Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Eksposur masih terpusat di Industri.
Musik tradisi Indonesia belum digali.
Erwin Gutawa baru meluncurkan album baru bertajuk Symphonesia
Peringatan Hari Musik Nasional baru saja berlalu. Salah satu musikus Indonesia, Erwin Gutawa, meramaikannya dengan meluncurkan album orkestra instrumentalia. Isi album bertajuk Symphonesia itu bukan lagu klasik, melainkan lagu pop hingga dangdut yang digubah ke warna musik orkestra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia juga menuturkan harapannya tentang musik di Indonesia yang masih dalam suasana prihatin karena terkena dampak pandemi corona. Ia mengatakan eksposur musik tradisi masih kurang dan masih terpusat di industri. “Musikus tradisi belum digali. Padahal itu modal kita untuk membentuk karakter. Ketika hal itu digarap, akan mempunyai kekuatan sangat dahsyat,” ujar Erwin kepada Dian Yuliastuti dari Tempo melalui sambungan aplikasi, Selasa, 16 Maret 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tawa yang renyah mengiringi wawancara dengan Erwin. Ia bercerita tentang kebingungannya pada awal masa pandemi hingga melahirkan belasan konser orkestra virtual, proses pembuatan album, hingga keseruan bersama keluarganya. Berikut ini petikannya.
Bagaimana proses pengerjaan album terbaru Anda?
Symphonesia ini sebenarnya sudah selesai tahun lalu. Itu dikerjakan sebelum masa pandemi. Pas selesai, mau luncurin, pandemi datang. Bingung mau ngapain, ya sudah dilanjutkan, mengendap satu tahun. Dari dulu saya selalu pengin menampilkan musik atau lagu Indonesia yang indah untuk publik. Hampir 99 persen yang utama ya lagu Indonesia. Saya bikin apresiasi melalui tribute, salute. Intinya, nilai Symphonesia adalah apresiasi lagu Indonesia yang menurut saya keren dimainkan dengan orkestra tanpa lirik.
Mengapa judulnya Symphonesia?
Sympho dari kata symphonia, yang selalu lekat dengan orkestra. "Nesia" itu lagu Indonesia. Mencoba membikin album lagu Indonesia dengan symphonia. Produsernya Gita (Gita Gutawa, putrinya), dimulai awal 2018. Bersama Gita, kami memilih lagu-lagu Indonesia, yang ngetop dan indah. Pilihan saya dan Gita, secara dekade mulai era 1980, 1990, hingga 2000-an. Lagu-lagu indah itu banyak sekali, tapi kami harus pilih. Banyak yang saya suka, tapi pilihannya delapan, supaya pecah telur dulu, edisi pertama. Nanti jika banyak yang respons dan suka, bisa dibuat series. Album ini harapannya menjadi Indonesian song’s book.
Apa tantangannya dalam membuat album ini?
Tantangannya adalah mencoba bermain dengan orkestra penuh, benar-benar simfoni, semua alat akustik. Bikin orkestrasinya supaya terdengar megah. Bagaimana orkestrasi, dari lagu pop, tidak ada band dan tidak ada penyanyi tapi bisa mantap. Bikin album biasanya kan ada penyanyi, tapi ini tidak. Tantangan lain, ya, ketika mau mengedarkan album itu, pas pandemi. Ini album instrumentalia. Ya, ini cara baru menikmati musik. Orang harus punya fantasi untuk menikmati musik Indonesia. Tidak banyak album instrumentalia. Album yang tidak umum, biasanya yang bikin dari musikus jazz.
Berapa lama persiapannya?
Persiapan dua tahun, 2018-2019. Proses pilih lagunya dan bikin orkestrasinya yang lama. Tapi untuk rekaman, mixing cuma sebentar, dua sesi untuk rekaman tujuh lagu dan satu lagu di Budapest. Rekaman pada 2019 di Wina, Austria, bekerja sama dengan Synchron Stage Orchestra.
Apa pengalaman unik dan seru dalam menyiapkan album ini?
Kalau urusan orkestra dan bikin album di luar bukan pertama.
Mengapa memilih Wina?
Karena ini kiblat untuk orkestra. Ibaratnya, kalau mau musikus campur sari ya di Jawa Tengah, keroncong ya di Solo. Synchron Stage Orchestra ini orkestra terbaik. Mereka juga lagi ngetop, terbiasa main musik dari mana saja. Mereka juga memainkan musik untuk film WandaVision dan beberapa film lain. Serunya lagi, saya ajak mereka menyelami apa yang ada di otak saya. Ada komunikasi batin untuk mengenalkan diri saya, orang Indonesia bisa bikin lagu keren dan mereka jadi perhatian.
Pementasan Chrisye Live by Erwin Gutawa dalam pagelaran musik Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2020 di JIEXPO, Jakarta, Februari 2020. TEMPO/Nurdiansah
Apa keuntungan bekerja dengan orkestra Eropa?
Saya sebagai orang orkestra tentu ingin ada standar, disiplin, dengan sesama teman orkestra, bisa menyerap cara-cara dan ilmu mereka. Saya pindah-pindah orkestra. Kami jadi orchestrator tentu pengin main dengan siapa yang jadi acuan kan. Prinsipnya, kerja dengan mereka mendapat banyak hal untuk menambah mental, keyakinan, ilmu, disiplin, dan bisa cerita ke teman-teman orkestra di sini.
Pasti mahal ya sewa rekaman dan bikin album dengan orkestra Eropa?
Ha-ha-ha, mahal sih iya. Tapi dalam konteks ini, jika dilihat hasil dan waktu ,jadi murah. Cuma dua sesi dengan mereka. Bayangkan, bandingkan jika kerja tiga bulan untuk satu album. Buat saya, harga yang mereka berikan itu wajar. Itu tidak seberapa dibanding jika mereka kerja untuk film Hollywood. Nilainya tinggi kalau melihat hasil dan waktu. Kalau dihitung value, tidak seberapa.
Saya percaya bahwa value itu tidak hanya materi. Enggak cuma pengusaha yang berstrategi, musikus juga harus berstrategi. Paling susah untuk mendapatkan nilai, entah dari masyarakat atau sesama musikus. Bukan bentuk honor, materi, tapi juga kesempatan, kerja bersama, jaringan. Dulu bikin project itu agak nekat, tapi kuncinya harus dilakukan secara maksimal untuk mendapatkan kepercayaan, value tadi. Do your best. Kalau ada tantangan, ambil saja sendiri.
Album diluncurkan bertepatan dengan Hari Musik Nasional. Bagaimana peringatan kali ini?
Ini sudah dua kali memperingati Hari Musik Nasional dalam masa pandemi. Sangat mempengaruhi semua aspek kehidupan. Tahun lalu mungkin masih panik, belum ada apa-apa. Tapi kali ini saya lihat teman-teman mulai menggeliat, ada harapan, mencoba berbuat sesuatu. Mulai mikir dengan protokol kesehatan ketat. Banyak teman punya rencana ini-itu. Ya, setidaknya kita melakukan sesuatu pada masa pandemi ini supaya, ketika pandemi selesai, tidak mulai dari nol. Kita bertahan saat ini.
Apa yang masih harus dibenahi dalam dunia musik Indonesia?
Aspek seni, musik ini besar banget. Mulai dari pendidikan, tidak harus jadi musikus, tapi belajar seni, musik, akan mencetak sumber daya manusia yang unggul, mampu menghargai dan mengapresiasi orang lain. Soal karya, tidak hanya yang tayang di TV, radio. Eksposur musik non-industri juga harus seimbang. Sementara kemampuan musikus sangat beragam. Belum musik tradisi murni atau sudah mulai mencampur (dengan musik modern). Tapi eksposur musik tradisi masih kurang. Eksposur masih terpusat di industri. Keseimbangan itu penting karena potensi itu banyak.
Musik Indonesia sangat kaya?
Kita beruntung, Indonesia ini luas. Musik itu banyak aspek, dari aspek musik industri, tradisi, pendidikan, hingga hak cipta. Banyak bukti, negara yang memikirkan musik atau seni menjadi bangsa yang hebat. Korea, salah satunya. Kalau Indonesia mau mengolah budaya, seninya, wah itu dahsyat potensi Indonesia, itu gila! Apa saja ada. Mau cari musik yang aneh sampai aneh banget, ada di Indonesia. Kemampuan personal jika menunjukkan standar, enggak akan kekurangan. Akan muncul yang gila-gila, tinggal disemai.
Bagaimana dengan masalah hak cipta?
Belum lagi soal HAKI (hak atas kekayaan intelektual), masih jadi PR. Aturan main yang ada belum mengakomodasi. Juga infrastruktur. Musik sekarang selalu bersinergi dengan seni yang lain, mau tak mau tentu membutuhkan infrastruktur.
Kalau soal potensi?
Wah, itu besar. Saya punya program untuk anak-anak, tiap tahun itu bermunculan. Musikus tradisi belum digali. Itu modal kita untuk membentuk karakter. Ketika hal itu digarap, akan mempunyai kekuatan sangat dahsyat. Apalagi jika diseriusi, gila banget.
Saat pandemi, seberapa banyak rencana yang gagal atau tertunda?
Ada yang tertunda, tapi lebih banyak yang batal, ha-ha-ha. Pandemi memang bikin prihatin. Awal Maret itu deg-degan terus. Secara mental, personal, saya tidak tahu mau ngapain, bingung, panik juga. Tapi kemudian ada ide untuk bikin konser virtual. Alhamdulillah, waktu itu banyak yang mikir, gimana konser virtual untuk orkestra, wah susah, 50 orang kan. Tapi kita coba lakukan. Mencoba berproses di rumah. Pada April 2020, konser donasi untuk tenaga medis. Alhamdulillah berhasil. Tidak terasa selama 2020 kami menyelenggarakan 13 kali konser. Jadi ada kesibukan. Hanya bedanya tidak ketemu muka.
Erwin Gutawa di atas panggung Dynamic membawakan lagu-lagu Chrisye dalam pagelaran musik Synchronize Festival 2019 di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta, Oktober 2019. TEMPO/Nurdiansah
Susahkah membuat konser orkestra daring?
Ya koordinasinya via Zoom dan WA. Kalau dalam kondisi biasa, satu pemain orkestra kan akan bereaksi dengan musik orang lain. Ada sinergi. Nah, kemarin sinergi ini tidak dapat. Mereka main musik sendiri-sendiri di tempat masing-masing. Akhirnya saya meminta para pemain membayangkan bersinergi, akhirnya kemampuan itu muncul. Beda banget caranya memang.
Apa suka-dukanya?
Suka-dukanya, ya macam-macam, dan lucu-lucu. Kami benar-benar mengandalkan gawai yang beraneka ragam itu. Saya dibantu teman-teman engineer. Seru, sih, senang. Ada yang cerita, sudah mau lagu terakhir, eh ada "tukang ojol" teriak-teriak di rumahnya, ha-ha-ha.
Jadi setahun kemarin aktif banget, ya?
Ya, senang jadi punya kesibukan. Jalan 13 kali konser, bisa luncurkan album. Alhamdulillah masih diberi kesempatan. Tapi memang beda banget. Batin kita tetap prihatin, tapi bermusik tetap jalan terus. Hikmahnya, konsep konser virtual ini jadi jalan, kemampuan orang berkembang juga. Konser virtual bisa jadi alternatif, pilihan ketika nanti situasi dan kondisi normal. Konser virtual tidak akan bisa menggantikan pengalaman konser di gedung atau lapangan, tapi ada pengalaman baru. Orang akan terbiasa dengan sensasi baru. Ya, niatnya untuk menghibur diri sendiri. Kalau bisa memberi manfaat ke teman, lalu ke penonton, itu membahagiakan yang bikin, yang main dan yang dengar, ha-ha-ha.
Keterlibatan putri Anda, Gita Gutawa, sangat besar dalam kegiatan bermusik Anda?
Oh, banget. Saya bilang, "Untung ada kamu, Git. Ada generasi yang lebih melek teknologi." Konsep virtual itu dari dia, tapi teknis logika ya tetap kami. Tapi logika anak muda merespons ini beda. Gita jadi ujung tombak di belakang layar. Dia teman yang paling berperan, banyak yang diomongkan. Itu berkah untuk keluarga, ya. Jadi enggak bosan, seru, ada warna.
Jadi lebih erat di rumah ya dengan beragam kegiatan?
Kami semua ada di rumah. Selama masa pandemi ini, kami keluarga yang takut pergi. Tidak lebih dari lima kali pergi. Seru-seruan bareng sampai urusan kerja. Tiap orang memang ada aktivitas masing-masing. Tapi karena di rumah, ya kalau ada urusan kantor, enggak perlu tunggu jam kantor, ha-ha-ha. Kapan saja bisa diobrolin. Tiap keluarga pasti tegang dengan situasi ini. Nah, kami dengan kesibukan bersama, menjaga kewarasan bersama.
Apa saja aktivitas seru lainnya?
Iya, itu ngecat ruangan putri saya yang satu lagi. Waktu itu liburan, dia sudah bosan dengan warna yang lama, ya sudah kami ngecat bareng. Kami semua cenderung senang nonton. Meski ada selera masing-masing, kami biasanya nonton bareng acara yang berhubungan dengan seni. Kayak kemarin pengumuman Grammy Award.
Erwin Gutawa dan Gita Gutawa bersama adiknya, Aura. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Masing-masing punya kesibukan berbeda?
Gita lebih senang ikut kursus. Kalau saya, cari tambahan pengetahuan dan referensi musik. Baca buku, tapi bukan novel, lebih ke pengetahuan atau cari tontonan TV yang menambah pengetahuan. Kegiatan rileks lain apa, paling ketawa saja, ha-ha-ha.
Apa rahasia awet muda Anda?
Ha-ha-ha, saya masih muda. Sekarang saya sudah 59 tahun. Usia tanggung ini, dapat vaksin duluan kagak, tapi menjelang. Dibilang lansia juga ogah, ha-ha-ha. Jadi musikus ini bikin banyak ketawa. Saya dikasih profesi yang sejak kecil senangnya minta ampun.
Nama : Erwin Gutawa
Lahir: Jakarta, 16 Mei 1962
Pekerjaan: Komponis, musikus, penata musik
Penghargaan:
- Penata Musik Terbaik versi BASF, 1989
- Penata Musik Terbaik Midnight Sun Song Festival Finlandia, 1992
- Penata Musik dan Produser Terbaik AMI Award, untuk Kala Cinta Menggoda, 1998, 2000
- Penata Musik Terbaik AMI Award, Album Badai Pasti Berlalu, 2000
- Penata Musik Terbaik Album Instrumentalia, 2001
- Penata Musik Terbaik AMI Award, lagu Biarlah Menjadi Kenangan, 2001
- Penata Musik Terbaik versi Majalah News Music, 2001
- Produser Rekaman Terbaik AMI AMI Award, Kembang Perawan, Kala Cinta Menggoda , 2008,1998
- Karya Produksi Terbaik AMI Award, lagu Cobalah untuk Setia, 2004
- Duo/Grup/Kolaborasi Rock Terbaik AMI Award, 2005
- Penata Musik Pop Terbaik, AMI Award, 2006, 2017
- Album Terbaik AMI Award, Kembang Perawan, 2008
- Penghargaan Festival Film Bandung untuk Penata Musik Terpuji Film Bioskop, 2015
- Penata Musik Lagu Anak-Anak Terbaik, AMI Award, 2016, 2017, 2018
- Pencipta Lagu Anak-anak Terbaik, AMI Award, 2017
- Karya Produksi Instrumentalia Terbaik, 2020
- Anugerah Kebudayaan dalam kategori Pencipta, Pelopor, & Pembaru dalam keahliannya sebagai komponis/konduktor, 2020
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo