Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Muhammad Khan mencuri perhatian setelah menyabet Piala Citra 2019 sebagai aktor terbaik dalam film Kucumbu Tubuh Indahku besutan sutradara Garin Nugroho. Dalam Festival Film Indonesia (FFI) yang digelar pada 8 Desember 2019 itu, Khan menyingkirkan nama-nama populer. Ada Abimana Aryasatya (Gundala), Lukman Sardi (27 Steps of May), Reza Rahadian (My Stupid Boss 2), dan Ringgo Agus Rahman (Keluarga Cemara).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia baru pertama kali bermain film panjang, yang sempat menuai kontroversi dan bahkan peredarannya dilarang di beberapa tempat. Sebelumnya, lulusan Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini lebih banyak bermain di teater dan film pendek. Selain Khan, Kucumbu Tubuh Indahku menyabet tujuh penghargaan lain, antara lain Sutradara Terbaik dan Film Panjang dengan Cerita Terbaik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan lalu, 6-8 Maret, pria berusia 28 tahun itu tampil sebagai salah satu pemain drama musikal Belakang Panggung. Seolah-olah menjadi otokritik produksi karya seni, drama ini bercerita tentang kekerasan seksual di kalangan seniman. "Film Kucumbu Tubuh Indahku dan Belakang Panggung itu mewakili idealisme saya dalam berkarya," kata Khan kepada Arkhelaus Wisnu dan fotografer Nita Dian dari Tempo, di kawasan Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu.
Menurut pengidola Nabi Muhammad dan aktor Bollywood, Shah Rukh Khan, ini, menjadi seniman dan aktor adalah cara berempati dan menurunkan ego sebagai manusia. "Dengan belajar keaktoran juga, sebenarnya saya belajar cara menurunkan ego."
Bagaimana awal keterlibatan Anda dalam drama musikal Belakang Panggung ini?
Itu berawal dari pertemuan dengan Marissa Anita pada malam nominasi Festival Film Indonesia. Ngobrol-ngobrol, dan dia cerita sedang menggarap dan menggagas drama musikal Belakang Panggung. Dia menawari saya untuk terlibat.
Bagaimana respons Anda saat itu?
Saya tertarik dan saya langsung ikut casting. Saya seneng banget karena memang sudah lama enggak main teater. Terakhir mungkin sekitar dua tahun lalu. Cerita drama ini juga menarik. Ini pertama kali aku bermain dengan konsep drama musikal.
Cerita dalam drama ini berangkat dari kisah Rama dan Sinta. Apa yang membedakan cerita Belakang Panggung dengan cerita Ramayana pada umumnya?
Kalau Ramayana, berbicara tentang kisah pewayangan pada umumnya. Kalau Belakang Panggung, tokoh utama bernama Rani memerankan Sinta, dan dalam perjalanannya mengalami kekerasan seksual yang seharusnya tidak terjadi dalam proses seorang seniman. Jadi, yang menarik dari cerita ini adalah seperti ada drama dalam drama.
Anda memerankan tokoh Andri Wijaya. Bagaimana penokohannya?
Penokohan dan perannya memang tidak terlalu sulit. Ada kendala di bagian musikal, karena saya tidak memiliki background pendidikan musik yang kuat, sehingga sangat susah ketika saya harus bernyanyi dengan suara yang bukan asli suara saya. Saya harus bersuara seperti kakek-kakek atau suara seorang Rahwana yang keras dan kasar. Selebihnya cukup menarik karena, sebagai Andri Wijaya, saya juga berperan sebagai kakek, Rahwana, sebagai Rama juga, dan terakhir keluar sebagai rakyat.
Anda menyabet gelar aktor terbaik FFI lewat film Kucumbu Tubuh Indahku. Untuk Anda, apakah ada perbedaan ketika bermain teater dan film?
Sebenarnya bermain teater bukanlah hal baru buat saya. Sejak di sekolah menengah atas, saat itu umur 15 tahun, saya sudah main teater. Sekitar tiga tahun main untuk kelompok Teater Biassukma di SMA (SMA Negeri 1 Jepara). Lalu saya memutuskan untuk lanjut sekolah di jurusan teater di ISI Yogyakarta. Pendidikan teater saya tempuh selama 6,5 tahun. Jadi, saya memang lahir dari seni teater.
Bermain untuk teater dan film sebenarnya tidak jauh berbeda. Kalau di teater, bermain sekali waktu pertunjukan. Ketika pentas, emosinya lebih menyatu dan tidak terputus-putus. Kalau di film, terkadang harus punya shortcut untuk masuk ke adegan. Di film, banyak adegan yang di-cut. Namun, secara proses, baik drama maupun film hampir sama. Mungkin hanya soal proyeksi di depan kamera tidak sebesar proyeksi di atas panggung.
Langkah belajar teater sepertinya mulus….
Sebenarnya yang mendukung aku masuk teater itu hanya ibuku. Respons keluargaku yang lain kurang begitu mendukung. Banyak yang minta saya jadi pegawai negeri. Akhirnya, di keluarga saya, yang menjadi aktor hanya saya sendiri.
Dari mana Anda mendapatkan minat untuk menjadi seorang aktor?
Minat seni peran itu saya dapatkan ketika saya berusia 10 tahun. Saat itu saya menonton film Shah Rukh Khan. Setelah melihat itu, saya punya keinginan menjadi aktor juga. Maka, sejak saat itu saya mulai banyak menonton film-film Shah Rukh Khan. Itu berpengaruh ketika di SMA, saya memutuskan untuk masuk teater. Dan saat kuliah, aku ambil seni teater.
Apa yang Anda dapatkan dari pendidikan teater?
Pendidikan di ISI Yogya sangat berpengaruh buat saya. Itu seperti bagian terbesar dalam perjalanan karier saya sebagai seorang aktor. Selama 6,5 tahun itu, saya benar-benar berfokus mempersiapkan diri sebagai seorang aktor dan saya sangat bersyukur berada di tempat itu. Saya mendapat kesempatan belajar. Saya belajar olah tubuh, olah vokal, dan olah rasa. Saya bertemu dengan Rukman Rosadi, dosen keaktoran. Dia juga yang menjadi mentor dalam saya mengasah akting dan yang membimbing saya untuk benar-benar siap sebagai seorang aktor.
Siapa yang menjadi inspirasi Anda dalam berkesenian?
Yang paling berpengaruh dalam keaktoran saya yang pasti Shah Rukh Khan. Dia orang pertama yang menginspirasi saya untuk menjadi seorang aktor. Kemudian, saya bertemu dengan Rustam Ekajalu, dia pelatih teater saya di SMA. Dari dia, saya jadi tahu ada jurusan teater di ISI Yogyakarta. Kemudian, saya bertemu dengan Mas Rukman Rosadi. Dia yang berperan betul menjadikan saya aktor. Sekarang kami menjadi partner mengajar kelas akting di Salihara. Ketika Mas Rosa mengajar, saya menjadi asistennya. Ketika ada masalah keaktoran, saya selalu bertanya, selalu curhat. Kalau ada masalah keaktoran, saya selalu lari ke dia.
Kucumbu Tubuh Indahku garapan Garin Nugroho menjadi film yang membawa Anda meraih gelar aktor terbaik tahun lalu. Film ini menuai kontroversi di Tanah Air. Apa yang sebenarnya terjadi?
Menurut saya, yang menyebabkan film itu jadi kontroversi adalah trailer-nya. Trailer-nya memang tampak itu seperti film gay atau LGBT. Padahal film itu bukan mengarah ke situ, melainkan lebih memperlihatkan perjalanan hidup seorang penari. Kalau kita cek lagi di Google, film itu kan bergenre drama/LGBT. Nah, yang sebenarnya memberikan genre film itu adalah Venice International Film Festival di Italia. Film itu tayang premiere di sana. Kalau di Indonesia, bisa saja kami bikin genrenya drama saja, yang mungkin akan lebih aman.
Bagaimana menanggapi kontroversi yang terjadi pada film itu?
Saya dan anggota tim lain enteng saja menanggapi kontroversi film itu. Kontroversi itu malah yang menarik, karena bisa membuka ruang dialog publik dan pembuat filmnya.
Kucumbu Tubuh Indahku dan Belakang Punggung sepertinya mau tidak mau dikaitkan dengan persoalan seksualitas. Apa yang menjadi kegelisahan Anda?
Maraknya kasus pelecehan seksual baru-baru ini cukup memprihatinkan. Menurut saya, sih, pelecehan seksual tidak seharusnya terjadi. Seharusnya, sebagai manusia, kita bisa melihat seseorang sebagai person, bukan sebagai obyek seksual. Sayangnya, itu tidak terjadi. Kalau dilihat, mengapa pelecehan seksual itu terjadi, karena kita sebagai manusia belum bisa melihat manusia lain sebagai manusia. Kita hanya melihat orang lain sebagai obyek seksual. Nah, kita itu harus mengubah mindset kita sebagai manusia dulu.
Dalam beberapa kesempatan, Anda mengatakan ingin menjadi aktor yang membuka pikiran tentang keberagaman dan kemanusiaan. Apa maksudnya?
Sebagai seorang aktor, kita harus menerima keberagaman manusia. Artinya, kalau saya membatasi cara pandang saya terhadap manusia, secara otomatis saya juga membatasi kemungkinan atau range saya dalam berakting. Misalnya, kalau saya sudah enggak suka dengan satu jenis orang, saya akan sangat kesulitan memainkan peran orang itu karena, dalam pikiran, saya sudah menolak karakter itu.
Nah, tugas saya sebagai aktor itu harus bisa menerima manusia dengan berbagai jenis karakter itu sebagai sebuah obyek atau sebagai manusia yang berdiri sendiri. Kita enggak perlu nge-judge. Kalau menemukan sisi buruknya dia, kita harus bisa menemukan sisi baik manusia tersebut. Kita harus bersikap obyektif sebagai seorang aktor dalam memerankan berbagai karakter manusia.
Film Kucumbu Tubuh Indahku dan drama Belakang Panggung mewakili idealisme Anda dalam berkarya?
Ya, jelas. Yang pasti, film Kucumbu Tubuh Indahku dan Belakang Panggung itu mewakili idealisme saya dalam berkarya. Menurut saya, seorang seniman harus bisa menaruh idealismenya dalam berkarya.
Apakah Anda membuka kesempatan menjadi aktor untuk film-film yang lebih populer atau komersial?
Wajar kalau seniman menaruh idealismenya, tapi saya juga enggak menutup kemungkinan akan bermain di film yang memenuhi selera pasar. Buat saya, yang paling penting itu adalah karakter. Pertama, karakter tokoh yang akan saya mainkan itu menarik atau enggak. Kedua, soal story-nya. Saya selalu punya pertimbangan terhadap karakter tokoh dan story-nya.
Apa rencana Anda ke depan?
Saya tetap berkarya sebagai seorang aktor kira-kira 10 tahun ke depan. Setelah itu, saya ingin menjadi sutradara. Saya ingin melahirkan karya-karya yang menginspirasi banyak orang, yang enggak cuma menghibur, tapi juga bisa membuat orang itu merasa melakukan hal yang lebih baik setiap hari. Saya juga concern dengan pendidikan akting. Ilmu akting ini bagus sekali diajarkan, bukan hanya untuk menjadi seorang pemain film, tapi juga bisa mengajarkan orang berempati.
Muhammad Khan: Saya Bisa Saja Main Film Sesuai Selera Pasar
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo