THE SICILIAN Pemain: Christopher Lambert, Terence Stamp Cerita: Mario Puzo Sutradara: Michael Cimino KEHIDUPAN "bandit" selalu menarik. Kekerasan yang menimpa orang lain, seperti begitu nikmat kalau dituturkan. Menyadari ini, Mario Puzo, menyambung ledakan novel The Godfather, menulis The Sicilian yang tak kalah asyiknya. Bila The Godfather disuguhkan dengan bagus sekali oleh Coppola ke layar perak, di tangan Michael Cimino -- The Deer Hunter -- lahirlah sebuah film, yang oleh majalah Playboy dianugerahi empat bintang (bintang tertinggi 5). Sicilia, bumi "dongeng" yang ditaburi gereja dan kehidupan keagamaan yang ketat, adalah kerajaan para bandit. Dengan bukit-bukit, ladang, jalan setapak yang indah, di situ, keluarga adalah segala-galanya. Di belahan Barat muncul pemuda Turi Guiliano bandit budiman yang merampas milik orang kaya untuk dibagikan ke rakyat Sicilia yang miskin. Di masa itu, para tuan tanah yang memiliki hamparan tanah dengan istana dan segala kekayaannya, sedang berhadapan dengan kelompok kiri yang ingin membela petani. Guiliano, pada awalnya, berpihak ke kiri, karena calon istrinya adalah adik pemimpin kaum proletar yang haus tanah itu. Tetapi kemudian ia kembali menarik garis pisah, karena musuhnya tetapi yang juga pelindungnya: Don Crose Malo, menghendaki ia menekan golongan komunis untuk satu kemenangan politik. Guiliano, yang pernah membunuh polisi dan ingin hijrah ke Amerika, mendambakan pengampunan serta kebebasan, menyetujui. Tetapi sayang, rencana itu tak berjalan lurus. Di saat orang-orang kiri berbaris unjuk rasa dengan bendera-bendera merah, dipimpin oleh istri dan kakak ipar Guiliano, terjadilah pembelotan. Kelompok Guiliano yang bermaksud hanya menaburkan tembakan di atas kepala, untuk membubarkan barisan itu, kecolongan. Tiba-tiba terdengar berondongan senapan mesin menumbangkan para pemikul bendera merah. Korban bergeletakan, termasuk ipar Guiliano sendiri. Setelah peristiwa yang menjatuhkan martabat itu, Guiliano kehilangan kepercayaan. Rakyat meninggalkannya. Ia membunuh mereka yang sudah berkhianat. Termasuk mencoba menyikat Don, yang pernah menjadi "bapak" dan pelindungnya, tetapi luput. Aspanu, yang selama ini selalu di sampingnya, kemudian menganggapnya sudah edan. Toh ia masih mendapat kesempatan untuk meninggalkan Sicilia. Namun lelaki yang dari awal diperkenalkan "tidak takut mati" ini, memilih tinggal. Sambil memegang tali perahu, dengan gagah, ia memberanikan Aspanu Pisciotta, kawannya yang mulai memihak Don, untuk menarik lop pistol. Sementara sesaat sebelumnya, ia menyerahkan cincin kepada seorang anak kecil, sisa-sisa pengikut/pemujanya yang setia, untuk meneruskan perjuangan. Mayat Guiliano kemudian dilemparkan di jalanan, seakan-akan itu hasil karya tentara. Film ini mungkin tak akan memuaskan penonton yang suka dar-der-dor. Sebagaimana The Deer Hunter, Cimino lebih bicara tentang manusia. Dalam rimba malapetaka, karena jepitan ekonomi dan politik, diperlukan seorang yang berani mati, untuk melakukan perubahan, setidak-tidaknya keseimbangan. Guiliano adalah produk dari masyarakat yang sudah sampai ke tepi penderitaan. Semangat. melawan pemerintahan Roma yang bobrok, sudah terbawa dari lahir, jatuh bangun menghadapi benteng penindasan yang begitu momumental. Ini bukan bualan seperti Rambo, tetapi muntahan kepahitan. Dengan gambar-gambar yang bagus serta adegan-adegan yang teater, Cimino menyajikan balada perjuangan manusia melawan kekuasaan yang kejam. Perjuangan itu sendiri kejam. Tak terhindarkan, yang muncul kemudian seorang pahlawan yang mirip dewa, tetapi tanpa kebijaksanaan. Dan sudut ini, sosok Guiliano terasa tidak dewasa. Ia berontak pada usia 20 tahun dan meninggal dalam usia 27, pada tahun 1950. Setiap kali membunuh orang yang dianggapnya sebagai bagian dari perjuangan yang sah, Guiliano menyertakan secarik kertas dengan tulisan: "mati buat yang mengkhianati Guiliano". Ia menjadi kebenaran, menjadi idola rakyat, sampai penkhianatan itu memaksa kedudukannya kembali sebagai orang biasa yang nampak edan. "Kau janjikan kepada rakyat sepetak tanah" kata Professor Hector kepada Guiliano, beberapa saat sebelum jagoan itu mati, "tetapi kau tak sadar, mereka sebenarnya tidak mendambakan tanah, mereka mendambakan sekerat roti." Christopher Lambert, bintang Prancis yang sukses membintangi film Tarzan versi paling baru itu, bermain lumayan. Memang agak sulit buat kita untuk menerimanya sebagai bukan Tarzan -- sebagaimana sulit menerima Christoper Reeves sebagai bukan Superman. Aktor ini tekun, meskipun belum matang. Juga terasa, Cimino, kali ini, kehilangan Robert de Niro yang memberi bobot The Godfather II dan The Deer Hunter. "Menapa ia tak datang padaku saja," tanya Don Crose Malo di atas nisan Guiliano. Professor Hector Adonis, penghubung, lantas berbisik. "Dia tidak memerlukan seorang bapak. Dia adalah bapak untuk dirinya sendiri." The Sicilian memiliki adegan-adegan cantik yang mengharukan dan kalimat-kalimat yang layak dipasang sebagai kata-kata mutiara. Tetapi butiran-butiran itu kadangkala ditambahi pigura lagi oleh Cimino sehingga daya gigitnya justru berkurang. Beberapa gambar diambil dengan sudut bidik yang melahirkan komposisi molek, tetapi terasa dipajang dan ditahan dengan sengaja, agar kita menikmatinya. Ini mempengaruhi tempo, ritme, dan kemudian kekenyalan kisah. The Godfather karya Coppola, buat saya, lebih kental. Namun film ini tetap merupakan hidangan yang bagus di tengah serbuan film dar-der-dor yang membabi buta dan merusak selera penonton film kita dewasa ini. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini