Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Walter Moody dan 12 Bintang di Langit

Inilah pemenang Man Booker Prize termuda dalam sejarah. Di sesi tunggal Perth Writers Festival akhir Februari lalu, Eleanor Catton berkisah tentang novelnya.

24 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The twelve men congregated in the smoking room of the Crown Hotel gave the impression of a party accidentally met. From the variety of their comportment and dress-frock coats, tailcoats, Norfolk jackets with buttons of horn, yellow moleskin, cambric and twill-they might have been twelve strangers on a railway car, each bound for a separate quarter of a city that possessed fog and tides enough divide them...."

Begitulah Eleanor Catton memulai novelnya yang luar biasa tebal itu. Pada 1866, di sebuah desa bernama Hokitika di sebelah barat daya Selandia Baru, di sebuah malam yang dihajar angin badai, seorang lelaki muda bernama Walter Moody terjerembap di depan pintu sebuah ruangan pertemuan penuh asap rokok Hotel Crown. Dua belas lelaki yang digambarkan pada pembukaan novel ini sedang berdiskusi dengan serius. Nama-namanya berbau nama dua abad lalu, seolah-olah mencelat dari novel-novel Charles Dickens, misalnya Charles Frost, Dick Mannering, dan Thomas Balfour.

Untuk 40 halaman pertama, Catton memperkenalkan tokoh Walter Moody, yang mengaku alumnus ilmu hukum tapi belum pernah berpraktek sebagai pengacara di ruang pengadilan. Tujuannya ke Hokitika sama seperti para pelancong lain: mengadu untung di desa yang dilalui sungai penuh emas itu. Ke-12 lelaki itu, melalui Thomas Balfour, yang menjadi narator pada bab ini, menunjukkan sikap hati-hati dan mempelajari latar belakang anak muda yang baru berusia 28 tahun tersebut untuk kemudian dipercayakan sebuah informasi yang diungkap seperti ledakan bom: "Let me tell you at once... that a man has been murdered...." demikian kata Balfour.

Menurut pengakuan Catton kepada Tempo, kalimat itulah yang terus-menerus mendera pemikirannya lima tahun silam. Ada sebuah pembunuhan di kampung kecil dan seseorang yang bukan detektif melakukan investigasi.

Catton mengaku banyak dipengaruhi penulis detektif terkemuka. Salah satunya Agatha Christie. Struktur yang digunakan, menurut dia, adalah novel Murder on the Orient Express karya Agatha Christie (1932), termasuk jumlah orang di atas kereta api, yang memiliki motif. Tapi tentu saja ada perbedaan yang sungguh besar antara novel detektif karya Christie dan novel Catton.

Pertama-tama, Catton mengambil setting abad ke-19 lengkap dengan bahasa Inggris lama yang melibatkan istilah, nama, kostum, dan kebiasaan yang menggambarkan zamannya. Namun dia juga menggunakan astrologi sebagai "petunjuk dasar" dari tingkah laku para tokoh dan arah perjalanan plot novelnya. Kedua, Catton menyebut novelnya bukan genre novel detektif, melainkan "astrological murder mystery". Astrologi sebagai bagian dari sejarah dan tradisi masyarakat yang menggunakan intuisi dan pergerakan bintang sebagai kecenderungan tingkah laku mereka.

Ada Anna Wetherell, perempuan yang mempunyai hubungan gelap dengan Crosbie Wells yang kelak terpaksa menjual diri dan kecanduan opium; ada abang-adik yang hubungannya masam; para petugas klerk yang ceriwis; para wartawan investigatif; dan orang-orang Maori yang bijak yang memberikan pandangan kepada berbagai peristiwa.

Catton jelas menggali sejarah sosial Selandia Baru abad ke-19 dengan serius. Dia tak ingin Moody menjadi detektif brilian seperti Sherlock Holmes. Moody "lelaki biasa" yang rasional dengan rasa ingin tahu yang dalam dan tingkat ketelitian mendekati Holmes. Moody juga memperhitungkan segala gerak-gerik untuk mendeteksi kecurigaannya: saat berbicara, saat lawan bicaranya menuangkan anggur, atau saat bola biliar menggelinding.

Daripada karya Agatha Christie, sesungguhnya novel The Luminaries saya anggap lebih cocok dibandingkan dengan The Name of the Rose karya Umberto Eco (1983) dan My Name is Red (1998) oleh Orhan Pamuk, karena dua novel klasik itu juga memilih "orang biasa", bukan perangkat hukum seperti polisi atau detektif, untuk menyelidiki sebuah (atau beberapa) kematian di sebuah wilayah yang unik.

Eco memilih biara, Pamuk bercerita tentang kematian di antara para miniaturis di masa Ottoman abad ke-16, sedangkan Catton memilih Selandia Baru abad ke-19 di masa panen emas. Pada paruh tengah novel ini, unsur magnetik dari cerita bukan lagi siapa dan mengapa terjadi pembunuhan, melainkan bagaimana interaksi 12 tokoh-yang menurut pengakuan Catton mengikuti jumlah tokoh dalam novel Murder on the Orient Express dan jumlah zodiak-dan pada tokoh-tokoh di luar ke-12 lelaki itu.

Dialog panjang dengan bahasa yang rumit bukanlah gaya khas penulisan Catton. Diksi di dalam novel ini jelas disusun dengan penuh motif dan perencanaan yang matang. Selandia Baru pada 1866 tentu lebih menggunakan kalimat panjang penuh kata sifat-satu kalimat bisa terdiri atas tujuh baris-dan lebih menekankan subplot dari narasi para tokohnya yang bergantian seperti gaya Rashomon.

Jika sedikit bersabar, kita akan paham bahwa fungsi astrologi itu mempertemukan sepasang kekasih dan sekaligus menjadi simbol yang menjadi judul novel ini: The Luminaries. Pasangan itu adalah matahari dan bulan, yang disimbolkan sebagai satu kesatuan.

Memang membaca buku ini, meski asyik dan seru, tetap membutuhkan kesabaran sebelum buru-buru memakinya. Pada akhir-akhir babak, segala yang bertebaran itu akan menyatu dengan rapi dan tertata indah. Ia menebarkan seluruh plot, cerita, serta karakter dengan penuh perhitungan dan kita akan membacanya seperti menikmati tebaran bintang di langit.

Leila S. Chudori


Dipengaruhi Karya Charles Dickens

Eleanor Catton. Gadis 28 tahun ini adalah sastrawan termuda yang pernah diganjar Man Booker Prize dalam sejarah. The Luminaries juga dinyatakan sebagai novel paling tebal yang pernah dimenangkan dalam sejarah penghargaan tersebut. Dewan juri memuji The Luminaries sebagai novel yang sangat dewasa dan mengagumkan. Mereka sama sekali tak keberatan terhadap tebal buku itu karena memang ia dianggap sangat bagus dan diputuskan menjadi pemenang hanya dalam dua jam diskusi antarjuri. Penghargaan yang mengucurkan uang 50 ribu pound (sekitar Rp 900 juta) untuk pemenangnya itu adalah salah satu penghargaan sastra prestisius.

Puja-puji, juga kritik keras, muncul. Catton tersenyum dan menyatakan sama sekali tak terganggu oleh kritik. Lahir di London, Ontario, Kanada, Eleanor Catton tumbuh dan besar di Christchurch. Sejak kecil dia sudah hidup dengan buku dan "bercita-cita menjadi penulis". Di hadapan 700 pengunjung Perth Writers Festival pada Februari lalu, Catton mengaku, ketika teman-temannya sibuk memilih jurusan kuliah, ia dengan nada polos malah mengatakan, "Saya kuliah hanya untuk mengobservasi kalian agar bisa menulis."

Novelnya yang pertama berjudul The Rehearsal. Catton menulis tanpa pretensi karena itu adalah tesis S-2 dalam Creative Writing di Victoria University of Wellington. Novel itu berkisah tentang skandal antara guru sekolah menengah atas dan seorang murid perempuan. Di antara kisah skandal itu, Catton menyajikan kesibukan para remaja berlatih drama. Adegan nyata dan adegan panggung saling berselisip dan berbaur. Keren!

Novel The Luminaries disebut dewan juri sebagai novel terpanjang yang pernah dimenangkan Man Booker Prize dalam 45 tahun sejarah penghargaan ini. Ketua dewan juri Robert Manfarlane memberi komentar ini adalah karya yang, "Luar biasa dan bercahaya." Dia mengakui buku ini sangat tebal, tapi bisa menjaga ritme dan tidak keteteran ke mana-mana.

Di hadapan 700 pengunjung Perth Writers Festival-yang harus membayar tiket-Eleanor Catton berkisah bagaimana selama lima tahun dia berjam-jam mengorek-ngorek perpustakaan dan arsip pengadilan Selandia Baru abad ke-19 untuk mempelajari jalannya proses peradilan, juga diksi dan bahasa di masa itu. "Saya sangat dipengaruhi bahasa Charles Dickens untuk suasana abad ke-19," ucap Catton, jujur.

Kepada Tempo, dia mengaku sudah membaca The Name of the Rose karya Umberto Eco, tapi tetap memberikan kredit terbesar kepada Agatha Christie sebagai novelis yang "mendidik"-nya untuk membangun struktur. "Tak ada yang salah untuk memiliki pengaruh," ujarnya dengan rendah hati. "Sebab, kisahnya adalah sebuah kisah yang saya bangun sendiri."

Setelah kemenangannya yang menggegerkan dunia sastra internasional, Catton tak hanya diundang ke berbagai festival sebagai pembicara. Dia juga dianugerahi gelar doktor sastra di Victoria University of Wellington. Catton menghargai semua perhatian dan penghargaan itu, tapi dia tetap gadis pemalu dan rendah hati yang jarang berbicara di antara puluhan sastrawan dunia lainnya.

Leila S. Chudori (Perth, Australia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus