Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jutaan meter kubik pasir sudah dikeruk dari bumi Indonesia untuk memperluas negara pulau Singapura. Pasir ini diambil dari perairan Riau, lalu dinaikkan tongkang menuju Singapura. Bukan pasir gratis. Sejumlah orang sudah dibuat kaya dari penjualan pasir ke negeri jiran itu. Sejumlah oknum pejabat, termasuk oknum tentara, menikmati penjualan pasir ilegal ini. Bahkan, karena kebutuhan pasir terus meningkat untuk memperluas Singapura termasuk lapangan terbang internasionalnya, penggalian pasir di Kepulauan Riau merambah ke daratan. Ada pulau kecil yang sudah rata dengan laut. Terumbu karang banyak yang rusak.
Kebijakan pemerintah seperti air di daun talas, terombang-ambing dan tidak ada ketegasan. Penjualan pasir ke Singapura sudah dimulai sejak 1976, seiring dengan tekad negara itu yang memperluas wilayahnya dari semula 580 kilometer persegi menjadi 760 kilometer persegi. Untuk itu dibutuhkan 7,1 miliar meter kubik pasir.
Penjualan pasir secara ilegal pun marak dan tak pernah tersentuh hukum. Bahkan pernah kapal berbendera Belanda mencuri pasir di wilayah perairan Indonesia dengan membawa alat yang mampu menyedot 10 ribu meter kubik pasir dalam sejam. ”Pencurian secara terang-terangan” ini baru dihentikan ketika pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2/2002, yang melarang ekspor pasir laut untuk reklamasi pantai Singapura.
Toh, instruksi presiden itu dianggap angin lalu. Bahkan cukong pasir di Riau membuat instruksi ini menjadi ”angin surga”. Dengan memanfaatkan instruksi itu, harga pasir melonjak dari 0,70 sen menjadi S$ 31. Konyolnya, setelah itu pemerintah membuka lagi keran ekspor pasir melalui Keputusan Presiden No. 33/2002, pada 23 Mei 2002. Hampir setahun kemudian, keputusan ini kembali dianulir. Tapi itu tak ada pengaruhnya, karena pemerintah daerah tetap mengeluarkan izin ekspor.
Tentu saja ketidaktegasan pemerintah ini terus dimanfaatkan oleh cukong pasir. Penjualan ”tanah air” (pasir itu sejatinya dari unsur tanah dan air) terus berlangsung. Nah, baru pada akhir Januari lalu, pemerintah kembali melarang perdagangan ”tanah air” ke luar negeri lewat keputusan Menteri Perdagangan. TNI-AL yang mengawal perairan di perbatasan itu jadi punya payung hukum untuk menangkap tongkang pengangkut pasir. Pekan lalu saja ada empat tongkang pengangkut pasir diciduk Komando Armada TNI-AL Kawasan Barat.
Saatnya pemerintah dan aparat keamanan menjaga tanah air Indonesia agar tidak dijual seenaknya ke negeri lain. Dampak dari penjualan pasir ini bukan saja kerusakan lingkungan, tetapi ada masalah lain yang lebih penting. Dengan bertambahnya wilayah Singapura, batas perairan menurut hukum internasional jadi berubah. Lama-lama perairan Indonesia yang kaya minyak dan ikan akan menciut.
Kalau pemerintah merasa perlu menjual pasir untuk menambah kas negara, ada ribuan meter kubik pasir yang bisa dijual. Keruk saja Sungai Ciliwung, Cisadane, dan beberapa sungai penyebab banjir di Jakarta. Penjualan pasir ini sekaligus menyelamatkan Jakarta dari malapetaka tahunan.
Jika mau pasir yang masih encer, yaitu berupa lumpur, pemerintah Singapura bisa mendapatkannya dengan gratis. Buatlah pipa menuju perairan Sidoarjo di Jawa Timur, dan ambil semua lumpur yang menyembur dari Porong. ”Tanpa mengurangi rasa hormat kami, lumpur ini bisa dibawa ke Singapura untuk memperluas negeri Anda,” barangkali begitu masyarakat Porong, Sidoarjo, yang bersyukur lumpurnya diambil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo