Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengeluh Minus Gado-gado

Investor menganggap iklim belum kondusif. Aturan tak jelas, berubah-ubah.

24 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMA tak terdengar, tiba-tiba nama Marzuki Usman menyebar lewat berita mengejutkan. Ber-awal dari beberapa pekan lalu, ketika dia mem-bawa serombong-an pengusaha India bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Menurut Marzuki, sebetulnya para pengusaha cuma berniat sowan. Mantan Menteri Kehutanan itu ikut karena dia Ketua Asosiasi Ekonomi Indonesia dan India. Namun media melaporkan, para pengusaha itu berniat hengkang karena ongkos produksi di Indonesia semakin tinggi.

Mendengar berita itu, Marzuki terke-keh. ”Tidak benar itu,” katanya. Tapi dia mengaku, dalam pertemuan di Istana Wakil Presiden itu, para pengusaha me-ngeluhkan iklim investasi di Indonesia.

Kepada Jusuf Kalla, mereka curhat tentang mahalnya harga listrik dan gas di Indonesia. ”Harga listrik dan gas Indonesia dua kali lipat dibanding Mesir,” katanya. Di Mesir, harga gas hanya US$ 1 mmbtu (million british thermal units). Tapi di Indonesia, harga gas sampai US$ 3,5 mmbtu.

Akan halnya tarif listrik, di Mesir hanya US$ 0,03 per kWh, sementara di Indonesia US$ 0,08 per kWh. ”Mesir juga memberikan fasilitas lain yang menarik,” kata Marzuki. Intinya, para pengusaha India itu mengungkapkan data yang memberatkan usaha mereka, yang kebanyakan bergerak di bidang tekstil.

Industri tekstil Indonesia menempati posisi ketiga di dunia, setelah Cina dan India. Menurut Marzuki, pengusaha India di Indonesia punya investasi US$ 2,5 miliar. Pada dua-tiga tahun mendatang, pertambahannya akan mencapai US$ 250 juta untuk berbagai sektor industri. Saat ini, pemodal India memiliki 71 perusahaan di Indonesia dan menampung sekitar 150 ribu pekerja.

Marzuki khawatir, investasi ini terbang gara-gara iklim yang tidak mendukung. Apalagi, menurut dia, ada kecenderungan pengusaha memindahkan pabrik ke India. ”Di India, buruh lebih murah dan ada insentif dari pemerintah,” katanya.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Chris Kanter, mengakui iklim investasi di Indonesia belum kondusif. Banyak masalah muncul karena aturan tak jelas dan berubah-ubah. ”Tidak ada jaminan bahwa aturan investasi yang berlaku sekarang tidak berubah dalam waktu dekat,” kata Chris.

Prosedur yang berbelit-belit juga dianggap menimbulkan biaya tinggi. Belum termasuk tarik-menarik kepenting-an buruh-pengusaha. Akibatnya, kata Chris, banyak pengusaha memilih Kam-boja, Vietnam, India, atau Cina untuk ber-investasi. Bahkan pengusaha Indo-nesia ikut-ikutan begitu. ”Di negara-ne-ga-ra itu tadi, aturan investasi lebih jelas se-hingga bisa diperhitungkan,” Chris menambahkan.

Meski tersirat ”ancaman” para investor, menurut Sekretaris Umum Badan Koordinasi Penanaman Modal, Yusan, angka investasi di Indonesia tetap meningkat. Sejak krisis ekonomi 1997, angka investasi rata-rata mencapai US$ 10 miliar per tahun. ”Bahkan, investasi 2005 meningkat menjadi US$ 14 miliar,” kata Yusan.

Namun angka investasi ini belum bisa membuka lapangan pekerjaan bagi pengangguran yang mencapai 100 juta orang—belum termasuk penganggur-an tidak tetap yang mencapai 40 juta orang. Angka investasi itu juga belum bisa melampaui masa sebelum krisis, yang mampu mencapai US$ 34 miliar per tahun.

Yusan tetap yakin, Indonesia masih me-narik bagi penanam modal. Potensi sumber daya alam dan jumlah pendu-duk yang besar, menurut dia, merupa-kan daya tarik investasi Indonesia. Ka-rena itu, pemerintah menyiapkan kebijakan melalui Instruksi Presiden No. 3/2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Tujuannya agar penanam modal betah di Indonesia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri prihatin jika investasi lari ke luar negeri. ”Saya sedih jika pengusaha memilih tempat di luar negeri untuk berinvestasi,” kata Presiden ketika meresmikan fasilitas produksi PT Tempo Scan Pacific Tbk di Cikarang, Jawa Barat, Selasa lalu.

Adapun para pengusaha India yang ”digiring” Marzuki tadi, menurut dia, mereka tidak akan hengkang dari Indonesia. ”Mereka telanjur suka makanan Indonesia seperti gado-gado,” katanya.

Multazam, Sunariah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus