Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font size=2 color=#CC0000>Anwar Suprijadi: </font><br />Indonesia Bukan Halaman Belakang Singapura

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

<font size=2 color=#CC0000>Anwar Suprijadi: </font><br />Indonesia Bukan Halaman Belakang Singapura
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

ANCAMAN itu datang dari Anwar Suprijadi, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan. Pokok soalnya tak main-main: penyelundupan.

Anwar mengancam akan menarik kantor perwakilannya dari Pelabuhan Sekupang, Batam, bila Departemen Perhubungan tak mampu menertibkan penumpang yang disinyalir banyak menyelundupkan barang elektronik dari Singapura ke Pelabuhan Tanjung Priok. Penyelundupan itu dilakukan dengan menggunakan kapal motor Kelud melalui Pelabuhan Sekupang. ”Kalau kami menarik diri dari Sekupang, sebagai gantinya kami akan mengoperasikan kapal patroli laut untuk memeriksa dan menindak langsung di laut lepas,” ujarnya Selasa pekan lalu.

Anwar, 61 tahun, memang pantas cemas terhadap penyelundupan dari Batam yang belakangan kian marak. Dengan memanfaatkan kebijakan zona perdagangan bebas (free trade zone), kapal-kapal bisa leluasa membawa barang konsumsi ke pelabuhan-pelabuhan di Jawa. ”Sebenarnya kebijakan zona bebas dimaksudkan agar tak ada bea masuk dan pajak. Tapi bukan berarti peran Bea-Cukai dianggap tak ada,” ucapnya.

Untuk memperjelas duduk soal kasus ini, Setri Yasra, Agoeng Wijaya, Vennie Melyani, dan Yophiandi dari Tempo menemui Anwar, yang beberapa tahun ini gencar mereformasi lembaga yang ia pimpin itu. Sang Dirjen, misalnya, tak segan mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mencokok anak buahnya yang menerima suap. Tindakannya ini sempat dipertanyakan anak buah. ”Kok ya pimpinan mau menyerahkan anak buahnya ke orang lain,” ujarnya. Toh, konsistensi Anwar berbuah. Kakek enam cucu yang punya ”hobi” bekerja itu akhirnya melihat hasilnya dua tahun kemudian: penerimaan negara dari instansinya naik dua kali lipat.

Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Anwar, yang didampingi beberapa koleganya di tim reformasi direktorat itu, Jumat pagi pekan lalu.

Penerapan zona perdagangan bebas di Batam, Bintan, dan Karimun tampaknya telah membawa ekses: penyelundupan marak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai banyak dirugikan. Apa tanggapan Anda?

Konsep zona perdagangan bebas ini awalnya memang dimaksudkan untuk mengundang lebih banyak investor. Tapi investor tak datang-datang, justru persoalan yang datang. Zona bebas di Batam, Bintan, dan Karimun itu tak lazim. Pemikirannya dulu adalah bea masuk harus rendah. Konsepnya untuk semua pulau (ketiga pulau terdiri atas pulau-pulau kecil). Ini membuat pintu masuk barang tak terkontrol. Batasnya tak jelas. Kawasan ini bisa dipakai untuk transit barang-barang konsumsi. Misalnya telepon seluler BlackBerry. Saya tahu dari teman-teman di Roxy, Jakarta, kalau mau beli BlackBerry sekarang, pesan saja di Batam.

Anda melihat ada salah kaprah dari pemberlakuan zona bebas ini?

Ya. Sebetulnya konsep dalam free trade zone itu tak ada bea masuk dan pajak. Tapi itu bukan berarti tak ada Bea dan Cukai. Kami kan mencatat keperluan berapa dan jenis barang apa yang masuk. Ini ada di master list-nya (daftar keluar-masuk barang dari dan ke luar negeri). Jika tak ada Bea dan Cukai, tak ada kontrol. Kalau tak ada kontrol, bagaimana tahu apakah kita untung atau rugi? Ini sama saja dengan daerah itu jadi halaman belakang negara tetangga: Singapura dan Malaysia. Semestinya, kalau mau memperjuangkan Republik, ya kita siap menghadapi Malaysia dan Singapura, supaya kita sejajar dengan mereka.

Apa yang terjadi dengan kasus kapal motor Kelud? Bea dan Cukai mengancam keluar dari Batam?

Saya masih akan menunggu hingga dua bulan mendatang. (Anwar menerima informasi bahwa Direktur Jenderal Perhubungan Laut Sunaryo telah menginstruksikan Pelabuhan Sekupang menertibkan penumpang dalam dua bulan ini.) Saya juga mesti berkonsultasi dulu dengan Menteri Keuangan, karena tak baguslah dua instansi pemerintah bertempur karena satu masalah.

Menurut Anda, apa tantangan terbesar bagi Bea dan Cukai dalam penerapan zona perdagangan bebas?

Tantangan terbesar di internal pemerintahan. Kita perlu kesadaran meningkatkan daya saing. Misalnya di free trade agreement antara ASEAN dan Korea Selatan, dan ASEAN-Cina. Sebetulnya ini tak menguntungkan kita. Tarif diturunkan, produk kita malah kalah bersaing. Keinginan kami dalam agreement bukan cuma menurunkan tarif, tapi juga menuntut negara lain mematuhinya. Kalau Singapura sudah main-main dengan kita, undervaluation (memandang sebelah mata) terhadap kita tiap hari, apa perlu kita free trade dengan mereka? Teman-teman (instansi lain) menganggap ini menguntungkan negara, tapi bagi kami justru merugikan Indonesia.

Posisi tawar kita selemah itu?

Sebetulnya bisa tidak demikian. Tapi pihak kita aneh. Misalnya, kalau bernegosiasi, kita minta ke Singapura hal yang ecek-ecek (tak seberapa), seperti meminta bisa mengirim orang belajar bahasa Inggris ke sana. Kalau cuma itu, saya bayari juga bisa. Kenapa dalam perjanjian dengan Singapura kita tidak meminta hal yang sepadan? Ini persoalan serius kita.

Pada saat pembicaraan perjanjian ekstradisi, soal zona perdagangan bebas kabarnya malah jadi posisi tawar Singapura. Mereka menawarkan diri menjadi broker dalam mendatangkan investor?

Begini, saya tak ingin Singapura menganggap free trade zone ini negara dia. Saya pernah tersinggung sewaktu rapat. Kami kan tukar-menukar acara, termasuk tuan rumahnya siapa. Kalau kita menjadi tuan rumah, acaranya kita buat di Jakarta. Pas di Singapura, dia bilang silakan datang ke Bintan. Anda tersinggung tidak? Bintan itu punya Republik Indonesia atau Singapura? Tapi pejabat kita mengangguk-angguk saja. Saya cuma menyampaikan ke teman-teman Departemen Luar Negeri yang sepaham supaya bikin pencegahan. Singapura itu, walau hidup dari kita, tak pernah mempromosikan kelebihan kita. Kita malah menunduk-nunduk ke mereka.

Apa yang sudah disiapkan untuk mencegah penyelundupan di perbatasan?

Kami sudah mengarahkan pada border protection, mengamankan ekspor dan impor kita, serta menguatkan pangkalan operasi di pelabuhan. Ini sudah masuk di anggaran 2010. Salah satunya ada di Batam. Kami juga mendesain supaya speedboat kami bisa mengejar penyelundup.

Bagaimana dengan kelanjutan reformasi di Bea dan Cukai? Apa saja yang perlu direformasi?

Sebenarnya reformasi dilakukan sejak saya belum di sini. Waktu itu, sudah bagus teknologi informasinya. Tapi tuntutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, tak cuma mengubah teknologi. Yang paling penting budayanya, integritasnya. Saya datang dari luar, tak bawa teman. Tapi saya yakin bisa mengubahnya karena teman-teman di sini juga menginginkan perubahan.

Perubahan biasanya membuat banyak pihak tak nyaman?

O ya. Yang enggak happy, pertama, teman-teman importir. Mereka meluapkan ketidaksukaan dalam bentuk macam-macam. Ada yang berdemo sampai menginap di sini. Bolak-balik meminta dukungan media. Itu biasa. Buat kami, itu seperti uji nyali.

Dalam mereformasi, apakah menggunakan konsultan?

Tidak. Persoalan kami kompleks, hanya kami yang mengetahuinya. Masalah ada di kantor pelayanan, kantor wilayah, kantor pusat importir, eksportir. Importir sekitar 500 ribu. Sebagian besar high risk (kategorinya), seperti alamatnya tak jelas atau menggunakan nama orang lain. Kemudian perusahaan rokok. Ada yang main pita cukai, menempatkan pita cukai tidak pada tempatnya. Lalu pertanyaan kita: harus mulai dari mana? Akhirnya kami sepakat memulai di tempat yang paling memberikan impact bagi Republik. Pintu gerbangnya saja: Pelabuhan Tanjung Priok dan Bandara Soekarno-Hatta. Sebab, kami berpikir tak bisa menyelesaikan semuanya dalam sekejap.

Mengapa Tanjung Priok?

Tak mudah mengubah Tanjung Priok. Kami juga sempat ragu. Kami tanya senior, dirjen sebelumnya. Mereka bilang, kalau ini berubah, Republik macet. Tapi teman-teman bersemangat. Akhirnya jadi. Tanjung Priok dulu punya tiga kantor pelayanan dan satu kantor wilayah, dibagi per daerah dermaga ini dan itu. Kalau (penyelundupan) dicegat di dermaga ini, lari ke sana. Jadi ya berebut ”langganan” saja. Kami sepakat, jadikan satu saja keempat kantor itu.

Bagaimana dengan pegawainya?

Total pegawai 1.300 orang. Pegawai honorernya 350 orang. Anehnya, honor ini tak dibiayai negara. Pakai uang kantor-kantor tersebut, tapi uang enggak benar. Kami jadikan satu, kemudian ditata ulang. Formasi awal dibutuhkan 872 orang. Sistem honor dibereskan. Ini semua dimulai 1 Juli 2007.

Apa hasil reformasi ini?

Dulu, sebelum diubah, penerimaan cuma Rp 600 miliar. Tapi tiga bulan kemudian naik menjadi Rp 800 miliar. Pada November sudah memenuhi target. Sekarang penerimaan sekitar Rp 1,3 triliun. Penerimaan meningkat, integritas meningkat.

Penyelewengan langsung berhenti?

Dulu orang enggak percaya bahwa kami serius berbenah. Pegawai masih ada yang menerima suap. Lalu, pada Mei 2007, kami bersama Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan sidak (inspeksi mendadak) ke Tanjung Priok. (Empat pegawai Bea dan Cukai tertangkap basah menerima suap. Puluhan amplop berisi uang rupiah dan dolar ditemukan di bawah meja, bahkan ada yang diselipkan di kaus kaki.) Itu kami lakukan karena kami sudah gemas. Setelah kejadian itu, teman-teman menganggap ini tsunaminya Priok.

Bagaimana dengan ”gangguan” dari importir?

Pernah seorang perempuan datang dengan membawa perwira tinggi. Ia bilang dekat dengan seseorang. Ya, saya bilang saja, yang bisa memerintah saya cuma dua: Presiden dan Menteri Keuangan. Kalau saya diperintah Presiden untuk melepas kasus Anda, saya lepaskan. Ternyata kan enggak bisa. Persoalan dengan bidang migas juga pernah. Kami berpikir nomor kepabeanan mestinya dari kami. Tapi selama ini nomor kepabeanan dari mereka sendiri. Mereka sempat mengancam, kalau diganggu, pasokan minyak terganggu. Kami enggak ada urusan. Urusan minyak terganggu kan urusan Menteri Energi. Ternyata minyak lancar-lancar juga. Kalau ditakut-takuti, mah, kami sudah kenyang (tertawa).

Anda sudah membuat cetak biru sistem ini, tapi Anda kan tak akan selamanya di sini. Bagaimana menjamin sistem tetap jalan?

Harus ada kemajuan. Kami tak ingin membangun orang per orang, tapi sistem. Supaya pemikiran kami sama, tim percepatan reformasi, yang masih ad hoc, perlu dilembagakan. Mungkin akan butuh jadi direktorat. Tapi ini perlu persiapan. Sekretaris direktorat jenderal sudah menyiapkan sumber daya manusianya. Ad hoc ini kan tak boleh lebih dari tiga tahun, makanya kami jadikan direktorat saja.

ANWAR SUPRIJADI

Lahir: Semarang, 23 Desember 1948

Pendidikan:

  • Pascasarjana Transportasi Institut Teknologi Bandung (1983)
  • Sarjana Ekonomi Universitas Diponegoro (1972)

Pekerjaan:

  • Direktur Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan (2006-sekarang)
  • Kepala Lembaga Administrasi Negara (2003-2006)
  • Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (2001)
  • Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan (1998-2001)
  • Direktur Jenderal PPK Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (1995-1998)
  • Direktur Utama Perusahaan Kereta Api (1991-1995)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus