Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSETUJUAN Presiden Joko Widodo atas rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memangkas anggaran belanja negara merupakan keputusan tepat untuk mencegah ekonomi kita kolaps. Penghematan merupakan pilihan paling rasional. Selain bisa segera dijalankan, opsi itu lebih baik ketimbang pemerintah harus mengajukan revisi bujet melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan.
Pemerintah memang harus realistis. Rendahnya penerimaan pajak merupakan sinyal belum pulihnya ekonomi Indonesia—dan ekonomi global. Selama enam bulan pertama tahun ini, penerimaan pajak Rp 458,2 triliun atau hanya 33,7 persen dari target 2016. Melesetnya penerimaan pajak ini akibat rendahnya harga minyak, juga belum pulihnya aktivitas perdagangan ekspor-impor.
Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah memotong anggaran ketika pada Mei lalu meneken Instruksi Presiden Nomor 4. Instruksi ini memangkas APBN 2016 sampai Rp 50 triliun—2,4 persen dari total belanja. Namun Sri Mulyani, yang dilantik menjadi Menteri Keuangan pada akhir Juli lalu, menilai pengurangan itu tak cukup setelah melihat realisasi penerimaan pajak. Ia mengusulkan pemangkasan yang lebih besar, yakni Rp 133,8 triliun—6,4 persen dari total anggaran.
Proyeksi penerimaan pajak sebagai sumber utama anggaran memang cukup mengkhawatirkan. Kementerian Keuangan memperkirakan target pajak hanya akan tercapai 84 persen atau minus Rp 218 triliun. Program pengampunan pajak (tax amnesty) yang antara lain dimaksudkan untuk menambal lubang APBN-P 2016 ada kemungkinan meleset dari target sebesar Rp 165 triliun. Bank Indonesia bahkan menghitung tax amnesty hanya akan mendatangkan penerimaan Rp 53,4 triliun.
Untuk menjaga agar defisit anggaran tak melebihi tiga persen—angka maksimal yang diizinkan undang-undang—pemerintah harus menambalnya. Hanya ada dua pilihan yang masuk akal untuk menutup defisit tersebut, yakni menambah utang atau memangkas anggaran. Kendati utang pemerintah masih dalam batas ”aman”—di bawah 30 persen terhadap produk domestik bruto—seyogianya pemerintah tidak menambah utang.
Karena itu, walaupun menyakitkan banyak pihak, pemangkasan anggaran merupakan langkah tepat. Memang ada risiko. Program pengetatan Menteri Sri Mulyani ini imbasnya akan mengenai banyak pihak, baik di pusat maupun daerah. Anggaran pemerintah pusat dipotong Rp 65 triliun, sedangkan dana transfer daerah disunat hampir Rp 69 triliun. Hanya anggaran infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang dipertahankan.
Keterlibatan segenap pemimpin negeri ini sangat diperlukan dalam program penghematan itu. Mereka harus memiliki sense of urgency tidak hanya dalam wacana, tapi juga tindakan. Presiden dan wakilnya, para menteri, serta pemimpin lembaga pemerintah atau lembaga negara harus memberi contoh dengan mengurangi perjalanan dinas dan kegiatan seremonial. Presiden, misalnya, perlu menghemat peninjauan ke proyek pemerintah pusat seperti yang selama ini sering dilakukannya. Monitoring cukup dilakukan lewat sarana telekomunikasi, yang tentu lebih murah.
Ekonomi dunia masih belum akan pulih sepenuhnya. Dana Moneter Internasional pada April lalu mengoreksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,4 persen menjadi 3,2 persen. Salah satu indikasinya adalah masih rendahnya harga sejumlah komoditas—yang justru merupakan andalan penerimaan Indonesia. Ketatnya ekonomi Indonesia tampaknya masih belum segera berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo