Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bermula dari sebuah buku tua, Pedoman untuk Melaksanakan Amanat Penderitaan Rakjat, Djilid 1, Tyo Pakusadewo tertarik memerankan Sukarno. Buku itu mencatat notulensi pidato tanpa teks Sukarno pada hari keempat sidang pertama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Dalam pidato itu, Bung Karno menyampaikan gagasannya yang otentik tentang Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Tyo lalu menggandeng Tino Saroengallo untuk merekonstruksi pidato bersejarah lahirnya Pancasila itu dalam sebuah film dokumenter. Selama 70 menit, meski tak mirip dengan Sukarno saat berpidato di gedung Chuo Sangi In (sekarang Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri) di Jalan Pejambon 6, Jakarta, Tyo berorasi sebagai Sukarno.
Telah banyak aktor memerankan Sukarno. Dari aktor Filipina, Mike Emporio (The Year of Living Dangerously, 1982), Umar Kayam (Pengkhianatan G-30-S/PKI dan Jakarta 66), Frans Tumbuan (Api Cinta Antonio Blanco, 1997), Soultan Saladin (Gie, 2005), Ario Bayu (Soekarno, 2013), hingga Baim Wong (Kisah Bung di Ende, 2013, dan Jenderal Soedirman, 2015).
Tyo, seperti banyak pemeran lain, tak mirip dengan Sukarno. Posturnya lebih besar. Usia Tyo yang 52 tahun tampak terlalu tua untuk memerankan Sukarno, yang kala itu masih 44 tahun. Tapi, di layar pidato, Tyo mampu menyihir penonton. Dia tak hanya membawa ekspresi, gestur, intonasi, dan aksen, tapi juga roh Sukarno yang sebagian suaranya masih bisa kita dengar lewat rekaman audio arsip-arsip tua. Roh Sukarno yang gambaran visualnya juga terpatri dalam foto-foto hitam-putih.
Bila tak melihat layar, penonton bisa diyakinkan bahwa suara yang didengar itu adalah suara Sukarno. Tyo sendiri butuh waktu tiga bulan untuk menghayati dan memahami Sukarno dan pidato tanpa teks itu. Fokus utama film ini terletak pada kata-kata dan teks yang dilafalkan Tyo. Dalam film ini, penonton akan memahami sejarah lahirnya Pancasila dari sebuah ruang sidang. Pemikiran Sukarno dalam film inilah yang sesungguhnya disampaikan. Bagaimana gagasannya tentang negara; pengetahuannya yang luas tentang bangsa; kemampuannya memahami bahasa Jepang, Belanda, Jerman, Arab, Cina, Inggris, hingga Prancis; serta buku-buku filsafat politik yang dia baca.
Bila ditilik dari aspek sinematografi, Tyo bersama Tino yang menjadi sutradara sekaligus penulis skenario film ini mengambil gambar dengan teknik close-up layaknya D.W. Griffith dalam The Birth of A Nation dan teknik editing serta footage seperti Sergei Eisenstein dalam Triumph of The Will. Tyo sebagai Sukarno disorot dari jarak dekat dari berbagai sudut. Sesekali foto hitam-putih dari Arsip Nasional atau sampul muka buku-buku politik dan filsafat yang menjadi rujukan Sukarno ditampilkan di layar. Kadang tangan notulen dengan tulisan stenografi menjadi penggalan adegan dalam film ini.
Bagi banyak penonton, film ini bisa jadi membosankan, membuat ngantuk. Sepanjang film, drama serius tentang negara itu ada di intonasi dan pidato panjang bukan aksi di layar kaca. Pengambilan gambar film ini dilakukan dalam dua hari. Pada hari pertama, kru membangun latar layaknya interior Gedung Pancasila di sebuah studio di kawasan Ciputat, Jakarta Selatan. Lalu selama satu setengah hari berikutnya Tyo direkam dari berbagai sudut sebagai Sukarno.
Beberapa pemeran lain, seperti Jantra Suryaman (sebagai Ki Bagoes HadikoeÂsoemo), Wicaksono Wisnu Legowo (Abikoesno Tjokrosoejoso), Teuku Rifnu Wikana (M. Yamin), dan Verdi Soleiman (Liem Koen Hian), juga direkam, tapi wajah mereka disamarkan dengan efek blur untuk mendramatisasi film. Film ini direncanakan untuk dibawa roadshow dan diputar di sekolah-sekolah tertentu. AMANDRA M. MEGARANI
Pantja Sila, Cita-Cita & Realita
Sutradara: Tino Saroengallo dan Tyo Pakusadewo
Skenario: Tino Saroengallo dan Tyo Pakusadewo
Pemain: Tyo Pakusadewo, Jantra Suryaman, Wicaksono Wisnu Legowo, Teuku Rifnu Wikana, Verdi Soleiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo