Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI polisi, gaya Bambang Hendarso Danuri tak kalah tegas dan ligat. Pagi-pagi, sehari setelah menjalani acara pisah-sambut dengan pendahulunya, Jenderal (Polisi) Purnawirawan Sutanto, dia langsung mengumpulkan para perwira bawahannya: memperingatkan mereka agar tidak main-main di masa kepemimpinannya.
Polisi yang angkuh, keras, dan kasar menjadi sasaran ancamannya. Seraya membandingkan dengan Bobby di Inggris, dia menyampaikan keinginan mewujudkan polisi yang profesional, modern, dan bermoral, untuk melayani dan melindungi, sehingga dipercaya masyarakat. ”Kewajiban saya mengubah budaya polisi,” katanya.
Dia sendiri memberikan contoh. Semasa menjadi Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan, ia meringkus kegiatan penambangan liar yang melibatkan banyak anggota kepolisian. ”Padahal, kalau mau main mata, saya bisa dapat ratusan juta rupiah tiap bulan.”
Ketika menjadi Kepala Polda Sumatera Utara, pembalakan liar dapat giliran. Dia bahkan berani menjebloskan Adelin Lis, pengusaha hutan terkemuka di sana, ke balik terali besi. Bambang pantang mundur, meskipun harus ”berhadapan” dengan Menteri Kehutanan M.S. Kaban, yang berpendapat, perkara Adelin hanya perdata.
Bambang sadar betul tindakan tegas bisa membuatnya tidak populer di kalangan anak buah yang terbiasa ”bermain”. Toh, ”Saya siap tidak populer,” ujarnya. Sabtu dua pekan lalu, ia berbicara tentang pembenahan polisi secara blak-blakan—sesekali dengan permintaan off the record—kepada Nugroho Dewanto, Yophiandi, dan Desi Pakpahan dari Tempo, di rumahnya di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Setelah menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Anda mengatakan akan melakukan pembenahan internal kepolisian. Apa persisnya yang akan dilakukan?
Kita tahu polisi sudah keluar dari TNI. Anggaran kami besar, dan kami bangga dengan sarana serta prasarana yang kami miliki. Sekarang akan kami benahi sumber daya manusia. Jumlah polisi 390 ribu orang, 330 ribunya bintara. Mereka ada di garis depan yang melayani dan langsung berhadapan dengan masyarakat. Pendidikan mereka di Sekolah Kepolisian Negara hanya lima sampai enam bulan. Kemudian mereka punya kewenangan diskresi yang begitu besar untuk penegakan hukum dengan menangkap, memeriksa, dan lain-lain. Nah, ini yang akan dibenahi.
Anda akan menindak tegas polisi yang nakal tanpa pandang bulu?
Saya sudah beri warning kepada semua kepala polda. Sejak 10 Oktober lalu, Pak Jusuf (Inspektur Pengawasan Umum, Komisaris Jenderal Jusuf Manggabarani) sudah menyiapkan peranti pengawasan sampai akhir bulan, dengan melihat peta dan target. Setelah gebrakan pertama, pada triwulan pertama 2009 kami lihat ada enggak keinginan kepala polda, kepala kepolisian wilayah kota besar, atau kepala kepolisian resor untuk berubah? Masih enggak seorang kepala polres memotong anggaran operasional, membebani anak buah? Kalau masih, mereka akan diberi peringatan.
Kalau pada triwulan kedua masih tak ada perubahan?
Berarti tak ada keinginan berubah. Tindakannya, ya, langsung copot kepala polda, polwil, atau polresnya. Tiap kali mengangkat pejabat, saya juga akan minta mereka membuat kontrak kerja.
Jadi pembenahan ini bukan rencana, tapi sudah berbentuk perintah?
Sudah perintah. Bukan rencana lagi, tapi sudah action. Makanya kemarin saya kumpulkan para perwira tinggi, mereka sudah saya beri warning.
Menyinggung soal bintara, sering disebut kinerja mereka buruk karena untuk masuk polisi saja harus bayar dan gajinya rendah....
Kalau menjadi polisi harus bayar, oke, itu salah satu ekses. Tapi, kalau dia beralasan gaji rendah, kenapa mau menjadi polisi? Ada filosofi waktu dia pertama masuk polisi. Tiap malam dia menyebutkan Tribrata dan Caturprasetya.
Apakah Markas Besar Kepolisian tidak ingin memperjuangkan kenaikan gaji anak buah?
Keadaan keuangan negara sekarang sedang seperti ini. Begitupun sekarang, sudah ada kemajuan yang cukup signifikan. Gaji bintara sudah Rp 2 jutaan. Apakah gaji kecil menghalalkan segala cara? Enggak, dong. Sekarang dibuat standar kerja, ada gugus kendali mutu, nanti ada kebijakan pemerintah dengan program remunerasi, ada imbal jasa bagi anggota yang baik kinerjanya. Departemen Keuangan sudah melaksanakan itu. Nanti Polri mudah-mudahan pada 2009 ke arah sana.
Di level bawah, sering ada omongan cuma atasan yang mendapat bagian insentif. Petugas di lapangan tidak dapat.…
Saya rasa tidak. Di mana pun saya menjabat, ketika menindak kejahatan, misalnya illegal logging, barang buktinya kami lelang. Satu sen pun saya tidak pernah mau mengambil. Biar dapat Rp 800 juta, dibagi habis buat anggota di lapangan dan disisakan untuk dana operasi selanjutnya.
Sebetulnya polisi punya dana tambahan untuk operasi?
Sekarang jangan lagi ada keluhan tidak ada dana operasi. Mau berapa pun, kami keluarkan. Kalau tidak mencukupi, ya, sudahlah, gaji mereka tidak akan terambil. Sekarang tiap kepolisian sektor mendapat Rp 15 juta, kalau mengalir terus, saya rasa tidak ada masyarakat yang dibebani ongkos kertas (biaya administrasi). Inilah yang akan kami tertibkan. Anak-anak di lapangan tetap kami beri perhatian. Kalau mereka sakit, keluarganya sakit, kami perhatikan.
Sebaliknya, ada omongan di level bawah, kalau pemimpin polisi bagus, anak buahnya bakal ”kering”.…
Dulu, waktu Pak Sutanto menghantam judi, orang berpikir polisi tidak akan bisa beroperasi karena selama ini dananya dari judi. Ternyata kan tidak? Itu hanya keluhan orang per orang, yang biasa hidup dengan aliran dana bekingan. Bukan cuma polisi, orang lain yang berkepentingan juga terganggu. Mengapa orang Inggris bangga terhadap Bobby (polisi Inggris)? Mengapa kita tidak mulai membanggakan polisi kita yang humanis? Kalau sampai saya pensiun belum tercapai, saya berharap tercapai pada Kepala Polri berikutnya. Maka jangan sampai terjadi diskontinuitas.
Anda menyiapkan kader untuk pemimpin polisi berikutnya?
Saya tidak berpikir untuk masa saya. Lihat saja sekarang, yang saya angkat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal, kan angkatan 1977? Paling tidak nanti dia punya kesempatan untuk fight. Kalau ada kepala polda pensiun, kami siapkan lagi penggantinya yang lebih muda. Jawa Barat sekarang dipimpin angkatan 1978 (Inspektur Jenderal Timur Pradopo).
Bukankah selama ini ada kebiasaan Kepala Polri mengangkat teman seangkatannya menjadi kepala polda?
Tolong dilihat, sekarang di angkatan saya memang masih ada yang memenuhi syarat formal untuk menjadi Kepala Bareskrim. Kalau saya mau bikin arisan, saya bisa disenangi teman-teman angkatan 1974. Tapi, kalau pagi-pagi saya melakukan itu, orang akan berkata, ”Ah, Bapak itu cuma ngomong saja akan melakukan pembenahan.”
Benarkah pengangkatan Pak Susno menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal terkait dengan rencana pengungkapan rekening pribadi pejabat Polri, karena dia pernah menjadi Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan?
Enggak. Masalah rekening sudah selesai. Boleh ada ribuan rekening, tapi setelah kami teliti, ini kan masih dalam proses penyelidikan, klarifikasi, bukan berarti pencucian uang. Yang disebut rekening liar itu juga sudah diklarifikasi. Dulu memang diatasnamakan pribadi (pejabatnya) karena waktu itu kami tidak berpikir ada lembaga seperti itu yang bisa menganalisis keluar-masuk uang. Penunjukan Pak Susno sama sekali tidak terkait dengan kasus apa pun, tapi kami lihat dari kapabilitas.
Kebijakan Pak Sutanto untuk memberantas terorisme, judi, pembalakan liar, dan lain-lain akan diteruskan?
Ya, bahkan sekarang, kalau ada pembiaran, juga akan ditindak. Kalau faktanya ada, tapi tidak ditindak, itu tidak usah ditanya lagi, langsung kami minta pertanggungjawaban kepala poltabes atau kepala polda. Tampilan tegas dan humanis bukan hanya keluar, tapi juga ke dalam. Yang paling berkepentingan terhadap pembenahan itu kami, lo, supaya institusi menjadi lebih baik.
Pembiaran kejahatan bisa dianggap menjadi beking?
Terlepas dari beking atau tidak, apa pun itu pelanggaran hukum. Selama di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum dihapus, tetap saja diambil tindakan. Mau senang atau tidak, saya enggak pusing.
Anda siap tidak populer di mata anak buah?
Siap. Itu sudah risiko. Saya jadi Kepala Polri ini amanah. Saya dan Pak Makbul (Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara) hanya berpikir satu: kita siapkan adik-adik kita.
Bagaimana dengan aksi anarkisme yang mengganggu ketenteraman masyarakat?
Ini masalah keberanian moral. Kalau ada kepala polisi yang membiarkan, dia akan ditegur. Kalau masih tak bertindak, berarti enggak cocok jadi komandan, cocoknya jadi staf. Kalau komandan, harus berani ambil risiko. Selama dia yakin itu benar, kenapa takut. Tapi tentu dengan rambu undang-undang agar tidak lagi dikatakan polisi melanggar hak asasi manusia.
Anda pernah membayangkan akan berada di pucuk pemimpin polisi?
Enggak. Jangan jauh-jauh, pada saat saya jadi Direktur Reserse Kriminal Polda Metro Jaya, teman-teman saya sudah jenderal semua. Waktu itu Pak Makbul yang jadi kepala polda saya. Boro-boro terpikir menjadi Kepala Polri, menjadi jenderal saja waktu itu belum jelas. Tahu-tahu saya diberi kesempatan ke Lembaga Ketahanan Nasional. Saya dapat wibawa seroja, lulusan terbaik di Lemhannas. Itu harus saya jaga. Kalau enggak, malu saya. Empat tahun di Lemhannas pun saya enggak berpikir, jalani saja. Kerja dengan niat untuk yang terbaik, tidak punya kepentingan, tidak punya target. Mungkin karena itu Allah jadi sayang, ditarik terus. Ini keajaiban. Di acara pisah-sambut kemarin pun saya bilang, ini keajaiban.
Ada yang bilang Anda beruntung karena dikader Jenderal Sutanto....
Kalau toh kita dikader tapi tidak punya komitmen, tidak bisa mempertanggungjawabkan secara kasatmata yang bisa dinilai, saya rasa Allah juga enggak akan ngasih. Kalau saya enggak mampu, mungkin sebulan-dua bulan saja saya langsung dicopot, ya, enggak apa-apa. Saya ikhlas memimpin organisasi ini dengan satu tekad: menjadi yang terbaik.
Apa yang akan Anda lakukan bila tak lagi menjadi Kepala Polri?
Insya Allah setelah pensiun, kalau masih sehat dan diterima, saya mau jadi anggota staf ahli di Lemhannas saja. Saya kan empat tahun di sana. Saya bisa berkarya, memberikan masukan, ada round table discussion membahas berbagai masalah nasional. Sewaktu Iran mau bangun fasilitas listrik tenaga nuklir, saya bikin tulisan yang akhirnya dijadikan rekomendasi untuk pemerintah. Nikmat. Saya senang yang begitu karena melatih pola berpikir. Jadi boleh dicatat, demi Allah, mudah-mudahan tidak berpolitik.
BAMBANG HENDARSO DANURI
Tempat dan tanggal Lahir: Bogor, 10 Oktober 1952
Pendidikan:
- Akademi Kepolisian, 1974
- Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta
- Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, Jakarta
- Lembaga Ketahanan Nasional
Karier:
- Kepala Polres Jayapura, Papua, 1993
- Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, 2005
- Kepala Polda Kalimantan Selatan, 2005
- Kepala Polda Sumatera Utara, 2005-2006
- Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, 2006-2008
- Kepala Polri, 2008-sekarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo