Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Stimulus Fiskal Gagal: Salah Siapa? Apa Maknanya?

3 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adrian Panggabean*
*) Praktisi kebijakan ekonomi, penasihat ekonomi pemerintah di sebuah negara Asia

BERITA yang dilansir media bahwa realisasi stimulus fiskal 2009 sangat rendah tidaklah mengejutkan. Dalam kolom di Tempo (30 Maret 2009), saya sudah melihat bahwa keberhasilan stimulus ini lebih kecil dari fifty-fifty, karena (i) struktur kebijakan stimulus fiskal ini tidak rinci, bahkan banyak bolongnya, (ii) kelembaman birokrasi adalah penyebab utama dari rendahnya penyerapan APBN (dan berimplikasi pada kesulitan yang muncul buat pemerintah dalam memberikan pembenaran tentang perlunya utang untuk menambal defisit), dan (iii) akan lebih produktif bila tim ekonomi berfokus pada penyederhanaan mekanisme/prosedur pembayaran dan implementasi proyek ketimbang mengutak-atik asumsi defisit.

Semua yang saya prediksi menjadi kenyataan. Pengeluaran infrastruktur sampai akhir Juni 2009 baru lima persen dari alokasi Rp 12,2 triliun. Departemen Keuangan menyalahkan kendala administrasi dan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal fakta menunjukkan bahwa isunya bukan cuma itu. Banyak muncul kesimpangsiuran pemahaman tentang cara dan prosedur pemanfaatan dana stimulus, baik antardepartemen maupun antara pusat dan daerah. Tapi bukankah semua faktor itu mestinya sudah diketahui dari awal dan diantisipasi secara detail?

Paling tidak, kolom saya sudah memberikan peringatan soal itu. Penyerapan stimulus PPh 21 pun tidak sampai delapan persen. Departemen Keuangan tidak punya informasi di balik kegagalan yang satu ini. Tapi sinyalemen mengarah pada perilaku berhati-hati (alias respons mikroekonomi yang negatif) dari pembayar pajak. Nah, untuk menutup defisit anggaran akibat stimulus ini, pemerintah lalu menjual surat utang negara. Sialnya, imbal hasilnya (yield) pun kelewat tinggi, sehingga berpotensi menambah beban para pembayar pajak nantinya.

Yang menarik, laporan pelaksanaan APBN 2009 menunjukkan, sampai pertengahan Juli, anggaran belanja barang dan modal yang terpakai baru 30 persen. Artinya, kebijakan fiskal secara keseluruhan tidak berperan sebagai pump-primer terhadap perekonomian saat krisis. Di sisi kebijakan moneter, kita juga melihat, sampai akhir Juni, suku bunga tak kunjung turun. Maknanya, saat perekonomian meluncur ke bawah di paruh pertama ini, perekonomian tak mendapatkan stimulus moneter.

Ini semua cerminan betapa stimulus fiskal dan APBN 2009 tidak berperan dalam dinamika dan trajektori perekonomian domestik, paling tidak pada semester pertama. Jadi, analisis apa pun yang mencoba mengaitkan peran kebijakan fiskal dengan kinerja ekonomi pada 2009 akan mirip pepesan kosong. Bila observasi fiskal ini kita gabungkan dengan ketiadaan stimulus moneter, tak berlebihan bila disimpulkan bahwa skala kegagalan kebijakan tim ekonomi pemerintah telah mencapai ambang heroik.

Dengan fakta ini, bila ada orang bertanya, ”Lalu kepada siapa pujian harus diberikan terhadap berkurangnya tekanan krisis terhadap Indonesia akhir-akhir ini?” jawabannya ada dua. Pertama, yang pasti bukan kepada tim ekonomi pemerintah. Kedua, tolong hati-hati dalam menyimpulkan bahwa krisis ekonomi hampir selesai.

Di tengah kegagalan kebijakan stimulus ini, muncul pula wacana untuk membuang beberapa elemen stimulus pada 2010. Petinggi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, misalnya, menyarankan fasilitas diskon pajak tak dilanjutkan, juga elemen lainnya dialokasikan sebagai belanja langsung. Pejabat Departemen Keuangan pun keluar dengan pernyataan bahwa mereka masih belum yakin apakah stimulus harus dinaikkan atau tidak. (Padahal sekarang sudah Agustus dan APBN 2010 dimulai lima bulan lagi.) Reaksi saya saat membaca pernyataan itu: ”Lho kok exit strategy-nya seperti ini?”

Hal itu berbeda diametral dengan otoritas moneter dan fiskal Amerika Serikat. Mereka sudah punya exit strategy, bahkan ketika mulai menjalankan kebijakannya. Ibarat perang, mereka tidak hanya paham ”kapan dan bagaimana caranya” memasuki medan pertempuran, tapi juga kapan harus keluar.

Ketiadaan exit strategy ini juga mengingatkan saya pada ”mitos” yang muncul di Jepang awal 1990-an. Saat itu, beberapa kalangan meyakini stimulus fiskal tak perlu dilanjutkan karena tak menghasilkan dampak apa pun terhadap perekonomian. Padahal penerapan buka-tutup keran fiskal yang tidak konsistenlah yang sebenarnya menyebabkan gembosnya potensi kekuatan stimulus. Ketiadaan koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter adalah penyebab lain.

Ibarat mobil, bila sopir terlalu sering dan mendadak menginjak pedal gas dan rem, yang khawatir pasti penumpangnya. Bila tim ekonomi pemerintah mulai melempar wacana buka-tutup keran fiskal tanpa koordinasi dan perencanaan yang matang, apalagi di tengah ketiadaan sebuah exit strategy, yang tercipta adalah insentif negatif dan kekacauan ekspektasi ekonomi bagi pelaku ekonomi. Mestinya praktek baik dan pelajaran sejarah ekonomi di negara lain dicermati secara bijaksana oleh tim ekonomi pemerintah.

Profesor Greg Mankiw pernah berkata, untuk menilai kompetensi seorang dokter, jangan hanya melihat dari hasilnya (outcome). Dokter yang paling hebat pun pasti pernah punya pasien yang meninggal. Sebaliknya, seorang dukun kampung juga pernah sukses menyembuhkan pasiennya. Sembuh atau meninggal bisa terjadi karena fenomena acak (random) atau nasib. Sehingga yang seharusnya diamati adalah kebijakan yang diambil si dokter plus kombinasi resep yang dia berikan. Dari situ akan tampak apakah sang dokter telah mengikuti best practices dalam menghadapi kondisi unik pasiennya.

Bila nasihat Mankiw ini kita aplikasikan untuk menilai tim ekonomi pemerintah, rasanya gambaran tentang kualitas mereka agak jelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum