Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENISE Jannah menyapa sekitar 250 penonton yang memenuhi kursi di Teater Salihara selama dua malam, Jumat dan Sabtu dua pekan lalu, lewat sajian jazz bersulam puisi. Penyanyi bertubuh gempal kelahiran Suriname, Amerika Selatan, 53 tahun lalu ini juga berturut-turut tampil di Erasmus Huis, Jakarta (26 Juli), dan di Yogyakarta (27 Juli).
Denise memang berhasil menyita simpati penonton dengan keramahannya yang tak jarang berbumbu canda. Suaranya mungkin bisa dipadankan dengan songstress seperti Ella Fitzgerald atau Sarah Vaughn. Artikulasinya jelas.
Malam itu, didukung kuartet Wolf Martini (gitar), Lesley Joseph (bas), Gilbert Breuer (perkusi), dan Walter Muringen (drum), Denise tampil multilingual. Dia tampaknya memang terampil menyanyikan lagu dalam berbagai bahasa, dari Inggris, Belanda, Prancis, sampai Suriname, termasuk Indonesia.
Bukan hanya itu, wanita kulit hitam yang bernama asli Denise Johanna Zeefuik ini juga seorang komposer yang cenderung mengaduk-aduk berbagai gaya musik, seperti blues, funk, samba, bossa nova, termasuk kaseko, sebuah polar item dari Suriname, dalam bingkai jazz. Selain mengedepankan berbagai lagu jazz standar seperti Nature Boy, Teach Me Tonight, Autumn Leaves, How Do You Keep Music Playing, Turn Out the Stars, dan Caravan, Denise yang telah merilis enam album (tiga di antaranya dirilis Blue Note, Amerika) ini pun menyajikan sederet lagu yang tercerabut dari karya puisi. Mungkin di sini sisi menarik penampilan Denise.
Musikalisasi puisi dilakukannya sejak awal 2002, yang ditampilkannya dalam beberapa festival di Belanda, Suriname, Afrika Selatan, Aruba, serta Indonesia. Pada 2004, muncullah albumnya yang keenam, Gedicht Gezongen, yang diproduserinya sendiri. Sebanyak 22 lagu di dalamnya, semuanya, diangkat dari puisi. Dengan telaten Denise mengumpulkan puisi karya penyair dari Belanda (M. Vasalis, Neeltje Maria Min, Gerrit Komrij, Hans Andreus), Suriname (Shrinivasi, Margo Morrison, Trefossa, Orlando Emmanuels, Celestine Raalte, Michael Siary), Aruba (Ernesto Rosenstand), Curacao (Frank Martinus Arion, Elis Juliana), Afrika Selatan (C. Louis Leopoldt), St. Maarten (Ruby Bute), dan Indonesia (Sitok Srengenge).
Memusikalisasi puisi dalam tekstur jazz memang bukan sesuatu yang baru. Pada 1960-an, saksofonis Stan Getz pernah berkolaborasi dengan penyair Lawrence Ferlinghetti. Pada 1970-an, Gil Scott-Heron pun melakukan jazz poetry.
Denise, sebelum menyanyikan lagunya, selalu bertutur tentang penyair dan puisi yang dinyanyikannya. Dia, misalnya, bercerita tentang penyair Ruby Bute dari St. Maarten yang menulis She Walks the Streets. ”Ini kisah tentang seorang wanita. Mungkin tunawisma. Selalu melintas di jalanan dengan wajah yang sedih, tapi ternyata tak mau dikasihani,” katanya. Dengan pola blues, Denise pun berdendang:
No one knows what made her fail
What desperation made her walk the streets
She gazes beyond the passing crowds
While her secret cry silently
Within her hearts shattered life
Leans up against a wall
Denise lalu menyanyikan puisi karya Frank Martinus Arion, penyair asal Curacao, bertajuk Mi Tin Gana Di Mirabu—sebuah penafsiran romansa dengan mengambil idiom metaforis. ”Dalam bahasa Inggris, artinya when I see you,” Denise menjelaskan.
Hanya diiringi petikan gitar Wolf Martini, Denise kemudian menyanyikan Voor Een Dag Van Morgen karya penyair Belanda, Hans Andreus. Lalu, dengan gaya samba, Denise menyanyikan puisi karya penyair Suriname, Celestine Raalte, Sondongo. ”Sondongo itu artinya sunset,” kata Denise sembari tersenyum. Kemudian Denise mendaulat penyair Sitok Srengenge ke pentas untuk membacakan puisi Osmosa Asal Mula, yang ditulis Sitok pada 1995.
Setelah itu, Denise melantunkan puisi Sitok. Notasi yang dibuatnya berdasarkan rima puisi Sitok bagai sebuah senyawa meski lagu ini bergulir tanpa refrain. Dengan introduksi suara ghatam dan saron yang di-sampling Gilbert Breuer lewat perkusi elektroniknya serta disusul petikan gitar Wolf Martini, lagu ini seolah memberikan keteduhan pada penikmatnya. Sepintas ada nuansa Indonesia yang menyembul.
Aku bertanya kepada angin
Dari mana asalnya angan
Angin menggoyangkan pucuk-pucuk daun
Dan kusaksikan pohon-pohon
Melukis lingkaran tahun
Dan Denise Jannah malam itu seolah melepas sekat-sekat budaya, bahasa, dan ras lewat musik jazz.
Denny Sakrie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo