Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Wajah, Salib, dan Kekosongan

Goresan pensil dan tinta cina yang mengolah wujud di antara kekosongan. Ada permainan ruang maya dan ruang nyata. Gambar yang menjadi puisi.

9 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran Seni Gambar Satya Graha
Tempat:Galeri Milenium
Waktu:13 Maret-2 April 2000
SESOSOK tubuh dengan tonjolan rangka di sana-sini berpejam mata. Sosok lain berjubah-kerudung memeluknya dari belakang. Simak baik-baik kedua wajah itu: dan kita tahu bahwa keduanya bukan berada dalam sebuah ruang. Yang pertama—dengan jidat terpotong sebuah garis lurus—ternyata hanya gambar dua matra: sebuah sosok maya. Yang kedua, sosok yang seakan berada pada ruang nyata, ruang kita. Tapi penglihatan kita belum selesai. Dalam karya berjudul Pelukan itu, yang maya dan yang nyata berusaha saling melebur. Sebab, yang dominan adalah bidang yang dibiarkan kosong. Pada bidang putih inilah kedua sosok itu seakan timbul-tenggelam, barangkali untuk membuat kita bertanya tentang hakikat wujud itu sebenarnya.

Satya Graha menggores dengan pensil, tapi ia tak menorehkan sketsa. Jika sketsa cuma ancang-ancang untuk mengejar kepenuhan bentuk dalam lukisan, misalnya, gambar (drawing) perupa kelahiran Malang pada 1948 ini justru memburu kekosongan. Garis-garisnya tergarap rapi, juga dengan mistar. Terkadang goresannya meluncur agak liar, tapi ini bukan tumpahan emosi, melainkan penyetimbang bagi goresan yang terlalu rapi. Dengan setip ia seperti melunakkan (bukan sekadar menghapuskan) tumpukan pengap garisnya. Atau jika ia menggunakan pena dan tinta cina, dalam Torso, misalnya, sapuan kuasnya yang hemat bisa berfungsi serupa. Pada dasarnya, ia seorang perencana bentuk yang tekun. Pengimpitan (atau penumpukan) dua bidang dalam Pelukan, misalnya, jelas merupakan sebuah olahan intelektual.

Hal ini tampak pula dalam Salib: bidang depan yang terisi sosok berjas dan bertopi, terobek di bagian wajah, memperlihatkan bidang kedua, yakni wajah dan torso Kristus di tiang salib. Permainan bidang ini—yang boleh berarti permainan motif religius—memang bisa mengena tajam bila sang perupa menghemat bentuk. Secara potensial, karya Satya Graha memang mengarah ke puisi, bukan ke prosa. Garis-garisnya ibarat rangkaian kata untuk mendukung suasana, bukan cerita. Garis-garis yang punya bobot sendiri, bukan sekadar mengabdi kepada bentuk.

Terkadang perupa yang pernah terlibat dalam Gerakan Seni Rupa Baru ini tak bisa mengirit bentuk: ia seperti ingin bercerita. Misalnya dalam Kunjungan: sesosok berjubah (mungkin hantu, malaikat, atau rahib) yang dari sebuah puncak memandang bentangan hutan dan kota besar berselimut kabut dan kekosongan di bawah sana. Juga pada Malam: seorang wanita berselimut dengan sebelah payudara terlihat, dan di latar belakang yang jauh, sebuah ruang dari Abad Tengah. Memang ada kualitas mimpi dalam kedua karya tersebut, tapi kita hanya merasakannya dengan setengah hati karena bentuk-bentuk itu toh hadir dengan dingin, rasional, tak liar meletup-letup seperti dalam surealisme dan ekspresionisme. Kita tak lagi mendapat permainan bidang, melainkan bakal lukisan—pemandangan tiga matra—yang menunggu diselesaikan. Di situ garis-garisnya tak lagi mandiri, seakan cuma sketsa untuk bentuk yang (diharapkan) lebih sempurna.

Adapun irit-bentuk itu terjadi dalam karya potretnya yang bagi saya merupakan karya terbaiknya. Di sana ia tak lagi bercerita. Tak juga melakukan permainan bidang. Ia menggambar penulis Irlandia Samuel Beckett dan pelukis Inggris Francis Bacon. Justru dengan menggambar tokoh nyata—sosok yang sudah lebih dulu "direbut" oleh fotografi—ia pergi menukik ke dalam puisi, yakni ketika gambarnya sampai ke paradoks yang mencekam: garis-garisnya berusaha membangun sosok, tapi sekaligus mencoba meloloskan diri darinya, agar jadi anasir yang bisa hidup sendiri. Ada timbunan garis pada bagian tubuh atau wajah tertentu, yang seakan menjadi titik berat bidang gambar, dan pada saat yang sama sosok itu seperti kehilangan gravitasi, melayang menuju ketiadaan. Dalam Studi Beckett I, misalnya, tubuh duduk yang "terbuat" dari goresan pensil itu seperti patung transparan: ia hadir antara tumbuh dan luruh. Dalam Studi Beckett II, wajah si penulis seperti mengambang di atas genangan abu-abu: garis-garis tegas tinta cina itu menguatkan sekaligus membuyarkan sang wajah. Di sana kita tak lagi memisahkan antara yang intelektual dan yang puitis.

Nirwan Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus