Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 50 organisasi hak perempuan, organisasi akar rumput, organisasi petani, serta buruh dari seluruh Asia berkumpul di Pantai Padang Galak di Bali, Indonesia. Mereka berkumpul untuk mengkritisi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait dampak dari proyek pembangunan yang didanai Bank Dunia dan IMF.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kegiatan perkumpulan organisasi perempuan tersebut digelar dalam bentuk upacara Larung yang digelar pada Sabtu, 13 Oktober 2018. Upacara tersebut bertujuan untuk melarungkan (menghanyutkan) hal jahat yang ditimbulkan kedua organisasi dunia tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Selama berpuluh-puluh tahun Bank Dunia dan IMF memfasilitasi perampasan lahan, memprivatiasi layanan publik dan melemahkan kebijakan perlindungan untuk buruh," ujar Sringatin Ketua Serikat Pekerja Migran Indonesia berdasarkan keterangan media yang diterima Tempo, Senin 15 Oktober 2018.
Sringatin melanjutkan, selain tiga hal tersebut, kebijakan Bank Dunia dan IMF juga telah memprivatisasi layanan publik serta melemahkan kebijakan perlindungan bagi para buruh. Hal tersebut menurutnya menyebabkan banyak perempuan kehilangan lahan sehingga membuat mereka terpaksa melakukan pekerjaan informal atau bermigrasi ke luar negeri.
Selama upacara, para perempuan yang terkena dampak dari proyek pembangunan yang dibiayai Bank Dunia atau didukung oleh IMF, melarungkan hal-hal jahat yang disebabkan oleh kedua lembaga internasional tersebut dan mengucapkan doa dan harapan untuk masa depan. Hal ini dilakukan dengan secara simbolis memberikan sesajen khas Bali di laut.
Wardarina, Staf Program dari Asia Pacific Forum on Women, Law and Development (APWLD)
menuturkan, “Bank Dunia dan IMF seringkali mengabaikan dampak politik, sosial dan ekonomi dari
kebijakan-kebijakan mereka terhadap masyarakat, terutama pada perempuan yang bekerja sebagai
petani, buruh migran, perempuan miskin dan masyarakat adat. Kedua lembaga tersebut merampas
sumber daya kita yang harusnya menjadi bagian dari perlindungan sosial kita.”
Upacara Larung dilakukan menurutnya agar dunia dapat memahami perjuangan yang dihadapi para perempuan. Serta menunjukkan jika proyek ‘pembangunan’ yang dilakukan Bank Dunia dan IMF belum tepat dan tak merepresentasikan pembangunan yang diingnkan perempuan.
Upacara Tolak Bala diikuti acara Feminist Carnival yang berlangsung keesokannya pada 14 Oktober. Di upacara tersebut masyarakat perempuan memaparkan testimoni mereka soal pengusiran paksa, perampasan tanah, dan minimnya akses untuk layanan publik.
Testimoni tersebut dipaparkan dalam berbagai bentuk seperti orasi, pembacaan puisi dan pertunjukkan seni. Berbagai organisasi hak perempuan menentang keras neoliberalisme yang didorong Bank Dunia dan IMF karena hal tersebut dinilai hanya akan memperburuk jurang ketidaksetaraan dan menyebabkan pelanggaran hak perempuan.