Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, Gunarti: Kami Merasa Belum Merdeka

3 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petani dan pegiat Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, Gunarti, emoh disebut "Kartini modern" meski terlahir pada 21 April dan berjuang untuk kaumnya. Dengan dalih menyelamatkan sumber air dan tanah, ia menolak pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. "Lebih baik krisis semen daripada krisis pangan," kata Gunarti, 43 tahun.

Jejak perlawanan Gunarti dan warga Kendeng menolak pabrik semen terbentang sejak satu dasawarsa silam. Menurut dia, tak berbilang seringnya tubuh para perempuan itu diseret dan dipiting petugas keamanan saat memblokade jalan menuju lokasi pabrik. Pengaduan ke Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Maret lalu pun tak membantu mereka.

Gunarti cs menggugat izin penambangan bukit gamping yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ke pengadilan. Sempat kalah di pengadilan tingkat pertama dan kedua, mereka menang di tingkat kasasi. Putusan itu belum memastikan pabrik semen angkat kaki dari Kendeng. Tapi perjuangan warga Kendeng--penganut Sedulur Sikep, yakni perlawanan tanpa kekerasan yang diajarkan Samin Surosentiko (1859-1914)--belakangan sukses mendesak pemerintah mengkaji ulang luasan wilayah eksplorasi karst yang merupakan penyimpan cadangan air tanah.

Hasil kajian lingkungan hidup strategis tahap pertama yang dirilis pemerintah pada April lalu tampak berpihak pada perjuangan warga Kendeng. Salah satunya merekomendasikan penetapan kawasan Watuputih, Rembang, Jawa Tengah, yang sempat masuk area eksplorasi tambang pabrik semen, sebagai kawasan bentang alam karst. Poin lainnya adalah moratorium penambangan batu gamping dan pelarangan penerbitan izin usaha penambangan baru di Watuputih. "Penting bagi semua pihak mematuhi rekomendasi ini," ujar Gunarti, yang baru kembali dari Jerman untuk mengkampanyekan perlawanan mereka pada peringatan Hari Buruh Sedunia.

Selasa pekan pertama Juni lalu, Gunarti menerima wartawan Tempo Raymundus Rikang dan Edi Faisol di rumahnya di Dusun Bowong, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Gunarti menutup wawancara dalam bahasa Jawa itu dengan menembangkan kidung yang dia ciptakan: "Wes wayahe gugah rasane. Aja kebangeten ndablek laline. Weruh donyane dirusak kok meneng wae. Dleweran kae tangise gununge dewe. Ditambang dikeduki kabeh isine." (Tiba saatnya menggugah perasaannya. Jangan keterlaluan abainya. Tahu alamnya dirusak kok diam saja. Gunung kita berlinang air mata. Ditambang, digali semua isi perutnya.)

|||
Mengapa pembangunan pabrik semen harus ditolak?
Pabrik semen di Pegunungan Kendeng akan merusak dan melenyapkan 125 sumber mata air, 30 gua, dan 9 ponor (celah aliran air). Kajian geologi memastikan, bila ditemukan satu ponor saja, daerah itu tak boleh ditambang. Apalagi ada situs sejarah makam Prabu Angling Dharma dan Batik Madrim serta petilasan Dewi Kunthi. Penambangan karst oleh pabrik semen bakal merusak sumber kehidupan penduduk. Intinya, pabrik semen akan mematikan generasi kehidupan. (Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia Agung Wiharto mengatakan bahwa mempermasalahkan temuan di lapangan tak lagi relevan. Menurut dia, semua pihak telah sepakat menunggu hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang tengah dikerjakan pemerintah dan perusahaan akan mematuhi isi kajian tersebut.)
Apa hubungan penambangan semen dengan kematian?
Warga Kendeng hidup dari bertani. Unsur terpenting bertani ialah air dan tanah. Bahkan di Pegunungan Kendeng mengalir sumber mata air abadi yang menyuburkan tanah kami. Jika ada pabrik semen, sumber mata air itu dipastikan rusak sehingga tanah jadi tandus. Akhirnya, kami tak bisa bertani dan menghasilkan pangan. Krisis pangan sama saja menghadapi kematian. Maka, bagi saya, lebih baik krisis semen daripada krisis pangan.
Mengapa berkeyakinan begitu?
Kekuatan negara ini tidak bergantung pada kecukupan pasokan semen, tapi pada kecukupan pangan. Anda pasti menyimpan beras dan air di rumah, bukan semen, kan? Maka saya pernah bilang ke Presiden Jokowi, "Keperkasaan negara ini bukan ditentukan oleh senjata, melainkan oleh pangan. Apakah tentara tetap kuat mengokang bedil bila perutnya lapar?"
Seberapa besar daya rusak pabrik semen bagi kehidupan masyarakat Kendeng?
Ibu Bumi alias alam akan menangis karena dirusak oleh anak-anak yang seharusnya merawat. Kerusakan alam adalah cermin kebobrokan martabat manusia. Sebab, banyak data analisis dampak lingkungan yang tak sesuai dengan kondisi riil. Misalnya, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan pabrik semen mencantumkan penemuan 6 gua dan tak ada ponor, sementara warga bisa menemukan 30 gua dan 9 ponor. Selain itu, kedatangan pabrik semen saja sudah merusak ketenteraman masyarakat. Bapak dan anak bisa bertengkar gara-gara ada yang pro, sementara yang lain kontra, terhadap pabrik semen. Rusaknya kerukunan ini tak bisa dinilai dengan uang.
Apa penyebabnya?
Duit. Penerimanya mengaku itu bukan pemberian pabrik semen. Tapi saya yakin pabrik tak terjun langsung karena duit itu bisa digelontorkan lewat aparat desa. Tak mengherankan bila kepala desa dengan masyarakat Kendeng enggak rukun gara-gara uang itu.
Ada buktinya?
Masak, pabrik belum berdiri, bantuan sosial perusahaannya sudah cair? Bagi saya, program itu sifatnya bukan bantuan, melainkan senjata pemecah belah warga. Kini warga yang berbeda sikap tak mau saling bantu bila salah satu punya hajatan. Bahkan orang tak mau melayat bila warga yang meninggal berseberangan sikap soal pabrik semen.
Pemerintah mengisyaratkan lampu hijau untuk pembangunan pabrik semen. Apakah ini bentuk kekalahan warga Kendeng?
Kami belum kalah. Andaikan kami takluk sekalipun, masih ada kuasa Ibu Bumi. Jika kehormatan alam semesta ini dijamah lewat pendirian pabrik semen, alam akan bertindak sendiri. Bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo membuktikan Ibu Bumi murka, karena seharusnya dia dirawat agar jadi gemah ripah loh jinawi.
Sebaliknya, ada kajian lingkungan hidup strategis yang melarang penambangan kawasan Watuputih. Seberapa penting rekomendasi itu?
Lebih penting komitmen semua pihak untuk mematuhinya. Yang saat ini terjadi ialah pabrik semen terus beroperasi. Warga ingin aktivitas pabrik berhenti sepanjang belum ada putusan pengadilan. Sedangkan kami sering dituding menjadi penyebab mandeknya pembangunan pabrik senilai triliunan rupiah. Apakah kami keliru bila mendesak pemerintah menaati putusan Mahkamah Agung yang membatalkan izin pabrik semen? Kok, penguasa ini maunya menang terus?
Mengapa penolakan pabrik semen belakangan meluas hingga ke Tuban, Jawa Timur?
Ada pesan dari leluhur Sedulur Sikep: jangan sampai pabrik semen berdiri di Pulau Jawa. Jika sangat terpaksa, setidaknya pabrik itu tak berdiri di Jawa Tengah.
Apa hal terburuk bila pesan itu dilanggar?
Krisis pangan. Sebab, daerah ini dipercaya sebagai lumbung pangan Nusantara. Buyut Kerti Among Tani--leluhur petani seluruh Nusantara--berpesan agar melestarikan alam Jawa Tengah sehingga fungsinya sebagai lumbung pangan tetap terjaga. Kendati lingkungan Jawa Timur dan Jawa Barat rusak, bila Jawa Tengah tetap asri, semua penduduk Nusantara tetap bisa makan. Itu kepercayaan yang diajarkan turun-temurun.
Jadi pabrik semen boleh berdiri sepanjang tidak di Pulau Jawa?
Silakan perusahaan berdialog dengan masyarakat lokal. Jika penduduk lokal berkukuh tanahnya tak dijual, ya, jangan memaksa. Justru negara harus hadir melindungi hak warga atas tanah tersebut. Dosa apa yang ditanggung negara ini bila membela pabrik semen, sementara rakyatnya malah jadi korban? Prinsip warga Kendeng ialah biarkan gunung, laut, atau sawah tetap apa adanya, seperti ketika diciptakan. Jangan merasa pintar dan punya uang, lalu seenaknya mengeruk gunung dan menguruk segara. Apa sih maunya?
Kini banyak pembangunan infrastruktur yang mengeruk gunung dan mereklamasi lautan. Pendapat Anda?
Itu kesalahan pola pikir para kapitalis. Mereka bersekolah tinggi-tinggi hanya untuk merusak alam. Memangnya pemerintah atau para kapitalis itu sanggup menciptakan gunung dan lautan yang terbentuk ribuan tahun? Tugas manusia sekadar menjaga, merawat, dan memanfaatkan alam, bukan merusak, apalagi mengubah bentang alam.
Sikap Anda seperti anti-kesejahteraan. Bagaimana sebenarnya warga Kendeng memaknai kesejahteraan?
Kami tak anti-kesejahteraan. Bahkan saya mengakui Sedulur Sikep juga butuh uang, tapi dalam jumlah secukupnya saja. Kesejahteraan tak diukur dari banyaknya harta, melainkan dari ketenteraman dan kemerdekaan jiwa. Namun kemerdekaan itu belum bisa dirasakan secara lahir dan batin.
Anda merasa belum merdeka?
Hati kami kadang terasa tak ayem karena ditekan pemerintah dan pabrik semen. Bagi saya, pabrik semen itu bentuk penjajahan baru. Bukan penjajahan oleh bangsa asing, melainkan lewat saudara sendiri. Contohnya, kepala desa memaksa rakyat menjual tanahnya. Aksi semacam ini membuat persaudaraan putus dan itu benar-benar dialami warga Kendeng.
Lalu bisakah kesejahteraan dicapai tanpa pembangunan infrastruktur?
Sekali lagi, warga Kendeng tak menolak pembangunan. Namun harus dilihat apakah pembangunan itu menguntungkan rakyat atau konglomerat. Lebih dari itu, pembangunan yang menyejahterakan sejatinya bukan melulu aspek infrastruktur, melainkan pembangunan moral manusia. Itulah mengapa lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya mengamanatkan pembangunan jiwa dan raga, bukan infrastruktur. Negara ini akan bobrok bila mengabaikan pendidikan moral. Yang tampak menjulang cuma gedung pencakar langit, tapi mentalitas masyarakatnya rusak dan korup.
Tidakkah landasan kesejahteraan adalah kemajuan ekonomi?
Ekonomi penting, tapi lebih penting pranata moral manusia. Bagi Sedulur Sikep, ada dua pranata, yakni sandang-pangan dan moral. Jika moralnya baik, kecukupan sandang-pangan otomatis mengikuti. Toh, sekalipun kita miskin, alam ini sudah memberikan segala-galanya untuk diolah. Manusia tinggal memetik dan merawat pemberian alam itu.
Jejak perlawanan Sedulur Sikep terbentang sejak menolak pajak untuk kolonial. Mengapa sikap penentangan itu berlangsung sampai sekarang?
Kami tak melawan bila tak merasa terancam. Jangankan manusia, cacing dan semut saja marah bila dirinya terancam. Dulu, Mbah Samin Surosentiko (leluhur warga Kendeng) memberontak karena kompeni datang dan berlagak mengatur, padahal beliau adalah pribumi yang mendiami dan memiliki tanah itu. Kini, kami berjuang mempertahankan dan menyelamatkan tanah dan sumber air.
Sampai kapan akan melawan?
Sampai pemerintah tak memaksakan kehendak dan kami tak merasa terancam. Soal pabrik semen, kami akan melawan sampai mereka pergi dari Pegunungan Kendeng.
Spirit perlawanan itu membuat warga Kendeng dicap pembangkang, anarkistis, dan kafir.
Jika menyebut warga Kendeng penganut spiritualitas Samin seperti itu, monggo. Namun apa buktinya? Saya juga punya Tuhan, tapi merasa tak perlu berebut dengan Tuhan agama lain. Tuhan atau Gusti Allah bagi Sedulur Sikep berarti bagus neng ati lan ngalah (hati yang suci dan mengalah). Agar punya hati yang suci, kami harus berkata jujur. Tuhan versi Sedulur Sikep mewujud dalam perilaku sehari-hari.
Soal keyakinan, Anda merasa ditindas?
Agama adat kami tak diakui dan kami dipaksa memilih satu dari enam agama versi pemerintah. Saya pernah tercatat beragama Islam dan Kristen di kartu tanda penduduk, tapi sejak 2010 kolom agama kami boleh dikosongkan. Ada pula pemaksaan menyelenggarakan upacara perkawinan. Padahal konsep perkawinan warga Kendeng cukup dengan permohonan calon suami kepada ibu mertua agar anaknya boleh diperistri. Sering kami terpaksa memenuhi syarat administrasi pemerintah agar boleh menikmati fasilitas publik, misalnya listrik dan layanan kesehatan.
Anda tunduk kepada tuntutan tersebut?
Kami tak bakal tunduk kepada aturan yang tak benar. Pemerintah tolong lebih menghargai keberadaan komunitas adat seperti Sedulur Sikep. Tanpa rakyat, negara dan pemerintah ini tak ada artinya. Maka kami kerap merasa belum merdeka, meski penjajah sudah angkat kaki dari negeri ini.
Mengapa warga Kendeng mengandalkan perempuan di garis depan perjuangannya?
Menjaga Ibu Bumi sebenarnya tugas bersama, laki-laki dan perempuan. Penambangan karst Pegunungan Kendeng membuat sumber air hilang. Para ibu adalah pihak yang pertama kali dirugikan bila terjadi krisis air. Tak bisa memasak, mencuci, atau memandikan anak-anak di rumah. Para bapak baru menggunakan air saat mengairi sawah.
Bagaimana membangun kesadaran para ibu?
Saya dan kawan-kawan dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng berkeliling ke rumah-rumah. Kami jelaskan dampak pembangunan pabrik terhadap lingkungan sekitar, sehingga mereka sadar bahwa pabrik akan menyengsarakan kami selamanya. Apalagi perempuan Samin meyakini tanah dan air adalah kehidupan yang harus digendong, dikeloni, dan dijaga mati-matian. Mengobral tanah dan air sama saja menjual ibu kita sendiri. Toh, uang hasil menjual tanah dalam sekejap ludes, sementara tanah bisa diwariskan sampai anak-cucu.
Apa yang Anda kampanyekan di Jerman pada Mei lalu?
Saya menghadiri pemutaran film Samin Vs Semen di sepuluh kota serta terlibat diskusi intensif dengan pencinta lingkungan di sana. Di Heidelberg, kami menggelar protes di depan balai kota tepat pada saat rapat pemegang saham HeidelbergCement (pemegang saham PT Indocement yang akan mendirikan pabrik di Pati). Ada aksi solidaritas aktivis lingkungan dari Jerman yang ikut menyemen kaki.
Anda yang mengajak mereka?
Saya tak membujuk, malah melarang. Sebab, mengecor kaki itu sakitnya minta ampun. Mereka bersedia kakinya disemen dengan beragam alasan. Ada yang merasa Ibu Bumi-nya akan tersakiti bila pabrik semen berdiri di Kendeng, meski dia tinggal di Jerman. Yang lain merasa tak rela uang investasi rakyat Jerman dipakai buat mendirikan pabrik semen yang merusak lingkungan hidup negeri lain.
Di media sosial, Anda dicibir karena mempertontonkan kesemrawutan Indonesia di luar negeri. Pembelaan Anda?
Saya tak berbicara sembarangan karena basisnya data. Saya sampaikan semua data temuan warga Kendeng di depan pemegang saham HeidelbergCement. Saya bilang, "Jika nanti pabrik semen berdiri, sawah, sumber air, dan jejak kebudayaan kami akan hilang. Padahal kami sangat bergantung pada tanah dan air untuk sumber penghidupan." l

Gunarti

Tempat dan tanggal lahir: Kudus, 21 April 1974
Pendidikan: Sekolah Dasar Inpres Kaliyoso, Kudus (tidak tamat)
Organisasi: Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (sejak 2007)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus