Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Antara 'Superstore' dan Campur Sari

Sesuai dengan izin yang mereka kantongi, mulai pertengahan tahun ini stasiun televisi baru harus mulai mengudara. Benarkah mereka sudah siap?

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BISNIS televisi mulai berdenyut kencang. Setelah Metro TV mengudara, pemilik lisensi TV lainnya agaknya gatal untuk segera mengikuti langkah stasiun milik pengusaha Surya Paloh itu. Lativi, milik bekas Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief, berancang-ancang akan mengudara pertengahan tahun ini. Diikuti kemudian, sekitar Oktober, Trans TV (Televisi Transformasi Indonesia), milik pengusaha Chairul Tanjung, yang ikut meramaikan dunia pertelevisian nasional.

Pemain di bisnis penyiaran audio-visual bukan hanya mereka. Menyusul kemudian Global TV (Global Informasi Bermutu), yang dikomandani Nasir Tamara. Lalu, masih ada lagi DVN TV (Duta Visi Nusantara) milik pengusaha Sukoyo, yang kabarnya bakal segera berpindah tangan ke Grup Kompas-Gramedia. Nah, bisa dibayangkan betapa hiruk-pikuknya angkasa kita bila semua stasiun televisi itu sudah betul-betul mengudara.

Dari segi kesiapan, semua pengelola stasiun TV itu mengaku sudah siap on air. Maklum, bila hingga Oktober nanti belum juga beroperasi, izin siaran mereka terancam dicabut kembali. Tapi, bila diperhatikan dengan saksama, dari daftar antrean itu yang paling siap adalah Trans TV.

Mereka tidak saja sudah membangun gedung studio di Jalan Tendean, Jakarta, tapi juga telah memberikan pelatihan kepada 200 karyawan. Sebagian malah dikirim ke Multimedia Training Center di Yogyakarta. Dan sejumlah dana pun sudah disiapkan. Pendeknya, "Dari segi sumber daya manusia, Trans TV sudah benar-benar siap," ujar Riza Primadi, direktur pemberitaannya.

Persiapan serius juga dilakukan Lativi. Selain merekrut pegawai, mereka menyiapkan pembangunan menara pemancar di enam kota. "Kami merencanakan mengudara sekitar Juni-Juli 2001," kata Chris Kelana, direktur pelaksananya. Jadwal itu sendiri sesuai dengan batas perizinan yang dikantonginya.

Sebaliknya, Global TV sampai kini masih terlihat adem ayem. Toh, Nasir Tamara, salah seorang direkturnya, tetap optimistis stasiun yang dipimpinnya akan mengudara sesuai dengan jadwal. Ia mengaku bisa menyiapkan semua kebutuhan dalam waktu enam bulan. "Kami akan memakai teknologi converging sehingga semua bisa diedit dalam satu server," kata Nasir, yang sedang berada di Kairo, Mesir, lewat sambungan telepon.

Berapa investasi yang mereka benamkan untuk bisa mengudara? Riza Primadi menyebut pemilik stasiun TV minimal mesti menyiapkan duit Rp 500 miliar. Jumlah itu klop dengan dana yang akan disiapkan Global TV, yang mencapai US$ 50 juta. "Modal sebesar itu," kata Nasir Tamara kepada Gita Widya Laksmini, "berasal dari modal pribadi dan investor dalam negeri." Sementara itu, Lativi cuma menyediakan dana US$ 25 juta, dan US$ 5 juta di antaranya akan digunakan untuk membangun studio.

Biaya mahal itu masuk akal. Ongkos siaran di Indonesia saat ini tak beda jauh dengan di luar negeri. "Setiap jamnya rata-rata menyedot US$ 3.000," ujar Agus Mulyanto, Direktur Utama SCTV. Bila dalam sehari mengudara selama 18 jam, ongkos siarannya sudah mencapai US$ 54 ribu. Dalam sebulan, biaya siaran itu membengkak jadi US$ 1,62 juta. Padahal, biaya itu belum termasuk biaya operasional lainnya serta gaji pegawai.

Tak mengherankan, untuk menutup pengeluaran itu, stasiun TV akan berusaha memperoleh iklan sebanyak-banyaknya. Maka, persaingan memperebutkan iklan diperkirakan akan berlangsung seru. Kue iklan tahun ini memang diperkirakan akan mengalami pertumbuhan signifikan dari tahun lalu, yang cuma sekitar Rp 4,71 triliun. Namun, jatah kue terbesar (sekitar 75-85 persen) tampaknya akan tetap dilalap tiga stasiun besar: Indosiar, RCTI, dan SCTV.

Nah, apa kiat pendatang baru untuk merebut iklan? Riza Primadi dari Trans TV berambisi stasiunnya akan mencaplok sebagian iklan stasiun lama. Caranya? Resep klasik saja: mengikuti isi produk mereka sebagai televisi superstore yang bersifat umum. Pilihan sebagai televisi khusus seperti Metro TV, yang melulu berisi berita, atau Anteve, yang berisi acara olahraga dan anak muda, agaknya bakal sulit menggaet pemirsa ataupun iklan.

Bila dengan cara itu pemasukan iklan masih seret, Trans TV menurut dia sudah dipersiapkan untuk bernapas panjang karena dibangun dengan prinsip efisiensi. Jumlah karyawannya, misalnya, dibatasi hingga 400 orang.

Chris Kelana dari Lativi menyatakan, bila tahun ini stasiunnya mampu menyedot iklan sebanyak 5 persen saja, itu sudah tergolong bagus. Seperti Trans TV dan stasiun lain yang sudah lebih dulu mengudara, kandungan acara Lativi menurut dia juga bersifat umum. Bedanya, sementara stasiun TV lain bersifat superstore seperti toko yang sangat besar, Lativi berupa "campur sari", atau paling jauh seperti supermarket biasa.

Global TV, menurut Nasir Tamara, juga mengambil format umum. Selain itu, mereka akan menampilkan acara hasil kerja sama dengan televisi asing di negara barat dan Asia, misalnya dengan media Mesir, Al Haram, dan TV3 di Malaysia.

Di luar cara itu, Riza Primadi menengarai ada juga pengelola stasiun TV yang menggunakan trik "pokoknya asal mengudara lebih dulu". Persoalan modal yang cekak kemudian akan diakali dengan penjualan saham ke bursa atau mengundang investor asing. Namun, cara tersebut berisiko karena awak dan infrastruktur stasiun TV baru dinilai belum berpengalaman. Maka, tak aneh bahwa pemilik modal lebih suka mengincar televisi yang sudah matang, seperti SCTV atau Indosiar.

Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung, IG.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Pendapatan Iklan TV (dalam miliar rupiah)
SCTV 1.207,9 26%
Indosiar 1.196,7 25%
RCTI 1.163,5 25%
TPI 771,4 16%
Anteve 373,2 8%
Data AC Nielsen (sampai Oktober 2000)