Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA semua tahu, pemberian bantuan langsung tunai (BLT) adalah untuk membantu rakyat miskin menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak—yang pasti diikuti kenaikan harga lainnya. Usaha sejumlah partai politik mengambil bagian dalam penyaluran bantuan itu—meski tak secara langsung—terkesan hanya ingin memanfaatkan penderitaan rakyat untuk kepentingan citra partai.
Di luar kelemahan penyaluran BLT sebelumnya, pemerintah tampaknya tak punya pilihan selain menyalurkan bantuan Rp 25,6 triliun untuk 18,5 juta keluarga miskin ini. Pengurangan subsidi bensin Premium pada April tahun ini pasti akan mendongkrak biaya kehidupan sehari-hari. Bantuan ini, meski hanya Rp 100 ribu per keluarga per bulan, tentu meringankan beban tersebut.
Kecuali PDI Perjuangan, semua fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pemberian bantuan ini. Yang terasa agak aneh adalah sikap Fraksi Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera. Mereka menyetujui pemberian BLT, tapi tak menyetujui cara pemerintah menyalurkannya langsung ke rakyat miskin lewat kantor pos. Jika saja perbedaan ini terjadi karena penyaluran yang mereka usulkan lebih menguntungkan rakyat, itu tak jadi masalah.
Ada indikasi kedua fraksi itu menganjurkan jalur lain karena ingin ikut "menikmati" penyaluran BLT. Cara penyaluran yang mereka usulkan membuat mereka tampil bagaikan "Sinterklas" yang disukai anak-anak karena kado di malam Natal. Golkar mengusulkan BLT disalurkan dalam bentuk infrastruktur lewat pemerintah kabupaten. Dengan kader yang menjadi 45 persen bupati di seluruh Indonesia, penyaluran gaya ini tentu akan menguntungkan mereka. Bupati Golkar akan terdongkrak citranya karena dianggap berhasil memperbaiki atau menambah infrastruktur di daerahnya. Sedangkan PKS, yang kadernya menjadi Menteri Sosial, menginginkan BLT disalurkan lewat kementerian tersebut.
Terdongkraknya citra politik karena penyaluran BLT ini bukan omong kosong. Menurut jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia (LSI), penyaluran BLT oleh pemerintah pusat lewat kantor pos—tanpa melibatkan pemerintah daerah secara langsung kecuali pendataan—telah menguntungkan Partai Demokrat, yang memang memimpin pemerintah pusat. Sekitar 54 persen responden menyatakan Partai Demokrat berjasa atas BLT. Popularitas lebih dari 50 persen itu tentu menggiurkan partai politik mana pun. Bahkan Golkar curiga ada penggelembungan jumlah orang miskin yang harus diberi BLT, karena Demokrat ingin menambah orang miskin yang merasa "berutang budi" kepada Demokrat.
Kecemburuan seperti ini sesungguhnya tak perlu. Di negara mana pun, program pemerintah yang menguntungkan rakyat pasti akan meningkatkan citra pemerintah. Selama partai yang berkuasa tidak memanfaatkan secara langsung pembagian BLT untuk kampanye politik, pencitraan yang mereka dapatkan adalah hal yang sah. Toh, mereka juga terkena dampak negatif ketika pemerintah—yang juga disetujui partai-partai lain—memberlakukan kebijakan yang tidak populer, seperti menaikkan harga bahan bakar minyak. Survei LSI memperlihatkan 54,27 persen responden menyalahkan Demokrat atas kenaikan harga bahan bakar.
Seharusnya, di saat genting seperti ini, partai-partai politik tidak lagi mencari kesempatan menguntungkan diri sendiri. Mereka justru semestinya mendorong pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan yang menguntungkan rakyat, meskipun kebijakan tersebut berpotensi menguntungkan partai pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo