Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak hal yang menimpa partai ini. Partai Golkar memang terbukti paling perkasa dalam pemilu parlemen tahun ini. Tapi ia juga partai yang jagoannya tak berjaya dalam pemilu presiden putaran kedua barusan. Kini ia partai yang terancam terbelah.
Dua pekan lalu, Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar memecat fungsionaris partai, antara lain Fahmi Idris, Marzuki Darusman, Anton Lesiangi, dan Burhanuddin Napitupulu. Bahkan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung juga memecat dua penasihat partai—Jusuf Kalla dan Muladi—karena mereka dianggap "memecah belah" partai berlambang beringin itu. "Mereka tak mematuhi keputusan partai untuk mendukung Mega-Hasyim," ujar Akbar Tandjung.
Seperti bola salju, keputusan Akbar, yang mengatasnamakan DPP Partai Golkar, langsung menuai masalah. Kubu Fahmi Idris melakukan perlawanan. Fahmi dan kawan-kawan menggugat Akbar gara-gara pemecatan itu. Tak cuma itu. Lewat Forum Pembaharuan Partai Golkar (FPPG), Fahmi mulai melakukan aksi untuk mendongkel Akbar Tandjung dari kursi Ketua Umum Partai Golkar. "Akbar telah gagal. Dia akan jadi sumber perpecahan partai," ujar Fahmi.
Untuk menjelaskan kondisi internal Partai Golkar, dan sikap FPPG atas Koalisi Kebangsaan, Fahmi Idris—didampingi Burhanuddin Napitupulu dan Anton Lesiangi—pekan lalu bertandang ke kantor majalah Tempo. Selama dua jam, diselingi makan siang dengan nasi bungkus, Fahmi bercerita soal perseteruannya dengan Akbar Tandjung. (Untuk mendapatkan gambaran pihak yang berseberangan, silakan baca wawancara Akbar Tandjung dalam rubrik Nasional)
Berikut ini kutipan wawancaranya.
Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar baru memecat Anda. Apa sikap Anda?
Akbar, mengatasnamakan DPP Partai Golkar, memang memecat saya, Marzuki Darusman, Burhanuddin Napitupulu, Anton Lesiangi, dan teman-teman lain. Itu merupakan bukti bahwa Akbar tengah panik dan kalut. Bagi kami, pemecatan tersebut merupakan langkah yang inkonstitusional. Keputusan tersebut cacat hukum sehingga otomatis harus dianggap gugur.
Mengapa Anda menilai keputusan itu cacat hukum?
Keputusan tersebut tak sesuai dengan AD/ART Partai Golkar. Dalam aturan, bila seseorang dianggap melanggar aturan partai, harus diberi surat peringatan pertama. Bila surat itu tidak diindahkan, dalam tempo 20 hari diberi surat peringatan kedua. Nah, saya baru mendapat surat pertama tanggal 3 September 2004. Artinya, bila itu dianggap sebagai "surat peringatan", DPP Partai Golkar baru bisa memberikan surat peringatan kedua pada 23 September 2004. Kemudian "surat peringatan ketiga" baru bisa diberikan 10 hari kemudian. Selain itu, dalam AD/ART disebutkan bahwa mereka harus memberikan kesempatan untuk membela diri. Jadi, mereka tidak bisa ujuk-ujuk main pecat begitu.
Mengapa begitu?
Mungkin Akbar ingin menunjukkan ke Megawati bahwa dia serius. Tapi buktinya Koalisi Kebangsaan itu gagal. Rakyat kita tidak bodoh. Seharusnya Akbar merasa malu, bukannya malah mempertahankan sikap otoriternya. Tapi sudahlah. Soal pemecatan itu, saya sih memaklumi sikap Akbar. Dia tahu kalau pemecatan itu tak sesuai dengan AD/ART partai. Tapi dia ngotot karena sedang kalut dan tertekan. Seharusnya pemecatan ini dilaporkan ke Museum Rekor Indonesia. Soalnya, dalam sejarah Partai Golkar, tak pernah ada pemecatan seperti ini. Ha-ha-ha….
Apa yang membuat Akbar Tandjung kalut dan tertekan?
Koalisi Kebangsaan itu tidak bisa jalan di daerah-daerah. Kalau menurut konsep yang mereka buat, koalisi itu tak sebatas dalam pemilihan presiden, tapi sampai ke daerah-daerah dalam pemilihan gubernur, bupati, dan ketua DPRD. Buktinya, konsep tersebut tak bisa jalan. Tapi Akbar tak mau menghukum mereka karena itu menyangkut teman-teman Akbar Tandjung sendiri.
Mengapa Anda tak mematuhi keputusan DPP Partai Golkar untuk mendukung Mega-Hasyim? Bukankah itu sebuah "pengkhianatan"?
Justru sebaliknya, Akbar cs yang telah mengkhianati kehendak konstituen Partai Golkar. Sejak awal, kami telah mengatakan bahwa dukungan terhadap Mega-Hasyim tak akan didukung rakyat. Pemilih Partai Golkar, yang mencapai 23 persen pemilih itu, bukanlah orang-orang yang bodoh. Mereka tak akan mendukung calon yang dianggap sebagai pro-status quo. Terbukti bahwa 70 persen suara dari Partai Golkar, seperti dugaan saya, justru mendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Makanya, sejak awal, kami menentang keputusan DPP Partai Golkar yang mendukung Mega-Hasyim karena tak sesuai dengan kehendak rakyat. Kami membentuk Forum Pembaharuan Partai Golkar (FPPG) untuk membuang orang-orang yang hanya pro-status quo.
Lagi pula pilihan Akbar untuk mendukung Mega-Hasyim tak sesuai dengan platform partai. Dalam visi dan misi Partai Golkar, ditegaskan bahwa Partai Golkar menghendaki adanya perubahan. Kita beranggapan pemerintahan Megawati Soekarnoputri telah gagal. Nah, mengapa kita harus mendukung pemerintahan yang telah dianggap gagal?
Apa target Forum Pembaharuan Partai Golkar?
Kami ingin melengserkan Akbar Tandjung dari kursi Ketua Umum Partai Golkar. Selama ini, Akbar hanya memanfaatkan partai untuk ambisi politiknya. Saya melihat karier politik Akbar sudah tamat. Seharusnya partai dipimpin oleh orang-orang muda yang berpikiran maju. Saya belum bisa menyebut namanya. Tapi saya berharap Partai Golkar dipimpin oleh orang-orang muda.
Mengapa Akbar Tandjung harus dilengserkan dari jabatan Ketua Umum Partai Golkar?
Akbar akan membuat partai terpecah belah. Lagi pula Akbar telah gagal memimpin partai. Dia juga tiga kali gagal mengantarkan calon Partai Golkar ke RI-1. Ingat, bukan cuma Megawati yang gagal diantarkan Akbar menjadi RI-1, tapi juga Pak Habibie dan Pak Wiranto. Selain itu, Akbar telah gagal saat mencalonkan diri sebagai calon presiden dari Partai Golkar. Dia seharusnya melakukan introspeksi diri karena selalu menjadi orang yang gagal. Sekarang, buat apa kita mempertahankan orang yang telah gagal seperti Akbar?
Bukankah Akbar berhasil mengembalikan citra Golkar yang terpuruk? Bahkan memenangi pemilu legislatif?
Bung, jangan lupa, keberhasilan itu bukan pekerjaan pribadi Akbar. Semua orang, termasuk saya dan teman-teman yang dipecat, ikut mengembalikan citra Partai Golkar dari keadaan terpuruk. Sedangkan suara Partai Golkar dalam pemilu legislatif melonjak juga karena dukungan para calon presiden dari Partai Golkar. Mereka telah mengerahkan semua sumber daya, termasuk keuangan, untuk meraih suara rakyat. Jadi, kemenangan tersebut sama sekali bukan hasil karya Akbar Tandjung pribadi.
Bagaimana bila Anda yang diminta menjadi Ketua Umum Partai Golkar....
Saya tak berminat untuk menjadi Ketua Partai Golkar. Itu bukan cita-cita politik saya.
Sudah lama Anda berseteru dengan Akbar Tandjung. Mengapa Anda tak memanfaatkan peluang ini untuk mengganti Akbar?
Itu bukan tujuan saya. Memang, kalau bicara peluang, saya yakin sikap kami ini akan mendapat dukungan dari daerah-daerah. Pokoknya, kalau Akbar tak main uang, kami akan mendapat dukungan dari daerah. Mayoritas dewan pengurus daerah dan dewan pimpinan cabang setuju dengan sikap kami. Tapi, kalau uang sudah bicara, persoalannya jadi lain. Seperti pada saat konvensi kemarin, banyak uang yang memainkan peran penting untuk mendapat suara. Tapi saya tak peduli dengan hal itu. Saya memang tak punya uang. Tapi sikap saya ini jelas-jelas sejalan dengan kehendak konstituen Partai Golkar. Buktinya, 70 persen suara mereka justru diberikan untuk pasangan SBY-Jusuf Kalla.
Apakah Anda akan melibatkan Jusuf Kalla untuk mendongkel Akbar?
Kami memang tetap sering ber-temu dengan Jusuf Kalla. Sampai sekarang, dia adalah kader Partai Golkar.
Anda juga mulai mengungkit kesalahan Akbar dalam kasus Bulog. Mengapa baru Anda lakukan sekarang?
Akbar sebetulnya terlibat dengan kasus tersebut. Tapi yang sangat mengetahui duduk perkaranya adalah Anton Lesiangi, salah seorang pengurus DPP Partai Golkar yang juga dipecat Akbar. (Fahmi kemudian meminta Anton Lesiangi menceritakan kasus Bulog tersebut—Red.)
Apakah Anda telah bertemu dengan Akbar Tandjung setelah pemecatan Anda?
Saya dan Marzuki Darusman sudah meminta waktu untuk bertemu dengan Akbar Tandjung. Kami ingin menjelaskan secara langsung kepada Akbar agar dia tak hanya mendapat informasi dari media massa. Tapi permintaan tersebut sama sekali tak digubris oleh Akbar. Jadi, dalam pikiran Akbar, kami ini memang harus dibuang.
Anda masih mau berdamai dengan Akbar?
Di partai politik, perdamaian dan persengketaan itu sama mungkinnya. Salah satu upayanya adalah mediasi yang dilakukan Sri Sultan. Beliau adalah tokoh Partai Golkar yang netral. Saya berharap kasus ini bisa diselesaikan baik-baik.
Dalam Sidang Majelis, Anda tak masuk Fraksi Partai Golkar. Apa yang dapat Anda lakukan untuk melakukan perubahan di Partai Golkar?
Masih banyak yang dapat saya lakukan. Kalau bukan saya, masih banyak orang muda di Partai Golkar yang menghendaki terjadinya perubahan. Merekalah yang akan menjadi motor penggerak. Lagi pula pemecatan saya dan teman-teman jelas-jelas melanggar hukum. Saya yakin kader Partai Golkar bisa menilai siapa yang benar dan yang salah. Partai Golkar adalah rumah saya sejak dulu. Bagaimana mungkin ada orang yang mau mengusir saya dari rumah saya sendiri?
Sebenarnya mengapa Akbar memilih mendukung Megawati?
Pramono Anung dan Heri Akhmadi (dari PDI Perjuangan) bercerita kepada saya bahwa Megawati menjanjikan Akbar menjadi presiden tahun 2009. Itu alasan utama Akbar akhirnya memilih bergabung dengan Mega. Itulah sebabnya Megawati bilang akan mendukung Akbar untuk maju lagi sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Soalnya, hal itu merupakan anak tangga yang harus dilalui. Soal delapan kursi menteri untuk Partai Golkar cuma embel-embel. Memang, buat para pengikut Akbar, embel-embel itu menjadi sangat penting. Mereka berharap dapat masuk ke kabinet bila Megawati menang. Nah, semua cerita itu lantas dibungkus oleh Akbar menjadi "Koalisi Kebangsaan".
Apakah Partai Golkar akan serius dengan "Koalisi Kebangsaan"?
Akbar adalah tipe orang yang bisa melompat kapan saja. Dia membuat Koalisi Kebangsaan bukan dengan pendekatan konseptual. Menurut Akbar, "Mereka akan membuat pemerintahan dan DPR yang kuat. Di situlah Indonesia akan maju." Konsep itu dikampanyekan Akbar di mana-mana. Tapi, sejak awal, saya tak yakin dengan pernyataannya. Buktinya, Akbar kemarin bilang bahwa ia akan menjadikan Partai Golkar sebagai "kekuatan penyeimbang". Itu berarti dia telah mengingkari konsep sebelumnya. Itu seperti Timur dan Barat. Coba bayangkan, dalam beberapa hari Akbar bisa mengubah konsepnya sendiri.
Apa sikap daerah terhadap pilihan sebagai "kekuatan penyeimbang"?
Keputusan itu tak mungkin didukung daerah. Di Sumatera Barat, misalnya, yang menjadi gubernur dan ketua DPRD berasal dari Partai Golkar. Bagaimana mungkin mereka akan menjadi oposisi? Begitu juga di Sulawesi Selatan dan di kabupaten-kabupaten. Nah, hal ini yang tidak Akbar perhitungkan.
Apakah "Koalisi Kebangsaan" akan bertahan?
Koalisi Kebangsaan telah terbukti gagal. Dari pesan singkat yang saya terima dari Jawa Tengah, calon ketua DPRD di Jawa Tengah dari Partai Golkar gagal. Yang jadi malah dari PDI Perjuangan. Padahal, kalau yang jadi gubernur PDI Perjuangan, ketua DPRD-nya seharusnya dari Partai Golkar. Memang ada kesan Koalisi Kebangsaan berhasil di DPRD DKI Jakarta. Padahal, naiknya calon dari Partai Golkar sama sekali bukan hasil kerja Koalisi Kebangsaan. Itu hasil kerja Gubernur Sutiyoso yang tak menginginkan Ketua DPRD Jakarta dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pokoknya, siapa saja terserah, asal bukan PKS.
Apakah Akbar bisa merapat dan masuk ke kubu SBY-Jusuf Kalla?
Ah…. Bagi Akbar, apa saja mungkin. Yang enggak-enggak saja mungkin, apalagi yang iya-iya.
Anda terlihat sangat bersemangat untuk mendongkel Akbar. Mengapa?
Meskipun Megawati kalah dalam pemilu presiden, Akbar punya agenda lain. Sebenarnya Akbar ingin menjatuhkan SBY selama setahun ini. Bagi Akbar, daripada tampil jadi presiden pada tahun 2009, lebih baik menjadi presiden tahun 2005. Sejak dulu, dia punya niat dan obsesi untuk menjadi presiden. Caranya, menurut konstitusi, seorang presiden bisa di-impeach bila melakukan pelanggaran berat. DPR bisa mengusulkannya ke Mahkamah Konstitusi. Nah, nanti Akbar akan mencari-cari pelanggaran berat yang dilakukan SBY. Sekarang Akbar sudah punya modal karena menguasai DPR. Akbar juga sudah mulai berusaha untuk menguasai semua komisi dan Badan Musyawarah.
Mahkamah Konstitusi berisi sembilan hakim yang cukup kredibel. Apakah mereka bisa "dikuasai" Akbar?
Parlemen yang kuat memang bisa menekan Mahkamah Konstitusi. Tapi politik itu seperti bermain bola. Kedua belah pihak harus bermain sebaik-baiknya. Pemerintahan SBY bisa menangkal kekuatan parlemen dengan membuat jalur komunikasi yang kuat kepada rakyat. Paling kurang dua kali sebulan presiden melakukan komunikasi ke rakyat. Saya kira SBY bisa melakukan itu. Kemampuan komunikasinya lebih baik daripada Megawati. Presiden bisa bilang punya program ini-itu. Kalau ada hambatan dari DPR, SBY bisa langsung mengungkapkannya kepada rakyat. Saya yakin, dua hari kemudian, DPR bisa diserbu orang.
Bukankah aktivitas politik itu akan mengganggu kinerja pemerintahan?
Ah, tidak. Yang bisa diganggu seperti itu adalah pemerintahan Gus Dur. Memang Megawati menganggap Koalisi Kebangsaan bisa menjatuhkan SBY. Mohon maaf saja, hal itu karena kemampuan analisisnya kurang. Dia cuma berpikir, kalau dulu bisa (menjatuhkan Gus Dur), mengapa sekarang tidak bisa (menjatuhkan SBY). Padahal kondisinya sudah sangat berbeda. Lagi pula Koalisi Kebangsaan ini tak akan lekang. Roy B.B. Janis dari PDI Perjuangan sudah meminta Koalisi Kebangsaan dibubarkan. Soalnya, terbukti koalisi ini justru menjatuhkan Megawati. Lihat saja di lima provinsi—seperti Sumatera Utara dan Jawa Tengah—pada putaran pertama Megawati menang, tapi sekarang justru kalah. Hal ini akan menyadarkan orang-orang PDI Perjuangan. Dari sepuluh orang bodoh di PDI Perjuangan, pasti ada dua yang cerdas, yang bisa membaca kesalahan dan taktik Akbar Tandjung itu. n
Fahmi Idris
Tempat & Tanggal Lahir:
- Jakarta, 20 September 1943
Pendidikan:
- Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1969)
Karier:
- Ketua Laskar Arief Rahman Hakim (1966-1969)
- Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi UI (1967-1969)
- Anggota DPR Gotong Royong (1967-1968)
- Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (1967-1968)
- Ketua Hipmi (1976-1979)
- Menteri Tenaga Kerja (1998-1999)
- Ketua DPP Partai Golkar (1999-2004)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo