KEHADIRAN musik rock di Indonesia pada mulanva disebut mirip Pesta Dayak," kata Jelly Tobing. Penabuh beduk di Bharata Band yang baru memecahkan rekor menggebuk drum delapan jam di Ancol itu ibarat berkias. Ia sekadar memberi gambaran awalnya lahir kelompok band yang mengacu pada rock, di tahun 70-an. Syahdan, di saat anak muda Indonesia keranjingan pada rock, grup band penganut aliran ini memang melimpah ruah. Semangatnya adalah mengidentifikasikan diri meniru sang dewa, di antaranya, seperti Rolling Stones, Deep Purple, atau Led Zeppelin. Dan bukan hanya pada warna cadas yang memekakkan telinga, tapi peri laku dan atribut malah disontek habis-habisan: jingkrak, berteriak, berpakaian aneh menjadi gaya tersendiri dalam penampilan. Di masa itu, sebutlah misalnya AKA pimpinan Ucok Harahap. Grup ini dielukan ketika Ucok menggotong peti mati ke pentas. Juga ada Mickey dari Band Bentoel Malang. Supaya "aneh" lalu dia menggorok kelinci, di panggung, lantas mengisap darah segar binatang tak berdosa itu. Ia meniru Alice Cooper, rocker yang getol berulah ganjil jika sedang di pentas. Trio SAS, Surabaya, malah memilih warna ELP (Emerson Lake and Palmer). Berkiblat agaknya seperti jadi tuntutan. Di Bandung, misalnya, terkenal karena publiknya fanatik Mick Jagger. Setiap grup yang tampil di sana mau tak mau melempar album Jagger, kalau tak ingin diteriaki "turun panggung" oleh penonton. Kemudian apa yang dicari? "Kebanggaan," kata Jelly Tobing pada Ardian Taufik Gesuri dari TEMPO. Tiap kesempatan genjreng di panggung adalah sebuah kepuasan. Habis main diberi makan cukup. "Zaman itu pentas adalah proyek tank you," tambah Jelly Tobing. "Karena waktu itu masih bujangan, walau tak ada uang, bisa santai," kata Achmad Albar, rocker yang lain. Memasuki awal 80-an pekaknya musik rock mulai surut. Tapi di Surabaya muncul Log Zhelebour. Pada 1984 ia mengadakan festival rock, yang diikuti puluhan grup dari berbagai kota. Usai itu lahirlah generasi baru rock seperti Elpamas (Malang), Grass Rock Rock Trickle (Surabaya), dan Jet Liar (Jakarta) -- yang kemudian mendampingi God Bless, di samping SAS yang bertahan. Di sisi lain kiblat ke dewa masih dipertahankan. Grrass Rock, kelompok belia dari Surabaya, berkiblat ke grup Rush (Kanada), Yes, progresif hard rock asal Inggris, dan Van Hallen. Semua itu lantaran musiknya punya alur pentatonik yang mbulet aneh, dan sound efect yang mengejutkan. Kenapa tak melongok ke Rolling Stones? "Tidak ada yang baru yang bisa digali di RS," kata Yudhi, pemain bas Grass Rock, pada Wahyu Muryadi dari TEMPO. Generasi terdahulu tak mau kalah. Mereha muncul tanpa tedeng aling-aling menyatakan kiblat sebagai sikap. Bharata Band, yng dimotori Abadi Soesman, mendewakan The Beatles, Cockpit dengan reddy Tamaela pada warna Genesis. Musikus muda dalam kelompok Acid Speed Rock memilih aliran Rolling Stones. Kini penggemar rock di Indonesia ketemu dengan salah seorang dari dewa mereka, Mick Jagger. Lalu semangat Jagger berlanjut terus dalam bentuk pengaruhnya pada kebangkitan musik rock di sini? Jagger perlu dipertanyakan, apa masih panutan figur anak muda sekarang. Apalagi, kata Remy Silado, musik rock di sini tak juga berkembang. Dari masa ke masa yang ada hanya sederetan peniruan dan warnanya ikut-ikutan. Bahkan seorang rocker tua Yang suka berjingkrak, ketika ditanya, enak saja berdalih: Mick toh masih berbuat demikian. "Saya harap itu bukan pertanda sakit jiwa," ceplos Remy, pengamat musik yang intens itu. Jadi, di negeri ini, pada akhirnya, rock itu sebagai pelarian atau "kebangkitan" dari musik si sakit jiwa? Sudah "nasib" tampaknya bahwa rock -- bahkan dalam kemunculannya sekarang masih perlu tambahan ruh. Maklum rock Indonesia tak punya akar. Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini