Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh tak sering pulang malam. Tak berarti ia santai. Begitu berada di kursi tertinggi Kejaksaan Agung setahun lalu, dia sendirilah yang mencanangkan sebuah tekad yang tak main-main: mempercepat pemberantasan korupsi. Dan agaknya ia konsekuen dengan ucapannya. "Sudah hampir setahun ini bahkan untuk melihat Puncak pun saya tidak sempat," ujarnya.
Tapi Arman, begitu teman-teman dekatnya memanggilnya, masih setia menonton pertunjukan teater yang menarik hatinya, juga masih membaca buku puisi, terutama karya Acep Zam-zam Noor, penyair asal Tasikmalaya, yang sangat digemarinya. Ini untuk menyeimbangkan diri, katanya.
Dua pekan lalu, Abdul Rahman menerima Tulus Wijanarko dan Sukma N. Lopies dari Tempo di rumah dinasnya, untuk sebuah wawancara. Berikut petikannya.
Dulu, setelah dilantik sebagai Jaksa Agung, Anda bertekad mempercepat pemberantasan korupsi. Apa hasilnya dalam setahun ini?
Pada hari-hari pertama menjadi Jaksa Agung, saya memanggil semua kepala kejaksaan tinggi dan meminta mereka melaporkan perkara korupsi yang ditangani, sudah sampai tahap apa. Kalau baru tahap penyelidikan, saya minta segera dipercepat ke penyidikan. Kalau sudah sampai ke penyidikan, segera limpahkan (ke pengadilan). Dan itu berjalan. Kalau tidak salah minggu-minggu pertama ada 70 laporan, lalu berkembang menjadi 160, dan terus berjalan sampai sekarang. Sejak itu kan banyak sekali permohonan izin kepada Presiden agar anggota DPRD, bupati, gubernur tertentu bisa diperiksa.
Hanya itu?
Saya juga minta perkara (yang kompleks) kalau bisa langsung ditangani aspek korupsinya. Misalnya pembalakan liar, kejahatan ini kan berada dalam perbatasan antara Undang-Undang Pelayaran, Kehutanan, dan Korupsi. Selama ini pembalakan liar sering ditangani dengan Undang-Undang Pelayaran dulu. Padahal, dengan UU Pelayaran, hukuman untuk kejahatan ini sangat ringan, bahkan kapalnya pun tidak bisa disita. Lain kalau pakai Undang-Undang Kehutanan, misalnya, kapalnya bisa disita.
Ada contohnya?
Contoh paling bagus kasus Kapal NV Mirna yang berbendera Kroasia. Waktu itu ditangani dengan UU Pelayaran. Wah, pengadilan hanya menjatuhkan denda Rp 24 juta, kapal dilepas, dan nakhodanya cuma dihukum beberapa bulan. Saya masuk saja ke kasus korupsinya. Saya minta izin pengadilan negeri agar kapalnya ditahan. Duta Besar Kroasia lalu ribut. Dia minta kapal dilepaskan. Waktu itu hampir jadi masalah antarnegara. Tapi saya bilang ke Menteri Luar Negeri, kapal tetap harus ditahan karena ada 10 ribu meter kubik kayu kualitas nomor satu (merbau) dari Papua yang diangkut secara ilegal. Menteri lalu bilang, berdasar standar internasional, harus ada uang jaminan. Lalu NV Mirna bayar Rp 10 miliar, atau kira-kira US$ 1 juta. Ya sudah, saya lepas.
Koordinasi dengan lembaga lain untuk mempercepat pemberantasan korupsi?
Koordinasi dengan lembaga lain saya lakukan, misalnya, dalam perkara money laundering. Perkara ini kan ada rezim pengaturannya sendiri. Itu masuk pidana umum sebetulnya. Saya sering mendapat tembusan dari PPATK, (ternyata) langsung ada unsur korupsinya. Misalnya ada pejabat mengadakan tender dengan nilai Rp 40 miliar. Beberapa pekan kemudian masuk uang ke rekening dia sebesar Rp 8 miliar atau 20 persen dari Rp 40 miliar. Ternyata tercatat bahwa uang itu untuk membayar kartu kredit, belanja ini dan itu. Nah, semua itu bisa dideteksi. Ini memang tidak langsung ada unsur korupsinya. Maka kejaksaan mesti menunggu penyidikan polisi. Dalam hal seperti ini saya sering minta tuntutannya dibuat berlapis.
Anda juga menjalin koordinasi dengan KPK?
Dengan KPK saya sudah melakukan pertemuan beberapa kali, dan setahu saya lancar, meskipun saya ingin lebih lancar lagi. Bagaimanapun, KPK ini penting karena lembaga ini didesain untuk menangani perkara besar. Di sisi lain tenaga mereka terbatas. Jadi, kami mesti berkoordinasi secara bagus. Setiap hari rata-rata saya bisa menerima sekitar tiga surat dari mereka.
Itu tadi semua upaya kuantitatif, bagaimana pencapaian kualitatifnya?
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Hendarman Supandji, sering mengeluh kewalahan. Saya bilang, ya, cepatlah rekrut tenaga-tenaga baru. Apalagi sekarang tenaga dia juga terkonsentrasi ke Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Hendarman adalah ketuanya-Red). Tim ini kan dikerjakan oleh orang-orang kami juga. Hendarman, misalnya, dia mengerjakan kasus Bank Mandiri sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus. Tapi pada saat yang sama sebagai Timtas Tipikor dia mengerjakan juga kasus Dana Abadi Umat.
Saya juga bertekad mematahkan mitos bahwa ada orang-orang yang kebal hukum. Dulu katanya orang semacam Neloe (kasus Bank Mandiri), D.L. Sitorus (kasus pembibitan hutan produksi di Sumatera Utara-Red.), tak tersentuh. Sekarang sudah ditangani.
Kabarnya, dalam soal Bank Mandiri, Anda mendapat tekanan dari Wakil Presiden.
Saya jarang sekali bertemu dengan Wakil Presiden, juga dengan Presiden. Saya kira beliau-beliau tahu, kok, untuk tidak mencampuri perkara.
Apakah organisasi Kejaksaan Agung mendukung penuh kebijakan Anda ini?
Lembaga ini kan asasnya "kejaksaan itu satu". Jadi pada dasarnya tersentralisir alias semua perkara adalah perkara Kejaksaan Agung, tetapi kemudian didelegasikan. Kalau di daerah, daerah yang menangani. Memang di setiap organisasi pasti ada masalah. Ada laporan yang mandek dari kepala kejaksaan tinggi, misalnya. Saya selalu minta Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus mengeceknya.
Yakinkah Anda bahwa tak ada mafia peradilan yang melibatkan aparat Anda?
Saya tidak bisa menjamin hal itu tidak terjadi. Tetapi saya selalu teriak-teriak, sekarang jangan main-main, keadaan sudah berubah, zaman sudah berubah. Sekarang ada Komisi Kejaksaan yang tinggal diambil sumpahnya. Saya bilang Komisi Kejaksaan akan lebih keras daripada sanksi internal.
Tetapi soal mental aparatur saya kira bukan hanya problem kejaksaan. Itu problem seluruh birokrasi kita. Semua sudah mengakui bahwa gaji aparatur untuk level tertentu tidak cukup. Tetapi tidak bisa, dong, kekurangan itu dijadikan alasan untuk korupsi.
Banyak aparat kejaksaan yang Anda tindak?
Ya, banyak. Dan orang masih tetap saja tidak percaya. Misalnya dalam hal penerimaan pegawai, banyak sekali pengaduan. Katanya ada yang memakai uang, melakukan KKN, dan sebagainya. Padahal saya sudah kasih tahu, mulai tahun ini cara penerimaan pegawai negeri dilakukan oleh Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Memang sulit menghilangkan stigma itu.
Apa kendala utama mempercepat pemberantasan korupsi?
Koordinasi dengan instansi lain. Misalnya, kadang-kadang kami menunggu hasil (pemeriksaan) dari polisi. Terus terjadi bolak-balik berkas karena berkas belum lengkap. Polisi bilang kami terlalu ceriwis. Tetapi kan kita mau bertanggung jawab.
Persoalan lain, kadang kasusnya tidak sederhana. Perkara korupsi itu kalau pelakunya pintar, kan bisa canggih (modusnya). Misalnya, dalam kasus Sitorus, kami sudah dikalahkan pengadilan negeri. Kami juga dipraperadilankan karena dianggap salah menahan. Seandainya praperadilan menyatakan yang kami lakukan tidak sah, kami mau bilang apa?
Menurut Anda, apakah tim pemberantas korupsi yang dibentuk oleh Presiden itu tidak tumpang tindih dengan program Anda?
Dulu, sewaktu masih kampanye, beliau kan selalu mengatakan ingin memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Saya kira latar belakang pemikirannya seperti itu. Jadi supaya masyarakat tahu bahwa pemberantasan korupsi ini levelnya tak hanya Jaksa Agung, tapi sudah Presiden.
Nah, caranya bagaimana? Ditentukanlah bahwa yang ditangani Tim adalah kasus di lingkungan 14 BUMN, departemen, dan lingkungan Presiden sendiri. Barangkali Presiden juga beranggapan, untuk "kawasan" ini jaksa pekewuh menyentuhnya.
Bukannya tim itu sekadar untuk menumbuhkan citra bagus bahwa Presiden serius menangani korupsi?
Saya tidak mau bilang begitu. Kalau saya bicara pribadi (dengan Presiden), terlihat beliau itu gemas sekali dengan korupsi. "Masa, keadaan negara begini orang masih korupsi, kurang ajar!" (Abdul Rahman menirukan perkataan dan roman muka Presiden yang gemas seraya memukul-mukulkan tangannya ke kertas). Beliau itu marah benar. Malam-malam pun beliau suka telepon saya menanyakan penanganan suatu kasus.
Kasus BLBI, kenapa kemajuannya lambat sekali?
Berkali-kali sudah saya katakan, soal BLBI ini ada aturannya sendiri. Sudah ada ketetapan MPR dan instruksi presiden yang menjadi acuan. Jadi, bagi mereka yang kooperatif dan membayar, akan dikasih surat keterangan lunas, dan kejaksaan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Sedangkan mereka yang tidak kooperaif tetap kami kejar.
Berapa banyak yang tidak kooperatif?
Saya tidak hafal, saya kira ada belasan. Kebanyakan orangnya sudah kabur. Saya sudah menginstruksikan juga ke Hendarman (agar terus mengejar).
Banyak yang lari ke Singapura, apa upaya mengejar mereka?
Kami sedang menjalin perjanjian ekstradisi. Kali ini tampaknya Singapura serius. Mudah-mudahan tahun ini bisa diteken. Selama ini sudah dilakukan empat pertemuan, dan hasilnya sudah dekat sekali, tinggal mencocokkan beberapa hal. Kalau sudah diteken, itu sangat membantu pengejaran.
Apa kewenangan tim pemburu aset?
Melacak rekening koruptor yang di luar negeri dan membawa kembali. Juga melakukan koordinasi. Induknya kan macam-macam, ada Kantor Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, juga kejaksaan dan kepolisian. Jadi fungsinya melakukan koordinasi, semacam tim pemberantas korupsi itu. Sementara tim pemberantas korupsi dikoordinir oleh Presiden, tim pemburu aset ini oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Berita terakhir, mereka berhasil melacak rekening di Swiss.
Saya memang pernah mendapat surat dari Swiss yang memberi tahu soal rekening itu. Jumlahnya pun kami sudah tahu. Lalu saya minta agar rekening itu diblokir, dan segera kami kirim tim untuk mengurusnya. Selain itu, ada juga surat dari sebuah kantor lawyer di Amerika Serikat yang menginformasikan keberadaan rekening semacam itu, termasuk foto-foto properti yang diduga milik koruptor dari Indonesia. Mereka menawari untuk mengurusnya, tapi honor yang diminta besar sekali, jutaan dolar AS.
Berapa dana yang tersimpan dalam rekening gelap di Swiss?
Ada satu rekening yang dilaporkan berisi sekitar US$ 5 juta. Ini milik seseorang yang sebenarnya sudah kami tahan.
Bagaimana dengan Hong Kong?
Ya, banyak info yang masuk, bahkan ada yang menginformasikan ada juga di Portugal. Informasi memang jalan terus.
Apa kendala memburu aset itu?
Sistem hukum yang berbeda. Misalnya, Hong Kong punya aturan sendiri. Swiss mensyaratkan beberapa hal. Klasifikasi tindak pindana di tiap negara pun berbeda.
Bagaimana hubungan Anda dengan Komisi III DPR setelah dulu sempat tegang seusai sebuah rapat kerja?
Hubungan kami baik, tapi masih kritis karena pembawaan beberapa anggota yang memiliki karakter keras saat bertanya. Tapi saya pikir ini wajar-wajar saja. Kalau ada yang kelewatan, kan saya bisa bereaksi juga.
Komentar atas saran DPR tentang perlunya Anda direshuffle dari kabinet?
Itu kan hanya dari fraksi tertentu, yakni PDIP. Itu bisa dimengerti, karena mereka oposisi.
Abdul Rahman Saleh
Lahir:
- Pekalongan, 1 April 1941
- Islam
- Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
- Notariat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia
- Wartawan harian Nusantara Jakarta (1968-1984)
- Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (1981-1984)
- Sekretaris Dewan Penyantun Yayasan LBH Indonesia
- Anggota Komisi Pemilihan Umum mewakili Partai Bulan Bintang 1999
- Hakim Agung di MA
- Jaksa Agung (2004-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo