Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR Direktorat Jenderal Pajak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, tampak sepi Kamis malam dua pekan lalu. Hampir semua pegawainya sudah pulang karena waktu telah mendekati pukul 20.30, jauh melewati akhir masa kerja normal pukul 17.00. Tapi Mochamad Tjiptardjo, Direktur Intelijen dan Penyidikan, masih berada di ruangannya menyelesaikan pekerjaan.
Tiba-tiba Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, yang juga masih di kantor, memintanya menyiapkan daftar riwayat hidup. Darmin membutuhkan biodata itu untuk data pendukung Tjiptardjo menjadi calon Direktur Jenderal Pajak. Darmin akan melepas jabatannya karena terpilih menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 11 Mei 2009.
Permintaan mendadak membuat pria kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 58 tahun lalu ini kaget. Dia kalang-kabut mencari salinan daftar riwayat hidup lantaran seluruh stafnya sudah pulang. Beruntung, biodatanya masih tersimpan di database kantor, lalu diserahkan kepada Darmin. Esoknya, Tjiptardjo mendengar kabar para kandidat diseleksi oleh tim penilai akhir yang diketuai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dengan anggota Wakil Presiden, para menteri, Jaksa Agung, dan Kepala Badan Intelijen.
Menurut Tjiptardjo, Darmin mewanti-wanti agar dia tidak ke luar kota pada hari Minggu. Rupanya, kandidat yang lolos tinggal dua orang, yakni Tjiptardjo dan Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak Djonifar Abdul Fatah. Saat sedang mengobrol dengan kolega-koleganya, pukul 22.00, Menteri Keuangan Sri Mulyani menelepon Tjiptardjo dan memberi tahu dia agar menemui Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi pada Senin pagi. Setelah dia menemui Sudi, jelaslah sudah: Yudhoyono menunjuk Tjiptardjo sebagai Direktur Jenderal Pajak lewat Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 2009. ”Saya kaget,” katanya kepada wartawan setelah dilantik Menteri Keuangan di Jakarta, Selasa siang pekan lalu.
Penunjukan Tjiptardjo memang mengejutkan karena namanya tak pernah muncul dalam daftar kandidat internal yang diusulkan Darmin kepada Sri Mulyani. Kandidat yang santer dijagokan menggantikan Darmin adalah Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Direktorat Jenderal Pajak Sumihar Petrus Tambunan, Direktur Transformasi Bisnis Robert Pakpahan, Djonifar, dan Direktur Peraturan Perpajakan II, A. Sjarifuddin Alsjah.
Sumber Tempo membisikkan, sebagai Direktur Intelijen dan Penyidikan, Tjiptardjo memang dekat dengan Darmin. Interaksi keduanya semakin intensif sejalan dengan upaya Direktorat Jenderal Pajak memburu pemilik perusahaan besar yang mengakali pembayaran pajak. Salah satunya kasus dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri Group, perusahaan sawit milik Sukanto Tanoto, senilai Rp 1,3 triliun. Tapi peluang Tjiptardjo menjadi direktur jenderal tipis karena akhir tahun lalu dia pernah terlibat ”konflik” dengan kalangan di Istana. Pemicunya, seorang pengusaha besar bandel mengembuskan isu miring soal Tjiptardjo dan timnya. Kasus pajak pengusaha besar yang masih disidik tim Tjiptardjo tak kalah dengan kasus Asian Agri. ”Orang di Istana itu mengusulkan Tjiptardjo dicopot,” katanya. Tapi Darmin dan Sri Mulyani tak menggubrisnya. Mereka tetap solid mendukung Tjiptardjo dan timnya.
Menjelang pelantikan, isu miring masih juga menerpa Tjiptardjo. Beredar pesan pendek (SMS) yang menyebutkan, ketika menjabat Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Bagian Selatan, Tjiptardjo diduga terlibat kasus pengurangan nilai jual obyek pajak atas penjualan tanah negara kepada PT Bayu Jaya Lestari Sukses, empat tahun lalu. Bayu Jaya mengubah tanah itu menjadi Palembang Square. Berdasarkan pemeriksaan kejaksaan tinggi, harga pasaran tanah di daerah tersebut Rp 1,5 juta per meter, dan berdasarkan nilai jual obyek pajak, harga tanah Rp 1,147 juta per meter. Tapi Bayu Jaya hanya membelinya dengan harga Rp 613 ribu per meter.
Kejaksaan menahan Kepala Badan Pertanahan di Palembang, Nasiruddin. Tjiptardjo sempat diperiksa kejaksaan dan kena sanksi teguran dari Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo, meski yang terlibat langsung adalah anak buahnya di kantor pelayanan pajak bumi dan bangunan. Tapi Tjiptardjo membantahnya. ”Isu itu tidak benar. Semuanya sudah selesai dan jelas,” katanya. Toh, segala macam rumor itu juga tak bisa membendung langkah peraih master ekonomi dari Williams College, Massachusetts, Amerika Serikat ini.
Tapi itu bukan berarti pria yang punya hobi melukis ini bisa ongkang-ongkang kaki. Bebannya berat. Terlebih lagi, Tjiptardjo mewarisi prestasi Darmin yang berhasil mereformasi Direktorat Jenderal Pajak. Darmin juga dikenal tegas, berani, dan ”galak” kepada para pengemplang pajak. ”Dia (Darmin) seperti tak punya urat takut,” ujar seorang petinggi perusahaan pertambangan yang pernah dimarahi Darmin lantaran perusahaannya dianggap kurang membayar pajak.
Sri Mulyani pun sampai harus mengingatkan Tjiptardjo soal itu. Darmin, kata Sri, bisa lebih mudah melakukan perubahan karena berasal dari luar dan tak banyak berkawan dengan aparat pajak. Sebaliknya, Tjiptardjo akan lebih sulit karena sejak awal berasal dari internal pajak dan pertemanannya dengan aparat pajak sangat kental. Karena itu, Menteri meminta Tjiptardjo memimpin institusi pajak dengan integritas tinggi. ”Gunakan platform, commonsense, dan suara hati yang paling dalam,” ujarnya seraya memberikan enam pesan kepada bekas Direktur Perencanaan Potensi dan Sistem Perpajakan ini.
Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Dradjad Wibowo, percaya komitmen Tjiptardjo terhadap reformasi pajak cukup tinggi. ”Ada harapan Direktorat Jenderal Pajak akan menjadi organisasi yang lebih baik di masa mendatang.” Tjiptardjo, kata Dradjad, memang akan mendapat tantangan berat. Itu tidak hanya karena Tjiptardjo harus mereformasi aparat pajak, tapi juga lantaran ia diangkat saat perekonomian Indonesia melambat. Mau tidak mau, dia harus bisa mengamankan penerimaan pajak, yang diprediksi akan sulit mencapai target pada tahun ini.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009, target penerimaan pajak ditetapkan Rp 587,8 triliun. Realisasi penerimaan pajak selama semester pertama 2009 adalah Rp 256,7 triliun, sekitar 43,7 persen dari target. Diprediksi, sampai akhir 2009, penerimaan pajak hanya akan mencapai Rp 557,6 triliun. Pada tahun ini, rasio atau perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) juga akan turun menjadi 12,1 persen dari semula 13,65 persen.
Pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan rasio pajak tahun ini menurun karena terimbas krisis global. Mulai tahun depan, seiring dengan semakin membaiknya perekonomian nasional dan global, Direktorat Jenderal Pajak harus bisa lepas landas lagi. Pada tahun keempat masa pemerintahan baru, rasio pajak seharusnya bisa mencapai 13,5 persen, dan pada akhir pemerintahan Yudhoyono-Boediono rasionya mencapai 14 persen. Bila rasio pajak itu tercapai, kata dia, ada tambahan pemasukan sekitar Rp 200 triliun bagi negara. Alhasil, tekanan untuk berutang lagi menjadi berkurang.
Agar rasio pajak naik, Ketua Komite Perdagangan Dalam Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bambang Soesatyo menambahkan, Tjiptardjo harus bisa menaikkan penerimaan dari wajib pajak besar, seperti konglomerat, perusahaan besar, dan orang-orang kaya (wealth individual), yang selama ini masih rendah. Jangan sampai penerimaan pajak dibebankan kepada para pengusaha kecil yang tak punya akses dan koneksi serta mudah ditekan.
Menurut Faisal, wajib pajak di Indonesia sangat dimanjakan. Misalnya, diberikan kebijakan sunset policy. Asalkan mengisi data dengan benar, wajib pajak tak akan kena sanksi bila kurang membayar pajak. Tarif pajak penghasilan (PPh) badan juga diturunkan dari 28 persen pada tahun ini menjadi 25 persen tahun depan, lebih rendah dibanding tarif pajak di Cina—sebesar 40 persen. ”Wajib pajak kita sudah banyak diberi kelonggaran,” ujarnya, ”jadi jika ada yang bandel, tak usah ragu, sikat saja.”
Data Indonesia Corruption Watch menunjukkan, pada 2008, tunggakan pajak mencapai Rp 45,17 triliun. Tunggakan pajak terbesar berasal dari PPh badan atau pajak dari perusahaan sebesar Rp 16,27 triliun (36 persen). Selebihnya: tunggakan pajak pertambahan nilai Rp 12,56 triliun (27,8 persen) dan pajak bumi dan bangunan perkotaan Rp 4,53 triliun (10,1 persen).
Tjiptardjo mengatakan akan berupaya keras melanjutkan prestasi dan komitmen reformasi Darmin. ”Ini seperti penggantian pilot saja,” katanya, ”Pilotnya ganti, pesawatnya itu-itu juga.” Bersama semua aparat pajak, dia berjanji akan bekerja keras mengamankan target penerimaan pajak yang melorot pada semester pertama. ”Masih ada lima bulan tersisa. Kami akan menggenjotnya.”
Tak lupa pula, perburuan para pengemplang pajak akan terus dilakukan. ”Termasuk menuntaskan kasus hukum Asian Agri,” ujar Tjiptardjo. Direktorat Jenderal Pajak sudah membawa kasus ini ke Kejaksaan Agung. Tapi penegak hukum itu sudah empat kali mengembalikan berkas acara penyidikan Direktorat Jenderal Pajak dengan alasan belum lengkap. Berkaca pada pengalaman Asian Agri ini, kata Dradjad, tidak ada pilihan lain, Tjiptardjo harus memperkuat intelijen pajak dan mensinkronkannya dengan aspek hukum. Dengan begini, aparat pajak tak bisa lagi dipermainkan oleh oknum penegak hukum lain atau para wajib pajak nakal.
Padjar Iswara, Amandra Megarani
Enam Pesan Menteri Keuangan:
- Perbaiki aturan perundangan perpajakan.
- Perbaiki struktur organisasi dengan menerapkan struktur berdasarkan fungsi dan prosedur operasi standar.
- Benahi basis data wajib pajak dan ganti sistem teknologi informasi yang mencegah interaksi aparat dan wajib pajak.
- Reformasi mutu kompetensi dan integritas sumber daya manusia.
- Tingkatkan investasi sumber daya manusia untuk menjaga spesialisasi aparat pajak.
- Tambah auditor dan penyidik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo