Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUMAT pertama setelah menduduki jabatan Jaksa Agung, kegiatan Hendarman Supandji semakin ketat. ”Waktu saya terbatas,” katanya. Mengenakan baju koko putih, Hendarman baru saja selesai salat Jumat di masjid lingkungan kantor Kejaksaan Agung. ”Saya ganti baju dulu,” ujar lelaki kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 60 tahun silam itu.
Tak lama kemudian panggilan datang. Wartawan Tempo, L.R. Baskoro, Arif Kuswardono, Ahmad Taufik, Muslima Hapsari, dan fotografer Ramdani, diterima di ruangannya. Hendarman sudah bersalin baju dengan safari biru abu-abu, lengkap dengan pin Jaksa Agung di dada kiri.
Ia termasuk salah seorang pejabat yang kariernya tak segera redup. Pada 4 Mei 2005, saat menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, ia ditunjuk oleh Presiden menjadi Ketua Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor). Januari tahun ini seharusnya ia sudah pensiun, tapi presiden memperpanjang tugas Hendarman sebagai pejabat pelaksana Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus). Masa pensiunnya diperpanjang dua tahun.
Saat menjabat Ketua Timtas Tipikor, Hendarman berhasil menyeret Direktur Utama PT Bank Mandiri E.C.W. Neloe dan dua rekannya ke bui. Ia juga mengungkap kasus penyelewengan Dana Abadi Umat di Departemen Agama dan menjebloskan Menteri Agama di era Presiden Megawati Soekarnoputri, Said Agil Husin al-Munawar.
Sesudah dilantik sebagai Ketua Timtas Tipikor, untuk memastikan kesungguhan Presiden dalam memberantas korupsi, Hendarman bertanya kepada Presiden Yudhoyono, ”Seandainya di dalam menjalankan tugas itu saya menemukan keterlibatan teman Bapak Presiden, sahabat Bapak, atau pembantu Bapak, apa yang akan Bapak Presiden lakukan?” tanya Hendarman tanpa basa-basi.
”Silakan jalan terus. Saya tidak pernah akan intervensi,” jawab Presiden, singkat.
Selama bertugas Hendarman menerima 280 laporan perkara. Pada 2 Mei lalu, ia mengaku telah menyetorkan sisa anggaran Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke kas negara. ”Duit milik rakyat. Saya tutup (kembalikan) 2 Mei lalu,” katanya. Selama dua tahun memimpin, tim tersebut telah menggunakan anggaran sebesar Rp 24 miliar. Sedangkan dana yang telah diselamatkan oleh tim ini mencapai Rp 3,95 triliun.
Baru saja masa Timtas berakhir, Dar—begitu rekan-rekan seangkatannya biasa memanggil—disebut-sebut sebagai bakal calon Jaksa Agung. Dan pada Senin pekan lalu, hal yang jadi impian setiap jaksa karier itu menjadi kenyataan. Hendarman menduduki kursi tertinggi di institusi yang sudah digelutinya selama 34 tahun.
Sebagai orang dalam, ia mengetahui borok-borok dan benalu di tubuh kejaksaan. Ia berjanji secara keras akan menindaknya. Ia berpendapat, penegakan hukum cepat berhasil apabila institusi penegaknya juga bersih.
Di ruangannya ia memasang patung kecil Hakim Bao, dewa keadilan dalam kepercayaan Tionghoa, di sebuah meja. Berikut petikan perbincangan Tempo dengan lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, itu:
Bagaimana ceritanya Anda bisa ditunjuk sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Yudhoyono?
Waktu itu hari Jumat. Saya dipanggil Pak SBY membicarakan masalah kasus-kasus yang ditangani oleh Timtas Tipikor. Saya sampaikan semua laporan yang sudah saya kerjakan. Kemudian hari Sabtu saya ditelepon untuk menghadap beliau. ”Dar, pokoknya kamu ke Cikeas siang untuk diterima Presiden di Cikeas, jadinya jam 11,” kata penelepon, entah Pak Sudi Silalahi atau Pak Kurdi Mustofa, saya lupa. Pokoknya, di antara keduanyalah.
Sabtu dua pekan lalu itu, dengan kemeja batik warna merah, Hendarman datang setengah jam lebih awal dari waktu yang diminta.
Di dalam ruangan sudah ada Sofyan Djalil. Terus setelah jam 12, saya masuk lagi ke ruangan tempat Pak Presiden. Beliau sampaikan bahwa intinya saya diminta untuk masuk dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu membantu penegakan hukum.
Apa pesan Presiden Yudhoyono waktu itu?
Pesan beliau agar tidak dilakukan kesalahan dalam penyidikan-penyidikan dari tuntutan hingga penyelesaian perkara. Selanjutnya saya diminta menjaga asas praduga tidak bersalah. Ini yang sekarang tidak lagi menjadi perhatian. Pak Kapolri juga diberi pesan yang sama oleh Presiden. Saat saya keluar dari ruangan, diberi ucapan selamat.
Anda sudah diberi tahu jabatannya?
Tidak, pokoknya masuk ke dalam kabinet. Sebelum keluar saya ucapkan terima kasih karena beliau mau memasukkan saya dalam Kabinet Indonesia Bersatu.
Apakah Anda waktu itu sudah menduga-duga bakal jadi Jaksa Agung?
Ya, feeling saya 75–80 persen menjadi Jaksa Agung. Saya kerja di kejaksaan sudah 34 tahun. Jadi, kalau tugasnya keluar dari itu tentu canggung dan belum tentu saya mau. Tapi karena arahnya sudah ke Jaksa Agung, saya mau dan diam saja.
Setelah diangkat menjadi Jaksa Agung, apa yang diminta Presiden lagi?
Internal kejaksaan diperkuat.
Apa Presiden mengatakan seperti itu?
Ya nggak, itu terjemahan saya sendiri.
Kenapa diterjemahkan begitu?
Saya melihat penegakan hukum itu berhasil bila pelaku penegak hukum sendiri sudah bersih. Nah, saya melihat sifat-sifat Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang baik, jujur, dan bersih belum menjadi darah daging aparat kejaksaan. Itu yang saya pikirkan.
Bagaimana Anda menilai Pak Arman?
Saya lihat Pak Abdul Rahman Saleh sudah meletakkan dasar-dasar itu dalam pembaruan-pembaruan yang dilakukannya. Sangat sayang kalau pembaruan itu menjadi mubazir. Berpijak pada pembaruan itu, saya punya cara sendiri untuk mengaplikasikannya.
Yang sangat menonjol dari gagasan-gagasan yang Anda sampaikan belakangan ini adalah soal reward and punishment untuk kalangan jaksa....
Memang, ada problem di dalam tubuh kejaksaan menyangkut integritas dan cleanliness (bersih diri) sehingga perlu ada punishment yang keras bagi yang bersalah dan reward bagi yang berhasil menjalankan fungsinya sebagai jaksa.
Kenapa begitu?
Sebenarnya sudah ada kode etik profesi, tetapi kode etik profesi itu belum tersosialisasi, terutama sekali yang di daerah-daerah. Ada laporan-laporan bahwa orang-orang kejaksaan daerah-daerah di beberapa provinsi berbuat begini, begitu, (menyimpang maksudnya—Red.) Tapi prosesnya saya ndak tahu, sebab waktu itu bukan bidang saya. Saya hanya merasakan adanya komplain-komplain, ada suatu tuntutan untuk dibenahi, tapi saya nggak bisa bertindak karena waktu itu bukan fungsi saya .
Lalu bagaimana tindakan Anda terhadap mereka?
Saya akan melakukan eksaminasi. Ada jaksa-jaksa yang tidak profesional. Saya akan kasih petunjuk lebih dahulu, saya akan cari tahu apakah ketidakprofesionalannya itu memang lantaran dia tidak mampu atau memang karena ada unsur interest atau kepentingan tertentu.
Apakah pengetahuan seperti itu penting?
Iyalah. Itu kan menghambat keberhasilan penuntutan dan penyelidikan. Saya melihat di daerah-daerah kurang greget penanganan korupsinya.
Kenapa kurang greget?
Perasaan saya karena integritas yang kurang. Saya melihat di kalangan kejaksaan sekitar 80 persennya punya integritas yang tidak baik. Maka, greget saya membenahi ke situ.
Langkah konkretnya apa untuk meningkatkan integritas itu?
Begini, menjelang reshuffle kabinet diumumkan di televisi, saya panggil Wakil Jaksa Agung dan semua Jaksa Agung Muda ke kamar saya. Sebelum mendengar pengumuman itu saya minta kesepakatan. Kalau saya menjadi pemimpin di sini saya akan melaksanakan program-program pembaruan yang sudah dilaksanakan Jaksa Agung sebelumnya—saya minta komitmen.
Setelah diumumkan bahwa Anda menjadi Jaksa Agung?
Saya katakan pada yang hadir agar mari kita lepaskan kepentingan pribadi kita. Saya harus minta komitmen ini, jangan sampai mata saya sudah melihat ke depan, jaksa yang lain masih tolah-toleh. Jangan melihat ke atas, ke belakang. Mari kita berbicara, bukan melalui pikiran, kalau melalui pikiran kan terjadi perdebatan. Tetapi marilah kita bicara melalui perasaan dari hati ke hati.
Apa tanggapan mereka?
Mereka merasakan bahwa perbaikan kejaksaan ke dalam, secara internal, seperti saya sampaikan, itu penting. Maka, nanti perlu ada promosi dan mutasi yang tepat. Biar tidak ada dusta di antara kita. Jangan ada permainan.
Jadi, jaksa nakal atau yang tolah-toleh tidak diberi ampun?
Saya tidak mengatakan seperti itu, tapi harus tegas. Mereka sepakat.
Kenapa kok tidak langsung ditindak saja?
Bagi saya yang penting sepakat dulu, karena filosofi saya itu harus ada tiga hal: harus ada kepastian, harus ada rasa adil, dan kesepakatan sebelum saya menerapkan keadilan.
Setelah dilantik, tindakan apa yang segera Anda lakukan?
Saya akan datang ke daerah-daerah untuk melihat apakah kesepakatan itu benar-benar dipraktekkan. Jangan hanya omong di bibir. Nanti akan saya cek itu.
Lalu apa yang dititipkan Jaksa Agung sebelumnya?
Pak Arman menitipkan sejumlah perkara. Saya menangkap itu adalah hasil perenungan terhadap masalah krusial yang perlu diamanatkan.
Perkara apa saja?
Misalnya masalah pembunuhan Munir dan BLBI (bantuan likuiditas Bank Indonesia) yang diselewengkan sejumlah konglomerat.
Kasus Munir apanya?
Tadi (Jumat pagi), saya ketemu Kapolri, menanyakan sampai sejauh mana perkembangan kasus Munir itu. Begitu selesai ketemu, saya minta Senin ini gelar perkara. Segera kita rumuskan PK-nya (peninjauan kembali). Polri sudah menyusun konsep PK. Nah, Kejaksaan tinggal memperkuatnya. Menyusun fondasi hukum kan harus kuat. Kalau tidak kuat, akan roboh. PK ini kesempatan terakhir, kalau gagal nanti kita dinilai hanya bermain-main.
Soal perkara-perkara korupsi bagaimana?
Saya minta kesepakatan dengan Kapolri bahwa korupsi bukan hanya musuh polisi, bukan musuhnya jaksa, tapi musuh bersama. Mari kita bersatu. Jangan kita menafsirkan sendiri-sendiri.
Kalau perkara bekas Presiden Soeharto bagaimana?
Nah, itu juga kan titipan dari Pak Arman. Perkara Pak Harto jangan diungkit-ungkit lagi, gitu loh....
Kalau gugatan perdatanya?
Gugatannya belum saya pelajari secara mendalam. Ya, satu-satulah, karena itu butuh komitmen. Munir dulu, baru BLBI.
Bagaimana tindakan Anda mengejar koruptor BLBI?
Saya sudah ketemu dengan Menteri Keuangan. Saya bilang ingin serius. Di situ kan ada korupsi dan ada untuk tuntutan ganti rugi. Saya mau menyelesaikannya. Kami perlu bertemu lebih intens agar jangan sampai ada kesalahan dan harus bergerak cepat.
Bagaimana dengan ekstradisi para koruptor atau konglomerat hitam yang ada di Singapura?
Wah, kalau ekstradisi masih dalam daftar tunggu.
Mengenai perkara mobil nasional yang menyangkut Tommy Soeharto?
Oh, itu, sudah saya minta informasi tentang perkara mobil nasional itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo