Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musibah banjir yang menimpa Daerah Khusus Ibu kota Jakarta tahun ini lebih parah ketimbang lima tahun silam. Hanya seminggu hujan deras, sekitar 60 persen wilayah Jakarta sudah tergenang air, sedangkan daerah yang terendam pada 2002 sekitar 50 persen dari luas Jakarta yang sekitar 661,3 kilometer persegi ini.
Badan Meteorologi dan Geofisika memperkirakan hujan lebat telah bergeser menjauhi Ibu kota. Kendati demikian, tidak berarti ancaman banjir juga sudah menjauh dari Jakarta. Daya serap tanah yang kian rendah membuat hujan yang tak terlalu lebat pun bisa merendam Jakarta dan sekitarnya.
Namun, bagi Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, limpahan air dari 13 sungai di wilayah Jawa Baratlah yang justru memberikan andil lebih besar bagi terjadinya banjir ketimbang kondisi di hilir, yaitu Kota Jakarta. ”Kita bicara apa adanya saja,” ujarnya pada Kamis pekan lalu, ketika ditemui Herry Gunawan, I G.G. Maha Adi, Untung Widiyanto, Andi Dewanto, serta fotografer Santirta dari Tempo, di kantornya.
Menurut Anda, apa penyebab utama terjadinya banjir di Jakarta, hulu atau hilir?
Ya hulu. Terjadi kerusakan beberapa kawasan di sana. Mungkin ada kebutuhan pembangunan yang tak bisa dihindari. Akibatnya, resapan air tak bisa berfungsi, sehingga semua digelontorkan ke Jakarta. Ini yang paling signifikan.
Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan menolak penilaian Anda itu.
Mereka merasa risi. Itu kan sudah rumus alam. Namanya sungai pasti mengalir dari atas ke bawah. Kalau kita menyebut hulu sebagai penyebab banjir, Jawa Barat tidak usah sakit gigi. Dibilang seakan kami menyalahkan dia. Tapi kenyataannya memang terjadi kerusakan di hulu. Pembangunan vila, misalnya, lolos karena diizinkan.
Kondisi hulu sebenarnya bukan persoalan baru. Mengapa Jakarta tidak siaga sejak dulu, minimal untuk mengurangi dampak banjir?
Untuk pembenahan sungai, misalnya, itu berarti kita mesti menyingkirkan 70 ribu kepala keluarga yang tinggal di pinggir kali. Selain butuh dana yang sangat besar, pelaksanaannya pun tidak mudah. Kemampuan kami membangun rumah susun (yang bisa digunakan untuk relokasi warga) maksimal 2.000 unit. Bisa butuh waktu 30 tahun lebih untuk semuanya.
Tahun lalu Anda menargetkan warga Kampung Melayu yang menjadi langganan banjir agar pindah ke rumah susun. Kenyataannya tidak berhasil.
Memang tidak mudah. Mereka tidak mau. Padahal, kalau dia kita pindahkan, mungkin di situ juga bisa jadi lahan hijau. Tapi, untuk yang melanggar tata ruang, saya tegas. Contohnya rumah sohib saya sendiri, Fadel Muhammad (Gubernur Gorontalo), saya pangkas (di Menteng pada 2003). Di Kelapa Gading, ada 24 rumah mewah saya robohkan.
Tapi pembangunan mal di pinggir Jakarta yang membeton lahan-lahan kosong jalan terus?
Tidak. Sekarang kami mengarahkan pembangunan ke rumah susun. Tujuannya, memindahkan warga bantaran kali. Mereka akan tinggal dengan sistem sewa. Belajar dari yang dulu-dulu, kalau mereka beli, besoknya bisa langsung dijual. Padahal kita membangunnya dengan subsidi.
Akibat pembangunan fisik, ruang terbuka terus turun. Dalam rencana Jakarta tahun 1965, ruang terbuka hijau hampir 37 persen. Tahun 1984 direvisi menjadi sekitar 26 persen, dan saat ini seharusnya ada 14 persen. Faktanya hanya 9 persen.
Penggunaan lahan tidak mungkin kita hindarkan. Penduduk Jakarta bertambah terus, setiap tahun sekitar 250 ribu. Kalau Anda punya tanah, tidak mungkin saya larang membangun rumah. Yang mungkin adalah kami membatasi penggunaannya.
Kita juga tidak mungkin mengembangkan lahan ke kiri atau kanan karena itu wilayah orang lain. Saat ini yang bisa dilakukan adalah reklamasi pantai untuk menambah lahan, sekaligus meninggikan permukaan tanah agar tidak banjir saat pasang.
Mengapa tidak membeli saja lahan yang ada, kemudian dijadikan area hijau?
Itu sudah kami lakukan untuk menambah jumlah lahan hijau. Contohnya di depan Mal Taman Anggrek. Selain itu, Stadion Menteng juga kami jadikan taman. Saat ini totalnya ada 71 titik. Beratnya, tiap kali ada lahan yang terbuka, selalu ada pedagang kaki lima. Para pendatang itu, setelah bisa makan dengan cara apa pun, termasuk mengoperasikan anak di jalan, lalu mencari tempat tinggal. Mereka mencari ke pinggir kali, tanah negara, atau milik swasta.
Kembali ke soal banjir. Anda menyebut Banjir Kanal Timur sebagai salah satu solusi mengurangi banjir. Bagaimana dengan permukaan tanah di Jakarta yang turun lima sentimeter tiap tahun akibat pengambilan air tanah?
Setiap lima tahun ada revisi tata ruang. Hal seperti ini bisa kita diskusikan. Saya bukan ahlinya, tak bisa menjawab. Setidaknya, untuk hotel dan apartemen yang banyak mengambil air tanah, kami kenakan pajak. Ini supaya mereka beralih ke PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum milik Pemda DKI).
Anda mendengungkan konsep megapolitan sebagai syarat mutlak, di antaranya untuk menyelesaikan persoalan banjir.
Itu konsep tata ruang. Harus terintegrasi. Merumuskan, misalnya di mana lokasi industri atau permukiman. Kita juga bisa membangun situ-situ besar, seperti di Bekasi, Depok, atau Bogor. Kemudian, yang masuk ke Jakarta lewat saluran yang kecil, selanjutnya ditangkap kanal dan dibuang ke laut. Tidak seperti sekarang. Meskipun ada forum koordinasi (Jakarta, Banten, Jawa Barat), kenyataannya tidak efektif. Tidak ada keterikatan. Misalnya, tolong bupati X membuat situ besar. Mereka tidak mau karena biayanya besar, dan mereka juga tidak kebanjiran. Soal transportasi juga bisa diintegrasikan, sehingga 650 ribu unit mobil yang setiap hari masuk ke Jakarta akan berkurang secara signifikan.
Bagaimana tanggapan Gubernur Jawa Barat?
Saya sering ketemu, tak ada masalah. Kalau ada penolakan, itu karena gosokan tokoh tua. Seakan kita (Jakarta) mau mencaplok wilayah mereka.
Letjen TNI (PURN.) H. Sutiyoso Lahir: Semarang, 6 Desember 1944 Karier:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo