Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA musim panas 1996, Ian Wilmut mengajak kawan lama sesama ilmuwan, Alan Trounson, bertemu di sebuah bukit di Edinburgh, Skotlandia. Bukit itu adalah habitat asli Scottish Blackface, domba betina yang mukanya tertutupi bulu hitam. Agar Trounson mau datang, Wilmut berjanji memberitahukan sebuah rahasia yang akan mengubah dunia ilmu genetika.
”Jujur, saya terpesona,” ucap Trounson, seperti dikutip Scientificamerican tiga pekan lalu, ketika Wilmut menceritakan bahwa ia dan timnya berhasil melahirkan seekor domba di dalam laboratorium. Domba itu lahir bukan dari pertemuan sel telur dan sperma, melainkan dari DNA yang diambil dari sel kelenjar puting susu domba jenis Finn Dorset dewasa. Itulah awal ditemukannya teknik mengkloning mamalia.
Domba pertama hasil kloning itu diberi nama Dolly—diambil dari nama penyanyi Amerika Serikat, Dolly Parton. Hanya, hidup Dolly bisa dibilang sengsara. Selain sering sakit, Dolly mengalami masalah genetika yang membuatnya menua lebih cepat. Selnya tak berkembang. Hidupnya pun tak lama, hanya enam tahun atau separuh dari masa hidup normal.
Dua puluh tahun setelah Dolly lahir, dunia riset rekayasa genetika telah jauh berkembang. Melalui penyelidikan kromosomal, ternyata diketahui bahwa Dolly mengalami pemendekan telomere, suatu pengulangan sekuen DNA yang biasa didapati di ujung akhir sebuah kromosom. Uniknya, setiap kali sel membelah dan kromosom melakukan replikasi, sebagian kecil dari ujung kromosom ini hilang.
Masalah pemendekan telomere menyebabkan munculnya sinyal agar sel berhenti membelah. Hal inilah yang diduga berhubungan erat dengan percepatan penuaan dan kematian Dolly. Penyebab pemendekan telomere ini adalah aktivitas enzim yang dikenal dengan telomerase. Selain cepat tua, dalam hidupnya Dolly mengidap penyakit osteoartritis, radang sendi, dan paru-paru.
Lantaran penasaran atas kematian Dolly, para peneliti kembali melakukan kloning dari sampel DNA yang sama dengan Dolly pada 2007. Hasilnya, para peneliti dari University of Nottingham menyatakan empat ”salinan” Dolly—semua dibuat dari sel kelenjar puting susu yang sama—berada dalam kondisi sehat hingga kini. Keempat domba itu diberi nama Debbie, Denise, Dianna, dan Daisy.
Bukan hanya empat domba tersebut, total ada 13 domba yang dibuat dengan teknik kloning tapi diambil dari DNA lain, seperti yang terungkap dalam laporan penelitian di jurnal Nature Communications, yang dipublikasikan pada 26 Juli lalu. ”Mereka sangat sehat,” kata Kevin Sinclair, ketua tim riset University of Nottingham, seperti ditulis The Guardian.
Seperti Dolly, semua domba tersebut ”dilahirkan” menggunakan teknik somatic-cell nuclear transfer (SCNT). Dalam metode ini, nukleus sel domba jenis Finn Dorset dewasa diletakkan di dalam telur domba lain, Scottish Blackface, yang nukleusnya sudah diambil. Telur ini setelah membelah lantas ditumbuhkan menjadi embrio lalu ditransfer ke rahim domba betina (lihat infografis).
Domba hasil kloning tersebut kemudian disatukan bersama kerabatnya yang lahir normal. Para peneliti memeriksa metabolisme, masalah tulang dan otot, serta kemungkinan adanya kelainan tekanan darah. Selain itu, hasil pemindaian dengan sinar-X dan magnetic resonance imaging (MRI) dibandingkan.
Menurut Sandra Corr, dokter hewan yang terlibat dalam penelitian, metabolisme tubuh dan sistem kardiovaskular domba hasil kloning tak berbeda dengan domba biasa. ”Mengingat usia mereka, sebagian besar domba itu berada dalam kondisi yang sangat sehat,” katanya seperti dikutip situs Sciencealert.
Delvac Oceandy, lektor senior ilmu kardiovaskular di University of Manchester, Inggris, mengatakan riset domba Dolly berdampak sangat besar dalam dunia sains. Namun aplikasi langsung dalam reproduksi manusia masih sulit berkembang. ”Karena faktor risiko dan etik yang sangat problematis,” ucap lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, itu dalam surat elektronik pada Rabu pekan lalu.
Rekayasa genetika membuka jalan besar untuk riset medis. Apa yang menimpa Dolly bisa menjadi masalah besar. Setiap jaringan atau organ yang dikloning dari sel dewasa bisa menua lebih cepat. Namun perkembangan domba hasil kloning di Nottingham mementahkan kekhawatiran itu. Empat domba yang saat ini diperkirakan berusia setara dengan umur manusia yang mencapai 70-80 tahun berada dalam kondisi sehat.
Menurut Teguh Haryo Sasongko, pengajar senior di Human Genome Center, Universiti Sains Malaysia, riset tentang Dolly dan empat saudaranya itu menunjukkan proses kloning dapat menghasilkan makhluk hidup dengan masa hidup dan kesehatan sebanding dengan mereka yang dilahirkan normal. Namun proses kloning tidak menghasilkan duplikasi individu yang sama persis.
Setiap sel memiliki keunikan, mengalami proses biologi yang berbeda, dan terpapar zat serta situasi yang berbeda selama proses kloning. ”Hal ini membuat sel-sel tersebut membentuk karakteristik masing-masing,” kata Teguh dalam surat elektroniknya, Rabu pekan lalu.
Tampilan fisik hasil kloning bisa terlihat serupa, tapi perkembangannya tidak sama. Menurut Delvac, hasil kloning seperti memproduksi hewan kembar dari satu telur. ”Bahkan manusia kembar dari satu telur pun, yang materi genetiknya sama persis, tidak akan punya sifat seratus persen sama,” ujarnya.
Selain teknik SCNT, proses kloning bisa dilakukan dengan metode induced pluripotent stem cells (iPSC). Delvac menilai metode ini jauh lebih unggul. Metode SCNT cuma memprogram ulang materi genetik dewasa atau DNA di inti sel. Metode ini masih membutuhkan sel telur. ”Sedangkan teknologi iPSC bisa memprogram ulang sel dewasa secara utuh untuk kembali menjadi stem cell,” ujarnya.
Menurut Delvac, teknik penyuntingan gen atau clustered regularly insterspaced short palindromic repeats (CRISPR) diprediksi menjadi primadona rekayasa genetika. Secara teori, semua penyakit atau kelainan yang disebabkan oleh mutasi genetik bisa dikoreksi dengan teknik penyuntingan gen tersebut. ”Syaratnya, harus diketahui betul letak dan efek mutasinya secara detail,” ujarnya.
Metode CRISPR, kata Teguh, telah diuji coba pada sel hewan dan manusia yang dibiakkan dalam eksperimen di laboratorium. ”Hasilnya menjanjikan,” kata alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu. Adapun dalam aplikasi riset sel punca, para peneliti juga memakai metode iPSC dan SCNT.
Dua teknik tersebut diketahui dapat menghasilkan sel punca yang nantinya dapat dikembangkan menjadi sel tertentu dengan diferensiasi spesifik. ”Para peneliti Jepang telah menghasilkan miniatur organ hati manusia dan ditanamkan dalam tubuh tikus,” katanya.
Meski dapat dikembangkan pada hewan, aplikasi kloning terhadap manusia masih kontroversial. Dunia melarang melakukan proses kloning manusia secara utuh atau reproductive cloning. ”Yang diperbolehkan hanya therapeutic cloning untuk menghasilkan sel pluripoten, yang dapat dikembangkan menjadi sel tertentu,” kata Teguh. GABRIEL WAHYU TITIYOGA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo