Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SANG Gareng telah pergi untuk selama-lamanya, menyusul Semar dan Petruk. Selasa malam pekan lalu, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Ismail Saleh, yang pernah dijuluki Gareng, mengakhiri perjalanan hidupnya yang panjang, setelah empat bulan dirawat karena tumor otak. Semar, predikat untuk Mudjono, lebih dulu meninggal pada 1984. Petruk, sebutan untuk Ali Said, wafat pada 2003.
Trio petinggi hukum itu mendapat gelar punakawan—tokoh terkenal dunia pewayangan—setelah pada Januari 1981 secara bersamaan diangkat oleh Presiden Soeharto. Mudjono menjadi Ketua Mahkamah Agung menggantikan Prof Oemar Seno Adji yang pensiun. Ali Said yang semula Jaksa Agung menjadi Menteri Kehakiman, dan Ismail Saleh secara mengejutkan dipindahkan dari pejabat Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi Jaksa Agung.
Pengangkatan punakawan ini menarik. Tidak seorang pun dari ketiganya yang lahir dan besar dari perguruan tinggi ternama seperti Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, atau Universitas Airlangga, yang selama ini dikenal sebagai gudang pakar hukum. Mereka tumbuh dari institusi militer, tamatan Perguruan Tinggi Hukum Militer, yang dipandang para begawan hukum dengan sebelah mata dan diragukan kemampuannya untuk menangani kasus-kasus sipil.
Tak seorang pun tokoh hukum pada masa itu yang berani mengkritik Soeharto. Apalagi ketiga punakawan itu sealmamater dengan Menteri Sekretaris Negara Sudharmono, yang pada masa itu dianggap sebagai RI-2 yang sesungguhnya. Alih-alih mengkritik, semua kalangan, termasuk kalangan hukum, malah menggantungkan harapan yang besar kepada punakawan itu untuk kembalinya peradilan yang bersih di Republik ini.
Bukan tanpa alasan. Ali Said, yang sudah belasan tahun menjadi Jaksa Agung, dipercaya publik sebagai petinggi hukum yang sangat berpengalaman karena memulai debutnya sebagai hakim mahkamah militer luar biasa untuk kasus bekas perdana menteri Soebandrio. Mudjono, yang sebelumnya Menteri Kehakiman, dikenal sangat sederhana dan bersih. Bahkan, semasa dia menjabat, empat hakim senior di Jakarta Pusat dipecat karena diduga menerima suap.
Bagaimana Ismail Saleh? Tidak banyak yang bisa merabanya pada awal masa jabatannya. Ia dianggap paling miskin pengalaman di bidang hukum dibandingkan dengan kedua rekannya. Ismail Saleh, yang lahir di Pati, Jawa Tengah, September 1926, hanya pernah menjadi oditur militer di Jawa Barat dan Manado, sebelum ditarik ke Sekretariat Negara dan kemudian menjadi Kepala Kantor Berita Antara.
Saya, sebagai wartawan Tempo, yang ketika itu sudah bersahabat dengan Ali Said dan Mudjono, mencoba mendekati pendatang baru itu. Hanya sepekan setelah dilantik, ia menerima saya di ruang kerjanya untuk wawancara khusus. Penggemar ayam bekisar itu terkesan sebagai pribadi yang keras dan sedikit kaku. Ia berencana menggebrak semua bentuk penyelewengan uang negara tanpa kompromi.
Benar saja. Beberapa bulan kemudian ia mulai bertindak. Korban pertamanya adalah perusahaan asing asal Jepang dan sebuah pabrik lemari besi yang dituduhnya melakukan korupsi pajak dengan modus pembukuan ganda. Setelah itu, berbagai kasus korupsi diungkapnya. Dari korupsi perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH), pajak, bahkan sampai korupsi pupuk palsu ditangani kejaksaan. Yang sangat ramai waktu itu tentulah kasus Jos Soetomo, yang dituduh merugikan negara dengan memanipulasi bea masuk alat berat perusahaan HPH miliknya di Kalimantan Timur.
Menurut jaksa, Jos Soetomo, orang terkaya di Kalimantan Timur pada masa itu, telah melakukan korupsi dalam pemakaian alat-alat berat. Jos Soetomo mendirikan dua perusahaan HPH: satu perusahaan penanaman modal asing (PMA) dan satu lagi penanaman modal dalam negeri (PMDN). Alat berat untuk perusahaan modal asing yang bebas bea masuk dituduhkan dipakai oleh perusahaan dalam negeri yang seharusnya terkena bea masuk.
Penangkapan Jos Soetomo oleh kejaksaan membuat geger. Sebab, Jos Soetomo dikenal sebagai orang kaya yang dermawan. Hampir semua lembaga di provinsi itu pernah dibantunya. Bahkan masjid terbesar dan termewah di daerah itu merupakan hasil sumbangannya. Ia dekat dengan pejabat daerah, juga pejabat penting di Jakarta. Ia akrab dengan bekas wakil presiden Adam Malik dan mantan Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara. Karena itu, ada sumber yang menyebut Jos ditangkap karena selain membantu Golkar juga ikut membandari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Karena gebrakan Ismail Saleh yang sambung-menyambung itu, Tempo ”menobatkannya” sebagai pendekar hukum. Gambarnya ditampilkan sebagai sampul depan dengan model karikatur seorang pendekar silat—dengan mengenakan baju mirip atlet judo, lengkap dengan destar mengikat kepala. Ismail Saleh digambarkan memasang jurus kuda-kuda. Ia, yang sangat senang karikatur, selain tanaman bonsai, semakin akrab dengan Tempo. Apalagi komitmen Tempo yang antikorupsi seakan-akan sejalan dengan program kejaksaan di tangannya. Pintu kejaksaan terbuka lebar untuk wartawan Tempo. Berbagai informasi dan wawancara didapat dengan mudah.
Namun bulan madu itu cepat berakhir. Suatu hari pada April 1984, berita besar meledak dari Kalimantan Timur. Majelis hakim Pengadilan Negeri Samarinda, diketuai Abdul Kadir Mappong, membebaskan Jos Soetomo dari tuduhan korupsi. Semua kerangka tuduhan jaksa berantakan di pengadilan. Tidak seorang saksi pun yang melihat alat-alat berat penebang kayu itu dipakai perusahaan Jos Soetomo yang berstatus PMDN. Berita besar itu segera menjadi laporan utama majalah Tempo. Gambar sampulnya Jos Soetomo tersenyum ceria dengan tangan melambai. Judulnya ”Jos Soetomo Bebas”. Lengkap dengan wawancara Jos Soetomo.
Tidak sampai sepekan setelah itu, saya dipanggil menghadap Jaksa Agung Ismail Saleh. Tanpa berpikir panjang, saya segera meluncur. Begitu ajudan mempersilakan masuk, saya dengan gembira melangkah dan siap untuk menyambut tangan Jaksa Agung. Seketika saya terkesiap karena yang saya hadapi bukan lagi wajah yang ramah, tapi wajah yang dingin dan menahan marah. Belum sempat saya duduk, Ismail Saleh melemparkan setumpuk majalah Tempo ke mejanya sampai berserakan di lantai. ”Apa maksudmu dengan semua ini?” bentaknya. Saya belum mengerti apa yang terjadi. Ia segera memungut salah satu majalah Tempo yang berserakan itu, yang cover-nya karikatur Ismail Saleh sebagai pendekar. ”Ini apa maksudmu?” hardiknya sambil memperlihatkan cover pendekar itu. Saya tetap tidak paham.
Saya baru menangkap maksudnya setelah ia juga memungut majalah terbaru, yang gambar sampulnya Jos Soetomo melambaikan tangan. ”Jadi, maksudmu pendekar ini keok sama Jos Soetomo?” katanya marah. Hampir sejam saya duduk di kamar kerjanya, kemarahannya tidak juga reda. Ia menganggap Tempo sengaja membikin citranya menjadi hebat dan kemudian membantingnya keras-keras. Ia sangat tersinggung. Sampai saat saya diizinkan pergi, tak ada keramahan sedikit pun dari wajah Ismail Saleh.
Sejak itu, pintu Kejaksaan Agung tertutup rapat untuk kami. Tempo seolah-olah dibredel Ismail Saleh. Jadi, sesungguhnya, sebelum Menteri Penerangan Harmoko membredel Tempo, Ismail Saleh sudah lebih dulu melakukannya walaupun sebatas di kantornya. Semua wartawan Tempo yang mencegatnya di Kejaksaan Agung dia tolak. Belakangan bredel itu meluas. Semua pintu kejaksaan, termasuk kejaksaan negeri, tertutup untuk kami. Koresponden Tempo di berbagai daerah yang mencoba meminta komentarnya terkena damprat. ”Kamu kan hanya disuruh-suruh Karni Ilyas mencegat saya di mana-mana,” katanya.
Kebencian Ismail Saleh itu berlarut-larut sampai ia menjabat Menteri Kehakiman pada 1984. Ia bahkan menulis instruksi ke semua instansi di bawah departemen itu—dari pemasyarakatan, imigrasi, sampai pengadilan—untuk menolak wartawan Tempo. Hampir semua pejabat mematuhi instruksi itu, walau sebelumnya kami mempunyai hubungan baik. Hanya di pengadilan instruksi itu tidak berlaku, karena pengadilan menurut undang-undang terbuka untuk umum. Terpaksalah wartawan Tempo memakai taktik gerilya agar tetap mendapat berita.
Hubungan ”diplomatik” yang beku selama enam tahun itu akhirnya cair juga. Itu terjadi setelah Ismail Saleh, yang merasa sukses memblokade Tempo, kemudian juga ”membredel” Media Indonesia, Berita Buana, dan Pos Kota. Di berbagai konferensi pers, wartawan dari media yang masuk blacklist Ismail Saleh diusir dari ruangan. Akibatnya, banyak pejabat tinggi memperbincangkan pembredelan sepihak itu, termasuk Menteri Moerdiono. Berkat para pejabat tinggi yang menjadi mak comblang, pada Maret 1991 saya bersama beberapa wartawan tim saya di Tempo diterima di kamar kerja pribadi Ismail Saleh di kantor Departemen Kehakiman di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Dalam pertemuan islah yang berlangsung akrab itu, kami diizinkan melakukan wawancara panjang. ”Sebenarnya di antara kita tak terjadi apa-apa. Hanya, menurut saya, selama ini berita Tempo sering tidak akurat,” kata Ismail Saleh tanpa menyebut berita mana yang tidak akurat itu (majalah Tempo, Surat dari Redaksi, 30 Maret 1991). Yang jelas, setelah itu, wartawan Tempo sudah bebas kembali keluar-masuk departemen tersebut.
Pekan lalu saya kaget ketika mendapat pesan pendek, sahabat saya Ismail Saleh sudah mendahului kita. Saya berniat melayat, tapi terlambat karena jenazah almarhum ternyata dimakamkan di pemakaman keluarga di Cirebon, Jawa Barat. Saya bersyukur karena jauh-jauh hari sebelumnya kami sudah bermaaf-maafan.
Sekurangnya-kurangnya, Ismail Saleh sudah mencoba memberikan warna berbeda dalam penegakan hukum pada masanya. Selamat jalan, Pendekar….
Karni Ilyas,
*) Mantan Redaktur Pelaksana Hukum Tempo, kini Pemimpin Redaksi TV One dan anggota Komisi Kepolisian Nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo