Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Anjing

3 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita anjing diburu, tulis Chairil Anwar dalam "Catetan 1946". Peristiwa cepat datang dan pergi dan kita terengah-engah mengikutinya. Kita kian tak sempat menengok apa yang telah kita lalui.

Seabad yang lalu, satu kejadian tak segera disusul dan ditimpa kejadian lain. Rekaman tak berjibun cepat. Di abad ke-21, "masa kini" dengan lekas jadi "masa silam" (lihat perubahan teknologi dan dampaknya), dan masa silam langsung lepas ke dalam timbunan ingatan yang membubung, memanjang.

Kita anjing diburu, hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang

Maka apa sebenarnya yang kita ketahui tentang sejarah manusia yang tak kita lihat lengkap--tentang "sandiwara" yang belum jelas ujungnya?

Data saling menyelip di celah jutaan data. Fakta bertambah sengkarut, dan kita sedikit bingung. Seperti dikalimatkan Chairil dalam sajak itu, kita tak tahu adakah "Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang".

Dulu kita terima saja, sejak abad ke-17, Romeo & Juliet seperti yang dipaparkan Shakespeare--dan kita berbahagia dengan itu. Tapi zaman berubah dan kita paham jika dalam sajak Chairil tersirat gelisah untuk tak begitu saja percaya.

Ya, zaman berubah, peristiwa susul-menyusul, desak-mendesak, entah mana sebab mana akibat. Kita makin tahu kita tak tahu. Tahun "1946" adalah contoh yang baik: perubahan mengguncang sampai ke sudut hidup yang tak diperhatikan. Baru setahun sebelumnya, 1945, dua bom dengan daya rusak yang belum pernah dialami manusia meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Perang besar selesai dengan peta dan taklukan yang berbeda. Pada saat yang sama "Perang Dingin" menjalar: perang "ideologi" yang diperkencang teknologi menjangkau jiwa manusia.

Waktu itu pula muncul pelbagai negara dan bangsa. Berjuta-juta manusia mulai memanggul identitas baru, mengikuti geografi politik baru--yang sebenarnya masih genting. Di Indonesia sendiri, perang untuk kedaulatan masih berlangsung. Di Republik yang baru berumur beberapa bulan ini ancaman berdesak-desak di antara peluang di ambang pintu. Tokoh datang dan pergi--dan kita tak bisa membiarkannya begitu saja. Chairil menulis:

Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu

Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat

Bahkan dalam baris yang kedua itu kita rasakan zaman yang berbeda; bahasa Indonesia tak lagi patuh pada kelaziman ejaan: "dicatet" (bukan "dicatat") muncul dalam puisi. Kosakata yang dulu dianggap bagian "bahasa Melayu pasar" kini memasuki bahasa sastra. Hierarki pun guncang, bahkan runtuh.

Tahun 1946: kita masih dalam keadaan "sawan"--seperti anak yang tak bisa tenang, meradang dengan suhu tubuh yang tinggi. Kita "diburu" konflik. Kita belum berada dalam fase yang diidamkan yang akan datang nanti, "jika bedil sudah disimpan".

Maka bagaimana kita harus mencatat siapa yang lahir dan siapa yang tenggelam? Bisakah kita hanya mencatat tanpa menafsirkannya? Bisakah kita tak memberinya makna?

Kita tahu, tragedi Romeo & Juliet penting karena Shakespeare menggubah kejadian di Verona tahun 1303 itu jadi percakapan yang menggugah tentang kesetiaan yang unik dan dendam kelompok yang kejam. Kita tak peduli benarkah kematian anak-anak muda itu terjadi dalam sejarah.

Kita tahu, Gajah Mada jadi relevan karena kita catat ia sebagai penanda pengabdian teguh kepada tanah air--atau sebaliknya, personifikasi ambisi yang brutal. Tak penting benarkah wajahnya tembam dan garang seperti yang digambarkan patung resmi. Bahkan mungkin tak penting benarkah tokoh abad ke-14 itu bukan cuma mithos.

"Tidak, fakta-fakta itulah yang justru tak ada, hanya interpretasi." Kata-kata Nietzsche di abad ke-19 itu kini terngiang-ngiang kembali. Ia bergaung karena ia sebenarnya mengingatkan, tak mungkin lagi ada satu interpretasi. Tuhan, wasit yang tunggal, telah dimatikan manusia. Bagaimana kita akan menentukan, mencatat, apa yang benar dan tidak?

Saya baca lagi sajak Chairil. Bait-bait pertama itu muram, tentang "tangan" yang "akan jemu terkulai". Tapi ajaib: di ujungnya ada tekad. Asah pena, tulis terus, serunya. Justru di atas "kertas gersang", dengan "tenggorokan kering", kita inginkan ia basah.

Dengan kata lain, bila Tuhan bukan penentu tunggal lagi, kita justru bisa tak menggantungkan diri kepada Kebenaran--dalam arti kebenaran yang selesai secara kognitif. Romeo & Juliet hanya tafsir, mungkin dusta, tapi tak sia-sia. Kita akan terus "memburu arti", memberinya makna. Kita bukan hanya anjing diburu; kita anjing pemburu….

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus