Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=1 color=#FF9900>KOMNAS HAM</font><br />Membasuh Luka Lama

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia pascakonflik politik 1965. Menyoroti dua sisi korban.

27 Oktober 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANPA liputan pers, empat orang itu mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Terkesan sembunyi-sembunyi, selama satu jam mereka berbincang dengan Nur Kholis, Ketua Tim Penyelidikan Dugaan Pelanggaran Berat 1965-1966, dari Komisi Nasional. Setelah itu, mereka bubar.

Tragedi 1965 diinvestigasi ulang? Semula Kholis tutup mulut. Tapi, setelah didesak, ia membenarkan. Timnya yang dibentuk Maret lalu memang bekerja di belakang layar. Menurut dia, kerja diam-diam dilakukan untuk menghindari kontroversi yang tak perlu.

Penyelidikan ini merupakan lanjutan dari investigasi serupa yang dilakukan Komisi Nasional periode yang lalu. Saat itu Komisi menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Pulau Buru—tempat di Maluku yang menjadi lokasi buangan bagi mereka yang dituding terlibat Partai Komunis Indonesia.

Bekerja sembilan bulan, Desember nanti Komisi Nasional yang beranggotakan 18 orang ini akan mengambil kesimpulan awal dari seluruh temuan di lapangan, khususnya testimoni para korban.

Tiap pekan tim bekerja empat hari untuk menjaring informasi dari sedikitnya empat korban. Karena para korban tersebar di hampir semua provinsi, proses penyelidikan memakan banyak waktu. Selain itu, ”Kami juga harus melakukan verifikasi kebenaran cerita yang disampaikan para korban,” katanya.

Untuk memudahkan pendekatan kepada para korban, tim menggandeng tangan lembaga swadaya masyarakat setempat, seperti Lembaga Bantuan Hukum.

Hingga kini, sekitar seratus korban dari sekitar sepuluh provinsi sudah dicatat keterangannya. Di antara para korban, ada mantan perwira Angkatan Darat dan Udara. ”Ada yang saat memberikan testimoni sampai menangis,” katanya.

Sebagian besar dari mereka menyatakan tidak tahu soal aksi G-30-S yang terjadi di Jakarta saat itu. Tahu-tahu mereka kena getahnya. Menurut Kholis, ”Ini hal yang baru yang kami peroleh.”

Maid Halim, 60 tahun, bekas Sekretaris Serikat Buruh Seluruh Indonesia Cabang Sulawesi Tengah, misalnya, memberikan keterangan kepada Komisi Nasional pertengahan September lalu. Tiap pagi, empat-lima orang—dari total 29 orang yang diwawancarai—dijemput tim dari rumah masing-masing, lalu diwawancarai anggota Komisi Nasional sehari penuh.

Maid berkisah bahwa ia mendengar langsung akan ada prahara 1965 dari Ketua Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit. Ketika itu, empat hari sebelum tragedi politik tersebut terjadi, Maid, yang saat itu adalah pegawai pengantar kue kudapan dan teh di kantor Partai Komunis Indonesia, bertemu dengan Aidit. Sang ketua, sambil menepuk-nepuk pundaknya, mengatakan, ”Akan ada fitnah dalam waktu dekat ke PKI.”

Dua hari sebelum geger nasional itu terjadi, Maid menumpang kapal pergi ke Palu. Setibanya di Palu pada 5 Oktober, ia langsung menghadap abang iparnya yang tak lain adalah Ketua Partai Komunis Indonesia setempat. Menurut si abang, kondisi akan aman saja karena sudah ada kesepakatan sepuluh partai untuk menjaga keamanan.

Sebulan kemudian, Maid dipanggil Komando Rayon Militer 132 Tadulako, lalu ditahan di penjara Maesa, Palu, bersama sekitar 500 orang lainnya.

Selama dipenjara, ia mengaku kerap ikut dipekerjakan untuk membangun jembatan dan gedung milik pemerintah. Sebagian rekannya malah dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah perwira militer dan polisi. Pada pemilihan umum mereka dikerahkan untuk mencoblos Golongan Karya.

Pada 1976 Maid bebas. Selepas dari penjara, geraknya juga dibatasi. Sebagai nelayan, ia tak diizinkan berlayar ke tengah laut untuk menangkap ikan. Yang boleh dilakukan hanya memancing di pinggir pantai. ”Dapat ikan apa di tepi pantai,” katanya bersungut.

Hidupnya membaik saat sebuah lembaga swadaya masyarakat mengajaknya membantu korban konflik pertanahan. Di sini ia mendapat gaji. Ekonomi keluarga mulai membaik. Ayah tiga anak ini punya menantu seorang polisi. Seorang anaknya juga jadi pegawai negeri sipil.

Huru-hara politik 1965 juga menyeret Djiman Karo-karo, 76 tahun, bekas Ketua Partai Komunis Indonesia di Dairi, Sumatera Utara.

Saat peristiwa 1965 pecah, Djiman secara terbuka mendukung Letnan Kolonel Untung, Komandan Pasukan Cakrabirawa, yang memimpin operasi penculikan seorang perwira dan enam jenderal TNI. Ketika itu, lewat siaran radio pada 1 Oktober 1965, Djiman mendengar pidato Untung soal pembentukan Dewan Revolusi untuk menandingi Dewan Jenderal.

Pada 1 Oktober 1965 malam Djiman dan beberapa teman bersembunyi di hutan menghindari kejaran tentara. Djiman mengaku sempat mengorganisasi perlawanan dengan mengumpulkan para pemuda.

Namun upayanya sia-sia. Pada 14 Oktober 1965 ia ditangkap dan dikumpulkan di sebuah gedung setengah jadi di Jalan Sena, Medan, bersama sekitar seratus orang lainnya.

Di satu ruangan berukuran 3 x 4 meter Djiman ditahan bersama sekitar 20 orang. Saat ditanyai soal aksi 30 September, ”Saya mengaku tidak tahu,” katanya. Soal mengapa mendukung Dewan Revolusi, ia menjawab, untuk menyelamatkan Panca Ajimat Revolusi yang diajarkan Presiden Soekarno. Selama diinterogasi ia mengaku sering dipukul, ditendang, termasuk disundut rokok.

November 1973, Djiman diadili di Pengadilan Negeri Sidikalang, Sumatera Utara. Jaksa menuntutnya hukuman penjara seumur hidup, tapi ia bebas setelah menjalani hukuman 12 tahun. Akibat kerasnya interogasi, istri Djiman, Masita Beru Gultom, bahkan sampai gila.

Sekarang, Djiman menjabat Ketua Aksi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia 1965. Ia telah menikah lagi dan saat ini tinggal di lantai dasar gedung bertingkat dua yang juga menjadi kantor kesekretariatan. Tidak ada tempat tidur dan perangkat selayaknya rumah. Cuma poster-poster mengenai hak asasi manusia menempel di sisi dalam tembok. Saat ditemui awal Oktober ini, Vasina, istri Djiman yang baru, tengah terlelap di atas tikar.

Lain dengan Maid dan Djiman, Burhanuddin, 68 tahun, justru mengaku menjadi korban kekerasan Partai Komunis Indonesia. Dua bulan lalu, bersama sekitar 20 orang yang tergabung dalam Forum Anti Komunis Indonesia, ia mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

”Saya minta agar kalau Komisi ingin menyelidiki kasus ini, jangan cuma melihat sisi PKI, tapi juga para korban kekerasan PKI,” kata Burhanuddin saat ditemui Tempo di Yogyakarta.

Burhanuddin bercerita, pada 1965-1966 ia aktif berunjuk rasa bersama aktivis Himpunan Mahasiswa Islam menentang Partai Komunis Indonesia. Pada 8 Oktober 1965, ia ditahan polisi dan dijebloskan ke penjara Vrederburg. Di kantor polisi, menurut Burhanuddin, ia sempat dianiaya polisi yang bersimpati kepada komunis. ”Mata disorot dengan lampu sangat terang, lalu tangan dipukul dengan gagang pistol,” katanya.

Menurut Nur Kholis, semua temuan dan informasi akan diverifikasi. Baginya yang penting adalah rekonsiliasi di antara kedua belah pihak korban. ”Ini sesuatu yang sangat berharga,” ujarnya.

Budi Riza (Jakarta), Muhammad Darlis (Palu), Soetana Monang Hasibuan (Medan), Muhammad Saifullah (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus