SEBUAH mobil Taft berhenti tepat di depan "Dairy Queen Restaurant" -- DQ Restaurant -- di bilangan Melawai Raya, Kebayoran. Seorang pemuda belasan tahun bercelana jeans icewashed turun, bersiap-siap masuk. Tapi kemudian "Nggak jadi, ah, kita pindah tempat saja," katanya pada temannya yang masih dalam mobil. Tanpa banyak cing-cong pengemudi yang pakai kaca mata ray-ban langsung tancap gas. Pemandangan itu rutin. Anak muda bergaya dengan mobil keren serta kantung tebal adalah bagian Jalan Melawai di bilangan Kebayoran baru, yang termasuk rute ngeceng para "si Boy" Ibu Kota. Di kawasan itu para muda, dengan mobil-mobil cakep seperti anak-anak raja, cuci mata dan pamer kehebatan bulunya. Di malam hari, terutama selepas pukul 10, mereka yang berhobi hura-hura itu biasanya suka nongkrong di pusat-pusat keramaian, disko, pub, restoran kelas satu di hotel berbintang lima. Di sana "si Boy" campur aduk dengan para pegawai dan pengusaha. Penampilannya pun tak kalah hebat dengan bos perusahaan bonafide. Pakaian buatan negeri seberang, tata rambut olahan salon, dan mobil model mutahir. Siapakah sebenarnya si Boy-si Boy ini? "Sinaran dirimu mengusik angan. Menyentak mimpiku. Jiwamu yang bersih, pikiran jernih. Membuatku enggan berpaling kasih lengan yang lain." Demikian kira-kira bunyi lirik lagu dalam film Catatan Si Boy. "Di Jakarta jarang sekali ada cowok ideal seperti si Boy," kata Hilman Hariwijaya, 24 tahun, penulis cerita serial Lupus, yang sudah diangkat ke layar perak dua kali. "Ada, sih, ada. Tapi rasanya remaja Jakarta ini banyak yang lagi prihatin," ujar Hilman kepada Gunung Sarjono dari TEMPO. Hilman agaknya tak salah. Di belantara kota besar, Jakarta khususnya, memang banyak si Boy -- tapi minus pinter dan sembahyang sebagaimana si Boy dalam film. Bahkan kebanyakan plus suka alkohol dan nikotin. Karena itu, banyak si Boy yang akhirnya harus berurusan dengan polisi atau rumah sakit. Onky Alexander, 23 tahun, pemeran si Boy sendiri, berterus-terang termasuk doyan alkohol. Kalau sekarang dia jarang mabuk di tempat-tempat umum, itu lantaran tak ingin dimaki oleh penggemarnya. Kalau dulu dia mengaku paling asyik kalau mabuk di diskotek, sekarang cukup di kamar saja bersama beberapa sobat kental. Kalau begitu, Boy dua ratus persen bohong? Mungkin tidak. Seorang anak muda -- sebut saja namanya Johny -- rumahnya di mana-mana, antara lain di Pondok Indah. Ganteng, jantan, menawan. Mirip si Boy, kan? Adiknya juga hanya satu -- lagi, persis si Boy. Suka nongkrong di A & W, King Burger, atau Swensen's Ice Cream. Di rumahnya ada mobil merk BMW dan Baby Benz. Kalau kuliah ke Depok, ia memakai sedan yang bergengsi. Meskipun sehari-hari hanya pakai jeans dan kaus oblong, merknya itu lho: yang naik kuda sambil memegang tongkat. Johny, yang tak menolak diajak ke disko, ternyata tak pernah melupakan salat 5 waktu. Mengantungi kartu kredit. Liburannya di luar negeri. Teman-temannya menganggap dia rendah hati. Usianya baru 22 tahun. Dan otaknya tidak terbuat dari kerikil. Ia terbilang cerdas, dan memiliki sikap. "Ada yang tak bisa dicapai dengan uang, tapi bisa diraih dengan persahabatan," kata Johny Boy ini pada Yusroni Henridewanto dari TEMPO. Lalu dia menambahkan, "Saya tak suka kalau ada laki-laki diremehkan oleh wanita." Dengan kata lain, si Boy dalam film, yang dibikin jatuh bangun oleh pacarnya, dianggap terlalu mengada-ada oleh Johny. Si Boy Onky Alexander juga banyak mirip dengan perannya, meskipun mengaku salatnya masih bolong-bolong, tidak suka ngeceng dan ke disko hanya seminggu sekali. Tapi beberapa persyaratan lain, pas. Dia berasal dari keluara berada. Lahir di Palembang 29 September, anak pengusaha kaya asal Semarang: Sapardan. Pernah kuliah satu semester di North Eastern University, di Boston, AS, tahun lalu. Punya dinamika? Ya. Bersama dua Boy lain, Onky telah mendirikan PT Esmerald Andhika Satya, yang bergerak di bidang travel biro, percetakan, supplier, dan kontraktor. Penghasilannya sebagai bintang layar perak mula-mula hanya Rp 1 juta, tapi kini meloncat 30 juta sekali main. Sedang sebagai bintang iklan, ia pasang tarif Rp 20 juta. Dengan tinggi 1,75 cm, berat 61 kg. Onky kelihatan kekar bergaya, dan kaya. Ia bercita-cita ingin jadi pengusaha seperti ayahnya. Sejak buka kantor, ia tidak tinggal lagi tinggal di rumah orangtuanya. "Kalau cuma naik Baby Benz aja 'kan nggak istimewa. Remaja sekarang juga banyak naik BMW segala," kata Onky kepada Sri Pudyastuti. Kini ia sedang sibuk mempersiapkan film Namaku Joe, dengan sutradara Nasri Cheppy, yang diperkuat oleh beberapa Boy yang sudah kondang: Ryan Hidayat (Lupus), Tio Pakusadewa, dan Didi Petet. Hebatnya: produsernya mereka sendiri. Bukan hanya itu. Onky dan Boy-Boy itu juga punya cita-cita. Soal hebat atau kampungan, itu kita lihat saja nanti. Yang jelas, mereka ingin membuat Festival Film Anak Muda. "Sekarang ini mana pernah film remaja menang di FFI. Masa, mau dibandingin sama Tjoet Nya' Dhien, mana bisa. Ini nggak fair. Juri-juri FFI sudah tua-tua, mereka nggak ngerti gerak dan bahasa anak muda," ucap Ryan Hidayat, jumawa. Kehidupan ala Boy tak tumbuh begitu saja dari para remaja. Banyak faktor yang membentuknya. Antara lain, tak jarang dipacu oleh orangtua sendiri. Demi gengsi, banyak orangtua merayakan ulang tahun anak yang baru menginjak remaja di tempat-tempat hiburan aduhai. Seperti pengakuan Mongga, pelajar SMP di Jakarta. Hampir setiap bulan ada temannya berpesta ulang tahun di diskotek kelas "Ebony", yang uang masuknya tok Rp 10 ribu. Kalau pestanya sekadar makan bersama biasanya, di restoran sekelas Pizzaria di Hotel Hilton. Lingkungan juga benar membentuk pengikut-pengikut gaya hidup Boy. Ai Witoelar, 21 tahun, meski sudah bekerja sebagai wartawati sebuah majalah remaja, masih tak meninggalkan hobi lama. Dengan mobil BMW 520, dia suka gentayangan mencari sobat-sobat lama di tempat-tempat mangkal bergengsi. Sore hari, suka ke Srewedari Garden, Hotel Hilton, dan Barry Queen, Melawai. Malam hari langganannya adalah diskotek "Oriental" dan "Music Room," yang kondang di kalangan si Boy. Rata-rata 3 kali sebulan ia ke disko. "Biasanya, saya di disko sekitar dua jam, selain untuk disko juga untuk ngobrol-ngobrol," kata Ai. Berwajah cantik -- tinggi 161 cm, berat 43 kg -- Ai, lulusan Jurusan Desain American College di London tahun 1988 ini, selalu rapi dan bermode. "Waktu sekolah, lingkungan saya berpakaian rapi, dan itu terbawa ke sini," katanya kepada Bambang Aji dari TEMPO. Favoritnya celana pangsi dengan blus di atasnya. Menurut dia, pakaian itu bisa dibeli di Matahari, Blok M, dengan harga rata-rata Rp 120 ribu. Boy-Boy yang pernah tercatat sebagai pacar Ai ada 5. "Tapi saya nggak mau lagi pacaran sama cowok lebih miskin," katanya. Sebab, menurut pengalamannya, pacar semacam itu suka minder. Sehingga, kalau tak dijemput, tak bakal mau bertandang ke rumah calon mertua. "Ini nggak beres," kata Ai. Demam gaya hidup Boy pun menular cepat. Menjadi pemuda masa kini rasanya harus menjadi si Boy. Demikianlah, mengaku kena demam gaya hidup si Boy, Esti (bukan nama asli hampir tiap malam ngelayap. Orangtuanya, yang pensiunan pegawai negeri rendahan, sampai mengaku tak tahu lagi harus berbuat apa terhadap anak gadisnya yang baru berumur 16 tahun. "Dia maunya bergaul dengan anak-anak orang kaya," kata sang ayah. Jawab Esti enak saja, "Kalau ada teman yang bisa mengajak bersenang-senang, 'kan harus dimanfaatkan." Di pangkalan-pangkalan si Boy, Esti dan "gang"-nya sudah terkenal. Maklum, dia gampang diajak ke sana-kemari asal naik mobil dan ditraktir makanan favorit. Beberapa teman Esti bakkan tak segan minta duit, meski mengaku itu bukan praktek pelacuran. "Soalnya, duit itu paling cuma untuk ongkos pulang," ujar Esti, yang suka menelan berbagai macam tablet memabukkan. Dunia si Boy mengenakan istilah PKN -- praktek kerja nyata -- bagi sobat-sobat wanita yang suka minta duit itu. Dunia si Boy dengan demikian juga tak mulus seperti yang kita lihat dalam film. Tak sampai terungkap di dalam film adalah sisinya yang lain. Belahan yang seperti datang dengan sendirinya, menempel di pigura emas itu. Datang sendiri, itulah yang dipilih Pegina, misalnya, maaf lagi-lagi bukan nama asli. Gadis berumur 20 tahun itu, sejak tahun lalu, berdinas di sebuah bar di Jalan Blora, Jakarta. Tugasnya melayani para tetamu agar bergairah menenggak alkohol. Di luar tugas resmi, menjelang senja, Regina mengaku mencari "Boy" yang berminat piknik berdua. "Saya bosan di rumah terus," alasan Regina. Bermula 2 tahun lalu, ketika Regina baru tamat SMA. Dia mengaku stres. Ikut Sipenmaru gagal, mau melanjutkan kuliah di universitas swasta, orangtua tak mampu. Toh dia masih bermimpi punya pacar seperti tokoh si Boy di film. Ganteng, banyak duit, beriman kuat, pinter, jago berkelahi, dan populer. "Sesuai dengan selera anak muda dari dulu sampai sekarang," katanya. Itulah si Boy. Dengan segala isinya, yang gemerlapan maupun yang edan, dunianya adalah impian buat banyak orang lain. Jadi "si Boy" memang tidak gampang. Syaratnya panjang betul. Dunia fantasi buat mereka yang termasuk kelas pas-pasan. Kalau tetap ngebet, itu namanya nekat. Anehnya, banyak anak muda yang tancap terus, ingin jadi Boy. Di kawasan Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta, misalnya, hiduplah seorang calon si Boy. Hobinya mendengar musik ribut. Dipangkal lengan kirinya sudah ada tato bertuliskan STONE, pasti dia pemuja kelompok Rolling Stones. Panggilannya: Ston atau sedikit melenceng jadi Seton. Nama aslinya, hmmm cuma kerabat atau polisi yang tahu. Rimba pergaulan Ston di kelas pemuda bermodal mobil. Di situ duit tak pernah jadi soal, sehingga hampir setiap malam bisa jajan di Pasar Kaget -- kumpulan warung dekat pasar Blok M yang cuma buka malam hari -- mereka menggenjot harga menyaingi restoran. Tapi terus-terang, Seton sebenarnya kurang modal. Mobil tak punya dan jajan lebih sering ditraktir. Apalagi kalau tak ada sponsor di saat dia ketagihan obat bius. "Puyeng," katanya. Minta duit orangtua? Itu tak mungkin. Meski baru berumur 21 tahun, Seton sudah sekitar 6 tahun kabur dari rumah. Hatinya terus bergejolak dikocok oleh keinginan untuk jadi bos. Suatu hari Seton nekat. Di depan sebuah kamar hotel berbintang lima, beberapa bulan yang lalu, dia berteriak, "Fire, fire, fire." Sang penghuni kamar, seorang warga Singapura, kontan kabur dari kamarnya. Disertai 3 sobatnya, Seton menghambur ke dalam, menyikat habis semua kekayaan tamu yang nahas itu. Tapi apa lacur, dasar amatir, Seton tak mengganti nomor mobil yang dipakainya beraksi. Maka, dalam beberapa jam, berdasarkan laporan petugas kemananan hotel, polisi sukses menciduk bandit amatir itu. Di kantor polisi, keempat sekawan yang setara usia itu membuat kejutan. Ketiga sobat Seton ternyata mahasiswa tahun-tahun pertama dan berasal dari keluarga kelas menengah. Kok, jadi bajingan? Alasan mereka boleh dibilang sama: ingin memiliki hidup bergaya si Boy. Akibatnya: Seton dan ketiga Boy lain terpaksa indekos di penjara. Oh, Boy! Putu Wijaya & Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini