Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabtu, 5 Oktober 2019, mungkin menjadi salah satu hari istimewa bagi umat katolik di Tanah Air. Pasalnya, pada hari ini, salah seorang imam gereja asal Indonesia, Monsinyur Ignatius Suharyo, resmi dilantik menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus di Vatikan. Umat Katolik di Indonesia sudah sangat lama menanti kehadiran putra bangsa sebagai kardinal baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ignatius, yang kini menjabat sebagai Uskup Agung Jakarta, adalah kardinal ketiga asal Indonesia. Sebelumnya, ada mendiang Uskup Agung Semarang, Justinus Darmojuwono, yang dilantik menjadi kardinal pada 1967; dan Uskup Agung Jakarta periode 1996-2010, Julius Riyadi Darmaatmadja, yang terpilih menjadi kardinal pada 1994.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun kabar gembira itu sebetulnya mendebarkan hati Ignatius. Saat menerima kabar penunjukan dirinya menjadi kardinal pada awal September lalu, pria berusia 69 tahun ini mengaku terkejut dan tidak siap. "Ini kedudukan yang tidak main-main," kata Ignatius saat ditemui Praga Utama, Stefanus Teguh Edi Pramono, dan fotografer Hilman Fathurrahman dari Tempo di kediamannya di kompleks Gereja Katedral, Jakarta Pusat, Selasa dua pekan lalu. "Saya memikirkan tanggung jawab moralnya."
Gara-gara memikirkan hal itulah tekanan darah imam kelahiran Sedayu, Bantul, Yogyakarta, ini melonjak hingga angka 170. Tapi, siap tidak siap, mau tidak mau, Ignatius tak dapat menolak penunjukan yang merupakan hak prerogatif Sri Paus itu.
Berbeda dengan jabatan uskup yang ada masa pensiunnya, maka jabatan kardinal melekat seumur hidup. Kardinal juga tak memiliki "wilayah kekuasaan" layaknya seorang pastor paroki atau uskup. Setelah resmi memakai jubah merah (pakaian kardinal), Ignatius akan bertugas menjadi asisten dan penasihat dekat Paus. Toh, meski begitu, Ignatius menegaskan, ia tetap akan menjalankan tugasnya sebagai uskup di Jakarta, Ordinaris Militer, dan Ketua Konferensi Waligereja Indonesia. "Ke Vatikan kalau diminta saja, tidak sering-sering."
Selain membicarakan soal penunjukkannya sebagai kardinal, dalam perbincangan dengan Tempo yang berlangsung selama hampir dua jam itu, Ignatius turut mengomentari kondisi mutakhir Tanah Air. Apa komentarnya soal revisi Undang-Undang KPK dan Undang-Undang KUHP, serta masalah Papua? Berikut ini wawancaranya.
Respons Anda ditunjuk menjadi kardinal seolah-olah sama dengan waktu Anda ditunjuk menjadi Uskup Semarang pada 1997. Ada semacam keengganan, kenapa?
Cita-cita saya kan jadi pastor paroki. Artinya, melayani umat secara langsung. Tapi cita-cita itu hanya sempat saya jalankan selama sembilan bulan sejak saya dilantik jadi imam pada 1976. Waktu itu pimpinan menyuruh saya melanjutkan studi. Sebagai seorang imam, saya ibaratnya sudah meneken kontrak mati, taat pada pimpinan siapa pun dia, di mana pun saya akan ditugaskan. Ya sudah, saya berangkat studi, lalu mengajar di Yogyakarta. Saya pikir dunia saya akan sesempit dan seaman itu. Tetapi, setelah 16 tahun saya mengajar, Paus menunjuk saya menjadi uskup di Semarang. Waktu itu tidak ada alasan fundamental bagi saya menolak penugasan itu, jadi saya terima.
Memang ada opsi untuk menolak penunjukan itu?
Sewaktu ditunjuk jadi uskup, saya masih diberi kesempatan untuk berdiskusi serta memikirkan, sementara kan saat penunjukan kardinal langsung diumumkan Paus kepada publik. Pengumuman itu tidak bisa diapa-apakan kecuali diterima.
Apakah sebelumnya ada sinyal dari Vatikan bahwa Anda dicalonkan jadi kardinal?
Tidak sama sekali. Namun, lima hari setelah pengumuman itu, pada 6 September, saya mendapat surat resmi dari Paus. Beliau mengatakan pasti umat saya akan merasa gembira mendapat kabar ini, dan pasti ada yang berpikir bahwa kardinal adalah jenjang karier. Paus mengatakan tidak seperti itu, salah. Dalam gereja Katolik tidak ada karier. Paus menjelaskan, Anda diangkat menjadi kardinal karena dituntut untuk semakin menunjukkan komitmen bagi gereja Katolik. Dalam bahasa Latin, Paus menuliskan, pakaian merah adalah lambang kesetiaan dan loyalitas total sampai menitikkan darah. Saya sih paham karena sebagai orang beriman sudah seharusnya begitu ya, hanya diembel-embeli dengan jabatan kardinal itu.
Ada yang berbeda setelah dilantik jadi kardinal?
Enggak ada. Saya masih seperti yang dulu. Secara pekerjaan, tugas utama saya sebagai Uskup Jakarta sampai 2021, lalu Ketua Konferensi Waligereja Indonesia, dan uskup di kalangan TNI/Polri. Dengan catatan masing-masing keuskupan adalah otonom, tidak di bawah kardinal, tidak di bawah Konferensi Waligereja. Mungkin, kalau ada tugas tambahan, saya akan ke Roma untuk rapat. Kardinal adalah penasihat Paus, kalau diminta dan merasa perlu. Jadi nanti sebagai kardinal, kalau saya hadir di daerah lain, itu merepresentasikan gereja universal. Menjadi kardinal itu lebih ke tanggung jawab moral.
Dengan dilantiknya Anda, berarti Indonesia sudah punya tiga kardinal. Seperti apa posisi Indonesia di mata Vatikan?
Ini adalah pengakuan gereja pusat terhadap gereja Katolik di Indonesia. Kami kan setiap tahun mengirim laporan ke sana. Dinamika gereja di sini dikenal di sana. Kalau pejabat-pejabat Vatikan datang ke sini, lihat gereja-gereja penuh, umat begitu terlibat dalam kegiatan gereja, banyak cerita yang susah dibayangkan oleh Vatikan. Di sini gereja hidup sekali. Di sini ada Duta Besar Vatikan, pasti laporan juga ke sana.
Secara lebih umum, ini adalah simbol penghargaan terhadap NKRI. Keberadaan Katedral dan Istiqlal yang berdekatan adalah simbol keharmonisan hidup Indonesia. Apalagi kalau diingat bahwa gereja Katolik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan punya peran besar. Saya selalu katakan kepada umat Katolik bahwa kita mempunyai warisan berharga dari para perintis gereja, yaitu rasa cinta Tanah Air. Sejak 1922, keberpihakan gereja Katolik terhadap orang-orang yang tertindas di tanah air itu sudah dituliskan dan diungkapkan.
Soal keberpihakan terhadap kaum tertindas, sewaktu warga Kendeng dan Rembang melawan pembangunan pabrik semen di daerahnya, Anda hadir di tenda mereka sewaktu berdemonstrasi di depan Istana Merdeka 2016. Ini bentuk dukungan Anda?
Mereka kan sudah menang di tingkat kasasi. Tetapi anehnya pemerintah tidak menjalankan keputusan pengadilan itu. Nah, dalam hal seperti itu, gereja mempunyai posisi jelas, berdiri di pihak yang diperlakukan tidak adil. Seandainya belum ada keputusan dari pengadilan, saya akan memberi semangat kepada mereka. Saya tahu risikonya, meskipun pada waktu itu saya akan difoto dan sebagainya. Saya ingin menunjukkan gereja memberi tempat kepada saudara-saudara yang diperlakukan tidak adil.
Ada banyak kasus ketidakadilan di Indonesia. Kenapa Anda memilih isu perlawanan warga Kendeng dan Rembang?
Saya kan dulu di Semarang, jadi saya tahu Kendeng dan Rembang itu bagaimana dan keadaan warganya seperti apa. Saya kenal dengan Mas Gunretno (pemimpin aksi penolakan warga Kendeng). Setiap kali dia datang ke Jakarta, dia kontak saya. Datang ke sini diskusi. Waktu itu dia memberi tahu saya bahwa dia sedang ada di depan istana. Sebagai kenalan, saya menyambangi, itu saja. Yang penting dalam hal ini bukan soal keberadaan saya di sana. Yang harus dilihat adalah bagaimana gereja Katolik berpihak pada kebenaran. Seperti Romo Magnis kan, sering kali datang ke mana-mana, artinya beliau sebagai wakil gereja. Karena beliau yang dikenal, beliau juga kalau bicara sangat ilmiah dan kontekstual. Tidak harus saya.
Bagaimana Anda memandang soal ketidakadilan terhadap orang Papua dan kondisi di sana belakangan ini?
Gereja Katolik posisinya jelas, satu pasti mendukung pemerintah. Tetapi tidak semua yang dilakukan pemerintah diandaikan sendirinya baik. Bahkan ketika gereja melihat ada sesuatu yang tidak baik, gereja pasti akan hadir membela. Contoh konkretnya, sewaktu pemerintah membangun jalan Trans Papua yang malah merugikan warga asli. Pembukaan jalan itu bagus, akses jadi lebih mudah. Di Nduga, ada salah satu desa yang lima tahun lalu seluruh warganya terkena kusta dan tidak ada sekolah.
Ketika jalan dibuka, penduduk setempat pada lari ke hutan, siapa yang membeli tanah di sekitar jalan? Bukan orang Papua. Maka ke sanalah seorang imam dari keuskupan Agats dan membela mati-matian warga di sana. Imam di sana melakukan advokasi bekerja sama dengan komunitas peduli keuskupan Agats. Mereka juga membantu semua penduduk yang kusta untuk sembuh. Ada tiga suster yang hidup bersama warga di sana.
Menurut Anda, bagaimana seharusnya sikap pemerintah di Papua?
Pemerintah harus paham pola pikir warga di sana berbeda. Saya ambil contoh saat pengobatan kusta di Nduga. Kusta itu kan sebetulnya tidak sulit disembuhkan. Kalau Anda makan obat selama enam bulan, Anda akan sembuh. Tapi orang sana ndak ngerti sembuh itu apa. Maka suster yang datang ke sana bilang, kalau Anda makan obat ini selama enam bulan, Anda bisa kembali ke hutan mencari sagu.
Konsepnya begitu, harus ada orang yang mengikuti cara berpikir dan menemani mereka. Dalam waktu 4-5 tahun, dua tahun lalu saya ke sana, kusta hilang. Sisa-sisa luka pada mantan penderita sih ada, tapi penyakitnya hilang. Romo yang ada di sana membela mati-matian supaya penduduk asli tidak menyingkir ke hutan dan kembali ke jalan. Bersama-sama dengan komunitas peduli keuskupan Agats membeli ratusan hektare tanah untuk warga, membangun sekolah dengan konsep yang disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan warga. Romo Hendri dari Agats.
Apa komentar Anda terhadap kondisi di Papua saat ini?
Kalau saya ditanya, jelas, Papua itu masuk ke dalam wilayah NKRI. Tapi yang tak kalah penting, menurut saya, pemerintah daerah di sana memikirkan penduduknya apa enggak? Ini berat sekali, menjalankan otonomi khusus semuanya harus orang asli sana, tidak semuanya siap untuk jadi pemimpin. Waktu Uskup Jayapura Leo Laba Ladjar diundang Jokowi, ditanya bagaimana sebaiknya Papua? Jawabannya sederhana, Pak Presiden tolong para kepala daerah di Papua diajari menjadi kepala daerah yang baik, itu jawabannya. Tidak semua tidak baik ya, saya kenal ada beberapa kepala distrik yang sangat baik.
Saya yakin pemerintah daerah di sana menjalankan tugasnya dengan baik. Kalau ada orang yang mempunyai hati seperti para suster dan Romo Hendri yang tinggal bersama para warga dan mencoba memberikan yang paling baik bagi masyarakat, mungkin dalam jangka waktu tertentu, kemarahan dan perasaan direndahkan akan diobati luka-lukanya.
Dalam melakukan kritik terhadap pemerintah, gereja Katolik lebih banyak melakukannya secara simbolik ketimbang frontal. Seperti saat Anda hadir di tenda ibu-ibu Kendeng…
Susah menanggapinya, tapi ada satu-dua catatan. Semestinya tindakan-tindakan politik seperti itu yang menjalankan bukan orang-orang seperti saya. Dalam gereja Katolik itu kan ada tiga komponen. Kalangan hierarki, yakni para uskup dan pastor; kalangan religius ada para suster, biarawan, dan biarawati; lalu kaum awam atau umat.
Kalangan hierarki itu gerakannya seharusnya hanya di sekitar prinsip-prinsip kesusilaan dan moral ajaran gereja. Dia omongannya hanya di situ. Ya, kalau dia mau kritik, ya ngomong, tapi tidak sampai turun ke jalan, tidak masuk ke DPR. Biarawan dan biarawati juga sama. Nah, yang punya tanggung jawab amat besar itu sebetulnya kaum awam. Dalam istilah gereja, tugas mereka menyucikan dunia lewat perjuangan politik, ekonomi, apa pun. Itu wilayah kaum awam yang memang mempunyai panggilan itu, sehingga sebetulnya langsung bertindak secara politis itu bukan wilayah-wilayah orang seperti saya.
Bagaimana standing position gereja Katolik terhadap revisi UU KPK dan UU KUHP?
Saya tidak bicara mendukung atau menolak. Jawaban saya standar: apa pun yang terjadi, pemberantasan dan pencegahan korupsi harus terjamin. Itu statement moral. Kalau menolak atau mendukung itu statement politik. Dan kembali lagi, politik bukan wilayah saya, melainkan kaum awam: ahli hukum, ahli tata negara yang harus menganalisis undang-undang itu. Tapi, soal kepastian korupsi harus dicegah dan diberantas, itu seruan moral.
Soal demonstrasi mahasiswa yang meluas di mana-mana?
Harus jelas dulu apa yang diperjuangkan. Kalau misalnya yang diperjuangkan adalah hak-hak kaum perempuan di dalam rencana UU KUHP, gereja pasti mendukung. Karena dalam RUU itu perempuan didiskriminasi. Gereja lewat kaum awam memperjuangkan revisi dalam rumusan RUU itu. Tapi, kalau saya yang berbicara, setiap pasal dan ayat harus memastikan bahwa hak asasi manusia dijaga, tidak ada diskriminasi. Hanya sampai di situ.
Apakah kalangan gereja dilibatkan saat pemerintah menyusun peraturan atau undang-undang?
Di Konferensi Waligereja, ada seorang romo yang juga pengacara. Kalau ada UU yang mau dibicarakan, biasanya Konferensi diundang untuk memberikan masukan, seperti waktu ada UU Pesantren, tim hukum konferensi diundang menyampaikan pendapat. Yang secara sangat intensif ikut merumuskan waktu Surat Keputusan Bersama 2 Menteri, perwakilan dari Konferensi, Ibu Maria Farida, yang kemarin menjadi anggota Mahkamah Konstitusi. Tapi yang terakhir-terakhir ini (revisi UU KPK dan KUHP) saya tidak dengar ada undangan.
Kabarnya, Anda juga sangat anti-rokok, sampai-sampai banyak pastor di Keuskupan Jakarta yang agak "menghindari" Anda untuk persoalan satu ini?
Saya tidak anti-rokok, yang saya tidak senang adalah orang yang tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya. Rokok itu hak asasi, yang merokok silakan merokok di tempat yang ditentukan. Itu saja. Tapi sikap saya soal pastor yang merokok jelas. Sudah dibuktikan secara statistik bahwa di Jakarta itu romo-romo muda yang merokok meninggal karena serangan jantung.
Risetnya ada banyak, di sana terlihat siapa saja yang meninggal gara-gara rokok. Bahkan ada yang sudah dipasang ring dan dilarang oleh dokter, tapi tetap merokok. Ada sekitar 12 orang yang sudah meninggal gara-gara rokok. Ada dua orang yang baru saja menjalani operasi bypass, usianya masih muda, gara-gara rokok. Kan operasi itu biayanya tidak murah. Siapa yang mau membiayai romo-romo ini? Memangnya gaji mereka cukup? Kan pakai uangnya umat. Kalau mereka tidak sakit kan uangnya bisa disumbangkan ke saudara-saudara yang membutuhkan. Kesadaran semacam ini yang seharusnya mereka miliki.
IGNATIUS SUHARYO HARDJOATMODJO
Tempat, Tanggal, Lahir
Sedayu, Bantul, Yogyakarta, 9 Juli 1950
Tahbisan
- Ditahbiskan:
26 Januari 1976 oleh Justinus Darmojuwono
- Konsekrasi:
22 Agustus 1997 oleh Julius Darmaatmadja
- Menjadi kardinal:
5 Oktober 2019 oleh Paus Fransiskus
- Peringkat:
Kardinal-Imam
Posisi sebelumnya
- Administrator Apostolik Bandung (2010-2014)
- Uskup Agung Semarang (1997-2010)
- Wakil Ketua I Konferensi Waligereja Indonesia
Almamater
- Universitas Sanata Dharma
- Universitas Kepausan Urbaniana
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo