Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI badai krisis ekonomi sudah sepuluh tahun berlalu, perbankan nasional masih tertatih-tatih. Seretnya kucuran kredit menandakan fungsi intermediasi belum berjalan. Dari sisi operasional, bank domestik pun kalah lincah dibanding bank negara tetangga. Tingkat efisiensi bank nasional masih rendah.
Rasio biaya terhadap pendapatan operasional terlalu tinggi. Rata-rata bank di Indonesia memiliki rasio 80-90 persen. Dua dari 10 bank beraset terbesar, Bank Mandiri dan Bank Permata, bahkan memiliki rasio di atas angka itu. Artinya, hampir seluruh pendapatan operasional terkuras untuk biaya operasional. Bank-bank di Malaysia beroperasi dengan rasio 60-70 persen.
Dengan beban seberat itu, program pelangsingan memang tak bisa dihindarkan. Memangkas jumlah karyawan merupakan pilihan tak populer yang sulit dielakkan.Program pensiun dini seperti yang ditawarkan manajemen Bank Permata barangkali cukup efektif untuk mengurangi jumlah karyawan yang melebihi kebutuhan.
Berlebihnya jumlah karyawan Permata merupakan konsekuensi kebijakan pemerintah menggabungkan lima bank swasta—Bank Bali, Universal, Prima Express, Patriot, dan Artamedia. Usaha mengatasi kelebihan ”penumpang” itu mungkin sudah selesai bila DPR menyetujui usulan pemangkasan 2.000 karyawan bank pada 2002. DPR hanya menyetujui pengurangan 950 karyawan. Sebagai pemilik baru saham mayoritas, Standard Chartered Bank wajar saja memilih program pengurangan karyawan. Tentu maksudnya membuat ”kapal” mampu berlari lebih kencang.
Di era persaingan ketat ini, efisiensi menjadi kunci sukses yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itu sebabnya, teknologi modern untuk perbaikan jasa layanan nasabah terus diterapkan. Konsekuensinya, kebutuhan tenaga kerja kian berkurang.
Alhasil, semua usaha dilakukan bank-bank lokal untuk meningkatkan daya saing. Maklum, jumlah bank di Indonesia terlalu banyak. Inilah buah dari kebijakan kontroversial Paket Oktober 1988 yang digulirkan Menteri Keuangan J.B. Sumarlin. Longgarnya persyaratan mendirikan bank dalam ”Pakto 1988” melahirkan ratusan bank dalam waktu singkat. Dampaknya sudah kita rasakan. Industri perbankan langsung roboh dan mewariskan beban utang ratusan triliun rupiah kepada masyarakat ketika badai krisis datang mendera pada 1997.
”Inflasi” jumlah bank itulah yang akan dicoba dibenahi Bank Indonesia melalui cetak biru Arsitektur Perbankan Indonesia. Kalau cetak biru itu berjalan, hanya bank bermodal di atas Rp 80 miliar pada akhir tahun ini dan Rp 100 miliar pada 2010 yang boleh beroperasi. Jika tak bisa memenuhi, harus dijual atau dimerger. Dengan begitu, jumlah bank dalam tiga tahun mendatang diperkirakan tinggal 70-80 buah dari 131 bank sekarang.
Maka dipastikan pemangkasan karyawan masih akan melanda industri perbankan pada tahun-tahun mendatang. Langkah ini agaknya sebuah koreksi yang perlu diambil untuk memperbaiki kesalahan kebijakan masa lalu. Meski bertujuan membuat bank lebih sehat, pemangkasan karyawan harus dibarengi dengan pemberian kompensasi yang layak. Selain memberikan golden shake hand alias uang pisah yang memadai, karyawan juga perlu mendapatkan pelatihan pemanfaatan uang pensiun itu agar tidak terjerumus untuk melakukan investasi di tempat yang salah. Pola win-win solution antara bank dan karyawan akan menyelamatkan industri jasa ini dari guncangan baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo