Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAMOS Horta, 56 tahun, bergerak- bagai pendulum. Satu kali meng-ayun ke satu sisi, kali berikutnya bergerak ke sisi yang lain. Berta-hun-tahun lalu ketika Timor Ti-mur berjuang untuk merdeka, ia melobi banyak negara untuk mencari dukungan internasional bagi pemisahan negerinya dengan Indonesia. Akibatnya, kala itu ia menjadi salah satu musuh politik utama pemerintah Indonesia.
Tapi, setelah Timor Timur merdeka-, Hor-ta yang mendapat darah Portugal da-ri ayah dan Timor Leste dari ibu itu mencengangkan banyak warga- negeri-nya sendiri. Sebagai Menteri Luar Nege-ri Republik Demokratik Timor Leste, ia berubah 180 derajat. Ketika ba-nyak- orang mendesak PBB mengge-lar pengadil-an internasional bagi pelanggar- hak asasi di Timor Leste, ia justru mengusaha-kan agar hal itu tak terjadi.
Seperti Presiden Kay Rala Xanana- -Gus-mao, baginya masa konfrontasi- dengan Indonesia telah usai. Dia meng-ingin-kan- hubungan yang mesra dengan Indo-nesia. Komitmen ini antara lain ia tunjuk-kan dengan beberapa kali melobi Kong-res AS agar tidak lagi menyudutkan militer Indonesia. Akibatnya malah dia yang di-pojokkan. Itu terjadi sekitar tiga tahun lalu. ”Itulah pertama kalinya saya dikritik Kongres karena membela Indonesia,” ujarnya terbahak.
Rabu pekan lalu, didampingi Duta Be-sar Timor Leste di Jakarta, Arlindo- Mar-cal, Horta bertandang ke kantor Ko-ran Tempo di kawasan Velbak, Jakarta Selatan. Dalam balutan jas hitam dan kemeja putih garis-garis tanpa dasi, pene-rima Nobel Perdamaian 1996 ini selama satu setengah jam bicara kepada tim war-tawan Tempo.
Setelah tujuh tahun merdeka, bagai-ma-na Anda menilai ekonomi Timor Leste?
Berjalan lambat. Pada 2002 saat transisi dari PBB menjadi negara Timor Les-te, kami hanya punya sedikit kerangka hukum. Bagaimana bisa membangun eko-nomi tanpa hukum dan administrasi publik? Makanya, prioritas utama kami sekarang adalah membangun kerangka- hukum. Memang kami tidak punya ba-nyak sumber daya, tapi kami bekerja keras dan sangat optimistis.
Apa dasar optimisme itu?
Banyak sekali. Tahun ini Komisi Uni Eropa menilai kami lebih baik di-ban-dingkan dengan beberapa negara Pasifik atau Afrika. Tahun 2006-2007 ang-garan- pembangunan kami mencapai US$ 234 juta (sekitar Rp 2,1 triliun): US$ 100 juta (Rp 900 miliar) dari donor, sisanya uang kami sendiri. Kami membangun in-fra-struktur, memperbaiki jalan-jalan, membangun jembatan, lapangan udara, dan sekolah-sekolah. Selepas 1999 seluruh sekolah rusak, kini semuanya akan kami bangun kembali agar semua anak bisa bersekolah. Persentase pos pendidikan dan kesehatan mencapai 40 persen- dari anggaran belanja—termasuk- yang paling tinggi di dunia.
Tapi, bersama beberapa negara Asia lain, pertumbuhan ekonomi Timor Leste tampaknya akan bergerak lambat?
Tahun ini pertumbuhan ekonomi men-ca-pai 6 persen, dan tahun depan dipro-yek-sikan 7,2 persen. Memang harga gas dan minyak yang melambung tinggi ikut membawa pengaruh karena, selain mengekspor, kami juga banyak impor. Ta-pi kami sudah siap mengembangkan ener-gi alternatif. Kami menandata-nga-ni- kontrak dengan perusahaan Thailand dan Inggris untuk membangun energi bio-massa. Juga membangun energi angin.
Bagaimana pertumbuhan bisa mening-kat kalau angka pengangguran masih tinggi?
Saat ini pengangguran di Timor Leste ter-golong rendah, sekitar 7,3 persen. Dan jika program pembangunan berjalan- lancar dalam dua sampai tiga tahun ke depan, saya yakin akan turun menjadi nol persen. Banyak penduduk kami adalah petani.
Anda mengandalkan minyak di Celah Timor sebagai penyelamat ekonomi?
Pada 2002 kami menandatangani Per-janjian Laut Timor dengan Australia.- Du-lu persentasenya sangat jelek, 50:50.- Bahkan kemudian turun menja-di 70 persen untuk Australia dan 30 persen- un-tuk Timor Leste. Setelah negosiasi- ulang, kini Timor Leste mendapat 90 per-sen- dan Australia 10 persen. Itu ba-ru untuk- blok Bayu-Undan (terletak di Area A, yang lebih dekat ke Australia—Red). Di ladang Greater Sunrise, yang kandungan- minyaknya lebih besar,- Ti-mor Leste men-dapat 50 persen.- Diperkira-kan eksplorasi minyak dan gas di Greater Sunrise bisa berlangsung hingga tujuh tahun.
Berapa proyeksi keuntungannya?
Sekarang sudah US$ 500 juta hanya da-lam dua tahun. Bagi Indonesia, itu barangkali jumlah yang kecil. Tapi bagi kami yang penduduknya sedikit (sekitar 1 juta jiwa pada 2005—Red), jumlah itu sangat besar.
Kami dengar Timor Leste membuat se-macam Petroleum Fund agar pendapat-an dari minyak tak hanya dinikmati sa-tu generasi?
Ya, kami membuat apa yang disebut- Petroleum Fund—Tabungan Minyak. Di banyak negara, kekayaan minyak dan alam dikontrol pemerintah. Di Timor Les-te, uang hasil minyak tidak meng-alir ke pemerintah, tetapi ke Petroleum Fund. Pemerintah, perdana menteri, se-cara langsung tidak dapat mengguna-kan uang itu meskipun atas nama pe-merintah. Itu uang milik publik, milik rakyat. Penggunaannya berdasarkan per-mintaan badan itu. Badan itu menggunakannya dan dipertanggungjawabkan di parlemen.
Sejauh ini, apa yang sudah dilakukan oleh badan itu?
Membantu anggaran di sektor pendi-dikan, kesehatan, dan pembangunan in-frastruktur. Kami juga menginvestasi-kan uang minyak dalam bentuk obligasi. Sekarang uang minyak itu paling banyak ditanam di American Treasury Bonds, aman dan menguntungkan. Kami dapat bunga 10 persen. Selain investasi masa depan lewat pendidikan, kami sudah punya investasi uang juga. Kami banyak- belajar dari Norwegia dalam pengelolaan sumber-sumber minyaknya. Boleh dibilang, empat dekade ke depan, rak-yat Timor Leste akan punya banyak uang dan lebih aman dari sekarang.
Anda menyinggung soal keamanan. Be-berapa waktu lalu 600 serdadu Timor Leste desersi dan mengamuk. Apa sebe-narnya yang terjadi?
Media-media di Indonesia, yang bia-sanya obyektif, menurut saya beberapa waktu lalu telah membuat berita imaji-ner ha-ha-ha. Kami tidak dilanda krisis. Me-mang ada 600 serdadu yang deser-si, ta-pi mereka tidak melawan dan me-reka me-nyerahkan senjatanya. Jadi, tak ada problem. Sangat damai, juga di perba-tas-an.
Aman? Anda bicara jujur?
Ya, aman dan sangat damai. Lebih da-ri 1.500 warga Indonesia tinggal di Dili dan mereka baik-baik saja. Bila kali-an- pergi ke Dili sekarang, kalian akan menjumpai banyak orang Indonesia di toko-toko, pasar, bank, bengkel sepatu dan lainnya. Saya sendiri sering naik se-peda ke kantor di akhir pekan, sendi-rian tanpa pengawal, bertemu dan bicara dengan masyarakat.
Tapi, mengapa banyak warga Timor Les-te mengungsi ke Nusa Tenggara Ti-mur?
Tak satu pun warga yang melintas. Itu tidak benar. Tak ada pengungsi.
Mengatasi pelintas batas, apa yang dilakukan pemerintah Timor Leste?
Kami sudah menyiapkan kerja sama dengan TNI. Sejumlah perwira polisi Timor Leste akan datang ke Indonesia untuk pelatihan investigasi kejahatan dan taktik kepolisian. Beberapa waktu lalu komandan militer kami telah bertemu dengan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, dan disepakati menyediakan pelatihan khusus. Tapi saya tak tahu di mana.
Betulkah ada juga bantuan diplomatik- pemerintah Indonesia kepada Timor Leste?
Kemarin saya bertemu Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Saya minta Indonesia menyediakan diplomat khusus untuk membantu kementerian luar nege-ri kami dalam persiapan masuk anggota penuh ASEAN. Hubungan yang kuat dengan Indonesia akan membantu kami bergabung ke ASEAN. Kami juga sering melakukan pertemuan dengan menteri-menteri ekonomi mencari masukan untuk mendorong pembangunan Timor Leste. Bukan untuk menyediakan dana, melainkan pembangunan manusia.
Ini soal lain. Belum lama ini hasil- in-ves-tigasi Komisi Penerimaan, Kebe-nar-an,- dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR) dibawa Presiden Xanana ke PBB. Ba-nyak orang Indonesia menilai Xanana me-nikam dari belakang?
Setelah Presiden Xanana Gusmao per-gi ke New York menemui Sekjen PBB, memang terjadi ”konfrontasi” dengan Jakarta. Media-media Indonesia, televisi, semua menyalahkan Xanana. Di Internet ada pamflet ”Hati-hati Senyum Mematikan Xanana” ha-ha-ha. Itu se-mua menyesatkan. Yang kami bawa ke Ko-misi PBB adalah investigasi 24 tahun kekerasan di Timor Timur. Itu bukan cu-ma soal Indonesia, tapi juga pelanggar-an yang dilakukan oleh orang Timor Les-te. Itu juga dokumen internal kami, bukan dokumen PBB.
Di Timor Leste ada juga yang men-desak pengadilan internasional untuk jenderal Indonesia?
Kebanyakan itu LSM dan pihak a-sing, tapi pemerintah Timor Leste tidak. Ba-nyak orang di Timor Leste mendukung kami. Dan itu saya tekankan kepada rak-yat Timor Leste, LSM, dan media massa-. Saya tantang mereka, apakah kalian ingin- pengadilan internasional. Kalau ya, carilah menteri luar negeri yang lain. Saya tak mau melakukannya.
Ini menarik: dulu Anda menentang ke-ras pemerintah dan militer Indonesia, kini Anda berbalik....
Begini, saya paparkan kepada Hassan- Wirajuda dan Menlu Amerika Colin Po-well di Washington, bahwa pemerintah kami tidak setuju dengan pembentukan pengadilan internasional. Lagi pula, siapa yang melobi Kongres AS untuk tidak lagi menekan militer Indonesia? Saya. Berkali-kali saya sampaikan itu hingga saya malah dikritik Kongres AS. Itu terjadi sekitar tiga tahun lalu. Itulah pertama kalinya saya dikritik Kongres AS karena membela Indonesia ha-ha-ha.
Presiden Yudhoyono sempat menunda- pertemuan dengan Presiden Xanana. -An-da- membacanya sebagai ”teguran” dari pemerintah Indonesia?
Presiden Susilo berbuat bijaksana. -Sa-ya tegaskan, kalaupun Deplu tidak -me-nunda pertemuan itu, kami yang akan menunda pergi ke Jakarta. Soalnya-, kalau kami datang waktu itu, seluruh media di Indonesia hanya akan bicara soal laporan ke PBB.
Ini soal Papua. Menurut Anda, apakah Papua bakal jadi Timor Leste kedua?
Tidak. Pandangan saya, juga dalam posisi sebagai anggota parlemen Timor Leste, Timor Timur dan Papua Barat pu-nya latar belakang legal sejarah yang berbeda. Papua Barat berangkat- dari penjajahan Belanda di Hindia yang ter-masuk dalam sejarah pendirian Re-publik- Indonesia. Sedangkan Timor Ti-mur sangat berbeda.
Jadi, persoalan Papua bisa diselesai-kan tanpa mereka harus merdeka?
Indonesia sudah berubah. Bicaralah dengan pemimpin-pemimpinnya sekarang.- Bukan tidak mungkin kalian akan men-dapatkan dukungan yang lebih untuk pemberdayaan ekonomi di Papua Ba-rat, meningkatkan pendidikan masya-ra-kat, dan mengubah situasi yang tidak adil.
Anda percaya itu?
Pengalaman Aceh memberikan kredi-bilitas kepada Presiden Susilo dan Wa-kil Presiden Jusuf Kalla. Mereka sukses menangani Aceh. Sebelumnya, soal Aceh jauh lebih pelik dari Papua Barat. Dulu banyak pemimpin Aceh seperti- Tengku Hasan Tiro tak mau bicara soal Indonesia. Tapi sekarang, seperti dalam sejumlah acara TV, mereka sangat gembira dengan situasi baru di Aceh. Itu con-toh bagus buat Papua Barat. Jika mere-ka mengurungkan kehendak untuk merdeka, mereka bisa bekerja dengan Pre-si-den Susilo dan komunitas internasional untuk menjadi lebih baik.
Bila suatu hari orang Papua meminta suaka ke Timor Leste, apakah Dili akan memberinya?
Saya punya contoh konkret. Kami punya sejumlah orang Aceh di Timor Leste antara 1999 dan 2001. Mereka datang ke sana, saya tak tahu mengapa, sekitar 30 atau 20 orang. Mereka kami tolak. Contoh lain, dua atau tiga tahun lalu, orang Aceh lainnya datang ke kantor saya. Kepada staf saya, mereka tak mengaku orang Aceh tapi pebisnis Indonesia, agar bisa menemui saya langsung. Tapi, ketika bertemu saya, mereka mengaku orang Aceh dan minta visa. Saya tolak. Saya tak peduli siapa Anda.
Itu kan orang Aceh. Bagaimana de-ngan Papua?
Buat saya, kalian orang Indonesia. Sa-ya tidak melihat asal kalian dari Aceh, Jawa, Maluku, Papua Barat, itu tak masalah. Tapi di luar itu, sebenarnya orang melintas batas negara itu terjadi di ma-na-mana. Setiap hari ada. Bisa karena alasan politik atau ekonomi. Bayangkan- berapa banyak orang Meksiko yang me-lintas ke Amerika selama ini? Di sini yang melintas cuma 44 warga dari 200 juta, sudah jadi skandal nasional, ha-ha-ha.
Bagaimana jika orang Timor Leste yang ke Australia?
Saya akan bilang, selamat jalan, se-mo-ga sukses di Australia. Dan bila mendapatkan pekerjaan bagus di sana, jangan lupa kirim uang buat sanak keluargamu. Sederhana saja.
Pemilu semakin dekat, Xanana me-nolak mencalonkan diri lagi. Menurut An-da, siapa yang bakal menggantikan Xanana sebagai presiden?
Xanana, Mari Alkatiri, dan saya sudah mendiskusikan ini tanpa ada kesimpulan. Tapi soal kandidat terbaik, kami punya sekitar 500 orang, ha-ha-ha. Sebenarnya kami semua ingin agar Presi-den Xanana kembali mencalonkan diri. Dia memang sudah mengatakan tidak ingin lagi. Tapi masih ada waktu sekitar- setahun lagi, jadi kami masih punya kesempatan untuk mengubah pendiriannya.
Anda berniat menggantikan Xanana?
Tidak. Saat ini belum ada yang mau mencalonkan diri. Mari Alkatiri juga tidak. Dia lebih ingin dipilih kembali (menjadi perdana menteri) tahun depan. Jadi, kita lihat saja nanti.
Jose Manuel Ramos Horta Lahir: Dili, 26 Desember 1949 Pendidikan:
Karier:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo