, sama kedudukannya dengan para kapitalis di Eropa menurut konsepsi Braudel, dan ia tak ingin menyamarkan isu ini. Kalau istilah itu disamarkan, pasti akan menimbulkan kebijaksanaan yang samar dan bisa salah. Dengan sangat meyakinkan, pengarang telah menunjukkan bahwa modal Barat di negara-negara ASEAN setelah Perang Dunia II sangat menurun dan tidak lagi memiliki kedudukan dominan, kecuali di Singapura. Di negara-negara ASEAN lain, modal Jepang telah menduduki tempat terbesar. Dalam produksi mobil, tekstil, dan barang-barang listrik, Jepang telah mendesak modal Barat. Hanya dalam eksplorasi minyak dan dalam pengilangan minyak modal Barat masih dominan. Namun, sebenarnya modal asing ini tidak berarti apa-apa atau sangat kurang penting kalau dibandingkan dengan modal atau kapital domestik dari tiap-tiap negara ASEAN. Dalam skala besar (jumlah uang), skala produksi dan skala operasinya, modal dalam negeri ini jauh lebih besar daripada modal luar. Yang melambangkan munculnya modal domestik di ASEAN ini adalah supermarket dan perbankan di kota besar yang menempati gedung-gedung yang sangat mencolok dan strategis. Supermarket Sarinah Jaya di Jakarta, misalnya, dikatakan lebih besar daripada, umpamanya, supermarket Jepang seperti Daimaru di Singapura, dan menawarkan barang yang jauh lebih beraneka. Juga dalam perbankan, bank-bank domestik melayani secara efisien segala macam transaksi dalam dan luar negeri, dan sangat berhasil bersaing dengan bank-bank asing. Singapura merupakan kekecualian, sebab di Kota Negara itu modal asing masih yang terbesar dibandingkan dengan modal domestik. Modal domestik ini sebagian besar dikuasai oleh apa yang disebut Ethnic-Chinese, atau kalau di Indonesia WNI keturunan Cina. Definisi "Cina-etnis" ini berbeda dari negara ke negara. Di Muangthai, "Cina-etnis", yang terkenal dengan istilah "Sino-Thai", tidak menjadi persoalan. Di Singapura juga tidak, karena sebagian besar penduduk adalah "Cina-etnis". Di Filipina hanya ada perbedaan antara Cina asing atau warga negara Filipina, walau dulu untuk memperoleh kewarganegaraan Filipina dipersukar. Di Malaysia dan Indonesia, legitimasi "Cina-etnis" ini masih diragukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Entah ini karena mayoritas penduduk di dua negara itu beragama Islam, atau karena peninggalan pembagian rasial penduduk dalam zaman kolonial. Di antara negara-negara ASEAN, kecuali Singapura, Muangthai kini menghadapi perkembangan ekonomi yang pesat. Peningkatan kemakmurannya sangat mencolok dengan naiknya aktivitas ekonomi. Apakah ini berkat legitimasi para Sino-Thai ini? Sebaliknya, ekonomi Filipina sekarang sangat menurun dan kelihatan macet. Kini pemerintah Filipina mempermudah diperolehnya kewarganegaraan Filipina guna dapat mengeksploatasi seluruh modal dalam negeri dengan lebih efisien. Muangthai, yang tidak kaya minyak atau bahan ekspor lain, sudah sejak awal melakukan kebijaksanaan ekonomi dan sosial yang rasional, tanpa prasangka terhadap asal etnis para pengusahanya. Ini berlainan, misalnya, dengan Indonesia, yang dalam tahun permulaan 1950-an menjalankan politik "Benteng". Tujuannya: ingin menciptakan pengusaha pribumi, hingga kapitalis asli diberi lebih banyak bantuan pemerintah daripada pengusaha keturunan Cina, biarpun dua-duanya sama-sama WNI. Dari mana asalnya dominasi modal "Cina-etnis" ini? Yoshihara menunjukkan, dalam jaringan dagang yang dibangun abad-berabad, tempat orang Barat pun tidak mendapat bagian, terletak kekuatan modal Cina-etnis. Pendapat saya berbeda. Kapitalis asing maupun Cina-etnis tidak akan bisa bertahan tanpa adanya suatu golongan besar kapitalis pribumi, yang juga harus memiliki bagian penting dari jaringan dagang. Hal ini rupanya timbul di Muangthai. Dengan terintegrasinya Cina-etnis di masyarakat Thai, timbul juga suatu golongan menengah yang mulai memiliki kedudukan politis penting, yang menggeser para pejabat dan militer dari kedudukan politis tradisionalnya. Ini terlihat dari hasil pemilihan umum terakhir di Muangthai, saat perdana menteri dipilih dari partai para pengusaha dan golongan menengah -- yang kini mulai mencari kekuasaan pula. Tanpa golongan pribumi yang merupakan mayoritas -- yang juga kapitalis, kapitalisme tidak akan mendapat dukungan. Akibatnya, kapitalis asing, Cina-etnis, dan pribumi akan runtuh bersama-sama dengan kemakmuran dan pembangunan. Yoshihara lebih menyoroti sifat kapitalisme di ASEAN daripada mempermasalahkan munculnya hal itu. Dalam membandingkan pertumbuhan kapitalisme di ASEAN, Yoshihara membandingkan dengan perkembangan kapitalisme di Jepang. Inilah modelnya, dan dari sinilah dia berpendapat bahwa kapitalisme ASEAN bersifat ersatz atau "buatan". Kapitalisme ersatz adalah kapitalisme yang bergantung pada luar dan tidak berorientasi ke-ekspor barang-barang buatannya, sehingga tidak dapat berkembang seperti kapitalisme Jepang. Bahkan industrialisasinya, misalnya, sebagian besar merupakan pengganti barang-barang impor, seperti minuman ringan dan bir, tekstil dan barang-barang listrik. Produksi hanya ditujukan pada pasar dalam negeri, karena kurangnya efisiensi menjadikan biaya produksi tinggi, yang menyebabkannya tidak dapat bersaing di pasaran luar negeri. Di ASEAN juga ada bermacam kapitalis, dan para kapitalis ini sebenarnya merupakan golongan yang aneh. Ada kapitalis birokrat, ada kapitalis politikus, dan ada pula kapitalis raja. Banyak di antara mereka yang hanya merupakan pemetik bunga (rentseekers), karena bantuan pemerintah dalam bentuk pinjaman lisensi, kontrak, dan proyek menyebabkan banyaknya ketidakaturan dalam sistem ekonomi. Masalah gawat di antara para kapitalis ASEAN ini adalah banyak di antara mereka yang suka berspekulasi di bursa atau berjudi, yang dapat menyebabkan usaha mereka bangkrut. Tapi masalah yang lebih gawat, menurut Yoshihara Kunio, adalah bahwa perkembangan industri ASEAN itu tanpa perkembangan teknologi. Ini sangat berlainan dengan di Jepang dan Barat, yang banyak melakukan penelitian teknologi. Perusahaan yang selalu mengadakan modernisasi teknologi akan selalu satu langkah di depan pasar. Sedangkan yang terjadi di ASEAN sebaliknya: pasar yang memimpin industri. Ini mungkin karena banyak kapitalis ASEAN berasal dari kalangan dagang, yang sedikit perhatiannya terhadap perkembangan teknik perusahaannya. Ketergantungan teknologi ini menyebabkan kapitalisme ASEAN bergantung pada luar. Kurangnya sikap dan lingkungan masyarakat yang sedikit sekali perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan pada rasionalisme sendiri -- ikut menjadi akar perkembangan industri tanpa perkembangan teknologi ini. Pada 1970, di Muangthai dibentuk Kementerian Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Energi. Tetapi ini lebih merupakan sesuatu di atas kertas daripada sesuatu yang sungguh-sungguh. Tidak lama kemudian orang menamakannya "kementerian makam". Dana dan fasilitas untuk kementerian tersebut sangat sedikit dan tidak berarti apa-apa. Di Filipina, anjuran Roger Posadar, Dekan Fakultas Sains di Universitas Filipina, supaya lebih memperhatikan penelitian, diabaikan oleh umum. Di Indonesia, B.J. Habibie dilihat Yoshihara sebagai satu-satunya orang yang membela ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ia sangat bersimpati ada usaha tersebut. Masyarakat harus diberi fantasi, katanya. Namun, diakuinya, hal itu kadang-kadang memang mahal. Separuh buku Yoshihara ini merupakan apendiks. Di sini para kapitalis besar di ASEAN dibagi menurut negaranya dalam tiga kategori. Yakni: asing (Jepang, Barat), Cina-etnis, dan pribumi. Daftar dengan catatan biografis dan karier serta data mengenai perusahaannya ini sangat berharga dan penting, sebab sebelumnya mungkin belum ada daftar semacam itu. Kalau dilihat dari biografi para kapitalis itu, mereka berasal dari berbagai kalangan. Yang utama adalah kaum pedagang, tapi ada juga beberapa dan kalangan politik dan birokrasi. Dari kalangan militer hanya sedikit sekali, kecuali satu dua dari Indonesia yang berhasil sebagai pengusaha. Menurut Yoshihara, pendidikan militer rupanya kurang menyiapkan orang sebagai pengusaha, berlainan dengan pendidikan sebagai birokrat. Dan yang berhasil di Indonesia itu adalah juga militer yang tidak berasal dari pendidikan militer, tetapi dari kalangan pejuang. Di ASEAN, termasuk Singapura, sektor negara sebagai pemilik perusahaan sangat besar dibandingkan dengan negara-negara kapitalis lain. Di ASEAN, campur tangan negara dalam ekonomi memang merupakan tradisi yang kuat sejak dulu. Yoshihara melihat bahwa kapitalisme negara di ASEAN ini yang menyebabkan kapitalisme Barat mundur dari daerah ini. Di Indonesia hal ini terjadi dengan tiba-tiba, berupa nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1957. Di Malaysia, setelah Tunku Abdul Rahman mundur dan Mahathir naik, dengan petrodolar perusahaan-perusahaan Inggris satu per satu dibeli Malaysia. Di Filipina, banyak orang Amerika sendiri yang menjual perusahaannya pada orang Filipina setelah kemerdekaan Filipina. Sedang di Muangthai, negara paling sedikit campur tangan. Namun, ada lembaga seperti Crown Properties Bureau, milik mahkota Muangthai yang diserahkan pada suatu staf yang profesional dengan sedikit sekali atau tidak ada campurtangan dari keluarga kerajaan. Lembaga ini sama seperti di kerajaan-kerajaan di Eropa, dan mungkin dapat dipikirkan untuk Indonesia. Memang perkembanan ekonomi dengan campur tangan negara seperti di ASEAN, kecuali di Singapura, kurang melahirkan perekonomian kapitalis seperti di Jepang. Namun, menurut saya, ini membawa aspek baik karena golongan pribumi lalu dapat ikut serta dalam usaha kapitalisme modern. Sebab, adanya pengusaha pribumi kapitalis adalah berkat kebijaksanaan pemerintah. Perkembangan sejarah masyarakat tradisional dan kolonial mungkin harus dibayar kini. Onghokham
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini