SIAPAKAH Rolling Stones ? Ketika berdiri pada musim semi tahun 1963 kelompok musik ini terasa liar dan agresif. Tidak seperti The Beatles yang manis (meskipun memprotes) Rolling Stones yang muncul "kampungan" itu bukan karena mereka dari kelas bawah, tetapi sebagai sikap pilihan yang sengaja dipakai, menentang kemapanan kelas menengah. Sesungguhnya mereka bukan tukang protes, tapi lebih merupakan sekelompok anak muda yang mempergunakan musik untuk menjadi kaya dan terkenal. Mereka bukan pahlawan, hanya anak muda yang berambisi mengangkat kesederhanaan musik R & B atau Rhythm and Blues -- musik yang kasar, yang dimengerti oleh sekelompok orang -- ke kalangan yang lebih luas. Menurut ukuran standar musik pop Inggris tahun 1960-an yang sedang melahirkan The Beatles, musik Stones memang urakan. Iramanya cepat, padat, dan tajam kontras dengan keriangan Beatles -- dengan tonjolan pada penampilan vokal, gitar, dan alat perkusi. Mick Jagger dengan raut muka anak nakal dan bibir dower menyanyi dengan kurang ajar. Ia sering berdesah, sengaja kepeleset mengucapkan kata-kata, tak hanya sekadar bertujuan agar terdengar seksi. Stones yang hadir dengan rambut gdhdrong dan kumal lalu seakan-akan mewakili kebebasan. Musik Stones lebih tepat digolongkan rock'n roll, bukan rhythm, juga bukan blues. Mereka sendiri mengaku musiknya bersumber dari musik "hitam". Setidaknya itu erat kaitannya dengan pemusik kulit hitam -- Keith Richards (gitar) adalah penggemar Chuck Berry (raja rock'n roll) Brian Jones memuja (gitar) Elmore James (jazzer) pemukul drum Charlie Watts juga doyan jazz. Sedangkan Mick sendiri ketagihan blues sejak berumur belasan tahun. Mick sebenarnya tidak ambil pusing apakah ia memainkan blues, jazz, rock'n roll, atau pop. Baginya semua musik sama. "Selama main musik aku tidak mendefinisikannya. Mas Brian Jones menyebutnya sebagai R & B, ada yang bilang blues dan ada juga yang menamakan rock'n roll. Aku sendiri menolak definisi itu," kata Mick. Banyak yang mengatakan musik Stones alami, ekspresif, dan seksi. Mick secara naluriah memahaminya, mengekspresikannya dengan baik. Dia menjadi lambang agresivitas dan seksualitas: dua hal yang amat populer di kalangan remaja dalam dekade itu. Kelebihan Mick, dia punya kejujuran di balik semua itu, lalu membeberkan apa yang diinginkan dan apa yang tak dimilikinya. Bahkan ia tak ragu mengakui bahwa dirinya terlepas dari apa yang didambakannya. "Hati yang sepi adalah pertanda hidup yang kosong," demikian ia nyanyikan dengan lugas. Ia menampilkan seluruh perasaannya tanpa tedeng aling-aling. Dan itu adalah strateginya yang kemudian membuat ia meroket -- lalu dipuja para remaja yang merindukan kejujuran yang lugas. Beatles menjaring sudut indah dari pemberontakan kaum muda, sedangkan Rolling Stones lewat si dower ini mengucapkan sampahnya. Spontanitas Beatles yang segar dan jitu menangkap ekspresi kawula muda dalam bungkus yang kompak, lalu itu dilengkapi lagi oleh Rolling Stones dengan nuansa-nuansa gelapnya. Bila Beatles kemudian menjadi fenomena dan dianggap hebat karena kejeniusan keempat pendukungnya, Rolling Stones bahkan tercatat tak pernah tertelan zaman -- karena kedahsyatan pengelolaannya. Lebih lagi, mereka memang berhasil melangkahi segala jurang sosial, ekonomi, emosi, dan politik. Lahir dari seorang ayah borjuis, beribukan seorang wanita kelas pekerja, Mick mencicipi pendidikan di London School of Economics. "Aku datang dari antara dua dunia. Aku bukan kaum borjuis dan juga bukan kaum pekerja," katanya. Mick kecil pernah berjualan es krim di luar perpustakaan umum di Dartford, pinggiran London, tempat asalnya. Keith Richard, yang tinggal satu blok dengan keluarga Mick, sudah mengenalnya ketika mereka masih berusia enam atau tujuh tahun. Suatu hari, setelah lama tak ketemu karena pindah, Keith ke Dartford lagi. "Saya sempat membeli es krim yang dijajakannya," tutur Keith. Mereka berteman lagi ketika sama-sama sudah remaja -- sejak ketemu di kereta api Dartford-London, karena keduanya langganan kereta itu. Kala itu Mick mahasiswa di perguruan tadi dan Keith belajar di sekolah kesenian. Dalam jinjingan Mick, ketika itu, terdapat piringan hitam Chuck Berry dan Little Walter, Muddy Waters. Mick, seperti dituturkannya sendiri, lebih menyukai Jerry Lee Lewis, Chuck Berry, dan kemudian Buddy Holly. Dan ketika dia masih 13 tahun, orang pertama yang dikaguminya adalah Little Richard. Ia tak menyukai Elvis Presley atau Bill Haley -- para bintang dengan getaran suara yang kurang pekat dan kasar. Suara mereka itu terlalu empuk tampaknya buat Mick. Orang sering menghubungkan musik Stones dengan kekerasan. Mick menolak. Bagi dia, musik memang meningkatkan gairahnya, tapi bukan gairah untuk berbuat kekerasan. "Aku lebih merasakannya sebagai rasa gairah seksual daripada luapan untuk melakukan apa yang dianggap orang kekerasan itu, seperti menghantam jendela atau membetot orang lain," katanya. Masa remajanya merupakan masa yang paling emosional. Dan itu sebabnya ada pasar yang subur sekali untuk lagu-lagu cinta remaja. "Semua laguku itu bertolak dari amukan frustrasi masa remaja," ujar Mick kemudian. Pernyataan ini menunjukkan dengan jelas bahwa dirinya dan batu-batu bergelinding itu tak hanya berekspresi mewakili kaum muda sebagaimana Beatles. Mereka punya kesadaran tinggi pada pasar: memunguti apa yang tak banyak disentuh Beatles. Mereka berdagang. Mick dan kawan-kawannya, sebagai yang dinyatakan Bill Graham, seorang impresario, tak hanya pemusik. Segala kegiatan mereka selalu berhasil menjadi bahan berita, mendapat kapling istimewa di media massa terkenal. Mereka piawai memaksakan dirinya jadi bagian dari peristiwa dunia. Mick pun jadi milik setiap orang. Apakah ini sukses musik, atau kelihaian manajemen? Segala sesuatu yang menyangkut Mick dibicarakan. Pada tahun 1969, ia tertangkap karena membawa marijuana. Lucunya, dia tidak setuju jika seseorang harus masuk penjara karena drugs. Lalu dia tak lupa mengutip kalimat-kalimat besar dari pandangan hidup Tao yang tersohor itu -- yang beranggapan tak ada pemerintahan yang mengatur orang karena pemerintahan hanya membuat orang saling cemburu. Apa ini benar-benar protes pada kemapanan atau hanya kelihaian menjaga kesinambungan pemberitaan ? Di panggung Mick berkesempatan luas untuk menampilkan egonya. Selain mulutnya yang dower, itulah kekuatan dagangannya. Dan rupanya itu yang dikehendaki setiap orang -- yang tak dapat dilakukan oleh semua orang dalam hidupnya. Mick dan Stones mewakili mereka. Bahkan itu pula yang kemudian membentuk kepribadiannya. Tapi risikonya cukup berat. Ketika lampu-lampu yang menyorot ke atas panggung sudah dipadamkan, dan penonton tak ada lagi hadir melayani dengan setia, ledakan-ledakan ego tersebut malah mengganggu Mick sendiri. Walaupun orang mengidentikkan Stones dengan Mick, lantaran ia telah dinilai memberi "setrum" yang sakti pada grupnya, Mick dengan rendah hati berkata, "Aku ini hanya seperlima Rolling Stones. Kami ini pada dasarnya satu. Kami selalu kompak dalam setiap penampilan. Aku nggak pernah sendirian di pentas konser kami." Solidaritas kelompok pada Mick tinggi. Walhasil, di samping manajemen yang yahud, ini juga kekuatan Rolling Stones hingga bertahan lebih lama dari The Beatles. Mereka berhasil menata ego-egonya dengan tertib. Pada 1974 Mick bahkan menandaskan: dia akan tetap menjaga keutuhan Stones sepanjang hidupnya. Walaupun akhirnya ia menempuh karier solo -- konon perang ego dengan Keith Richard -- ia berhasil melawan egonya sebagai superstar. Mick Jagger (lahir pada 26 Juli 1943) dan Keith Richard (18 Desember 1943), mulanya bergabung dalam The Blue Boy. Baru pada akhir 1962 atau awal 1963, mereka muncul dengan nama Rolling Stones bersama Brian Jones, Geoff Bradford, Ian Stewart, dan Dick Taylor. Tak lama kemudian mereka menarik Charlie Watts dan Bill Wyman. Langkah pertama mereka (Mick, Richards, Jones, Wyman, dan Watts) menyodorkan rekaman kepada IBC Studio sambil bermain tetap di Crawdaddy Club di Hotel Station, Richmond. Tahun 1963, di bawah manajer Andrew Oldham, mulailah pers memberi perhatian kepada Stones. Berikutnya mereka menggebrak dengan The Last Time yang mencapai posisi pertama di Inggris pada 1965, dan Stones menjelma dalam cerita bisnis dengan anggota Mick, Keith Richards, Ron Wood, Bill Wyman, dan Charlie Watts. Dalam tur keliling Stones (1981) habis terjual 2.250.000 tiket, masing-masing dengan harga 15 dolar AS. Tahun 1982 kopi album Undercover terjual sampai 1,2 juta, dan CBS menawarkan kontrak 28 juta dolar AS untuk jangka 4 tahun. Mick sendiri, pada awal 1983, menandatanani kontrak 3 juta dolar AS untuk autobiorafinya. Diperkirakan dalam tahun 1981 dan 1982 saja Stones mengeruk 100 juta dolar AS, dan potensi komersial live show mereka diperhitungkan mencapai 30-40 juta dolar AS. Stones bukan hanya potensial secara komersial, tapi mereka juga pengumpul massa yang jempolan. Penggemar Stones biasanya sudah siap sehari sebelum pertunjukan. Contohnya, mereka menunggu di depan Stadion John F. Kennedy di Philadelphia, lalu membuat perkemahan. Esoknya 90.000 orang berkumpul di dalam stadion. Lompatan Mick, gaya jalannya, seluruh keedanannya, yang pada mulanya tak umum, menjadi sah. Dan mulutnya yang terlalu lebar tiba-tiba terasa sensual, jantan, dan indah. Mick telah mengubah atau memberikan alternatif pada nilai. Inilah yang mungkin bisa dianggap sebagai fenomena, bukan musiknya. Tahun 1987 Mick memulai karier solo. Ia menolak pernyataan Stones bubar. Ia mengaku, Stones hanya mengalami masa vakum diduga akibat pertentangan antara Mick dan Richards, tapi mungkin juga disebabkan meninggalnya Ian Stewart, seorang eks pemain Stones yang kemudian menjadi manajer Stones (lihat Saya Menyanyi unuk Semua Orang.) Harry Rusli, pemusik tenar yang kini rajin menulis kritik musik di majalah Mode, menganggap Mick sebenarnya tak mampu berdiri sendiri. "Stones tanpa Mick jelek demikian juga Mick tanpa Stones," kata Harry kepada Sigit Haryoto dari TEMPO. Bersama Rolling Stones, Mick membawa cerita yang melibatkan anak muda secara umum. Atau, menurut istilah Harry, "open". Tapi, ketika Mick sendirian, ia banyak bercerita tentang pribadinya, perkawinannya, yang menjadikan kita tak terlibat. "Manajemen bisnis mereka bagus sekali, hingga mampu bertahan sekian lama," ujar Harry lebih lanjut. Ia memandang The Rolling Stones sebagai perajin yang dengan setianya mempertahankan format musik yang sudah dipilihnya. "Rolling Stones itu mengambil 'sampah'-nya musik rock'n roll, berbeda dengan kelompok The Beatles yang mengambil cantiknya rock'n roll. Saya berani mengatakan bahwa, dalam proses kreasinya, mereka tak hendak benar-benar melempar karya kesenian." "Saya dapat mengerti mengapa anak-anak muda di Indonesia tergila-gila pada Rolling Stones. Masalahnya teknis. Dari segi teknis, lagu Stones amat sederhana baik lirik maupun melodinya, sehingga anak-anak gampang menirukannya," kata Harry lagi. Ia sendiri pernah mabuk Rolling Stones ketika berusia 17 tahun, sampai membentuk band bernama Batu Karang yang memainkan lagu-lagu kelompok tersebut. Remy Silado, pengamat musik yang lain, membenarkan betapa tangguhnya manajemen kelompok Rolling Stones. Sementara itu, Mick terus hadir sampai sekarang, karena ia memang tak pernah setop. "Berkesinambungan. Ia terus-menerus tampil," kata Remy sambil memuji kualitas musik Rolling Stones. "Mereka lebih nyeleneh daripada The Beatles. Mereka dari pertama keluar sudah nyeleneh dan terus menjadikan itu ciri mereka. Lirik lagunya lebih utuh ketimbang The Beatles," kata Remy sambil menunjuk lagu Paint it Black. Kulihat pintu merah, ingin kupoles dengan hitam Biar hilang warna, menjadi hitam semuanya Kulihat dara berjalan dalam pakaian musim panas Kupalingkan muka agar segala yang hitam itu sirna. Remy menganggap kedatangan Mick ketinggalan sepur. Kelompok A-ha, Europe, atau Bon Jovi dengan selera musik mereka yang baru dianggap lebih mewakili remaja. "Di tahun 70-an, ketika mentalitas anak muda bimbang, resah, idola mereka yang nyeleneh kayak gitu," katanya. "Kayaknya sekarang nggak lagi. Anak laki-laki sekarang kebencong-bencongan, nggak jantan begitu. Nah, masih nggak figur Mick ini jadi idola?" Putu Wijaya & riset Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini