Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Helsinki, namanya akrab di telinga semua orang. "Presiden Ahtisaari? Dia orang baik," begitu jawaban spontan seorang sopir taksi. Sejak lima tahun lalu, Martti Ahtisaari, 68 tahun, sebetulnya sudah turun dari kursi orang nomor satu di Finlandia, negeri yang rimbun cemara itu. Tapi sampai sekarang, mungkin semacam penghormatan bagi politisi gaek itu, orang masih memanggilnya Tuan Presiden.
Di Government Banquet Hall, yang hanya berjarak setengah kilometer dari Istana Presiden Finlandia, Ahtisaari menjadi saksi perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, Senin pekan lalu. Inilah puncak dari dialog damai lima putaran, yang ditengahi oleh Ahtisaari selama setengah tahun, bersama Crisis Management Initiative (CMI), badan yang ia pimpin. Dia memang akrab dengan pergaulan politik global, dan menyebut dirinya sebagai "pegawai bagi warga sipil internasional".
Lahir pada saat Perang Dunia Kedua meletus, Ahtisaari merasakan getirnya konflik politik. "Saya harus menjadi pengungsi di negeri sendiri," ujarnya. Dia lahir di Karelia, wilayah pinggiran Finlandia yang pernah diduduki Uni Soviet. Di sana Ahtisaari menghabiskan masa kecilnya menjadi pengungsi bersama 400 ribu warga setempat. Ayahnya, seorang militer Finlandia, mengungsikan keluarganya dari kota ke kota. Mereka akhirnya menetap di Oulo, satu kota kecil tempat Ahtisaari bersekolah sampai lulus dari universitas.
Mungkin karena pengalaman pahit itu, dia sangat peka dengan konflik. Sepanjang kariernya sebagai diplomat, Ahtisaari terjun ke berbagai negeri yang bergolak, dari Afrika sampai Eropa Timur. Sebagian besar berkaitan dengan usaha perdamaian atau pekerjaan kemanusiaan. Dia pernah menjadi duta besar di Tanzania, dan bekerja sebagai pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam program pemusnahan senjata milik IRA, kelompok pemberontak Irlandia Utara yang telah berdamai dengan pemerintah Inggris itu, Martti Ahtisaari duduk sebagai pengawas independen.
Banyak yang tak menduga, GAM yang angkat senjata melawan Republik sejak 1976 itu bersepakat damai lewat dialog yang relatif singkat. Tentu, perjanjian itu tak cukup di atas kertas. Lalu, apa saja titik rawan dari perdamaian di Aceh itu? Di sela waktunya yang padat, Selasa pekan lalu, Ahtisaari menerima wartawan Tempo Nezar Patria di kantor CMI, di satu gedung tua di Jalan Pieni Roobertinkatu 13, Helsinki. Di daun pintu di lantai tiga, ada tulisan "Office of President Ahtisaari". Dari sinilah, "Tuan Presiden" mengatur diplomasinya ke pelbagai penjuru dunia.
Apa beda perundingan Aceh dengan negosiasi sejenis yang pernah Anda tangani sebelumnya?
Saya pikir perundingan ini agak berbeda. Kita mencari celah sempit dari kemungkinan otonomi sebagai basis dari perundingan. Itulah pendekatan umumnya. Kami tak mencari alternatif lain. Posisi pemerintah sangat jelas, hanya akan mau bicara tentang otonomi khusus, sementara GAM bicara tentang self government. Tapi pada akhirnya kita bicara tentang Aceh, yang merupakan bagian dari Indonesia.
Dialog ini berlangsung relatif cepat, hanya lima putaran, sampai penekenan. Apa resepnya?
Saya kira waktu bukan satu-satunya yang membuat dialog berhasil atau tidak. Yang paling penting adalah kemauan politik. Sejak awal saya katakan kepada kedua pihak, kita harus sepakat bahwa tak ada yang disetujui sebelum semua disepakati (nothing is agreed before everything is agreed). Ini memang sedikit mencemaskan, dan juga sulit bagi media, karena kami hanya bisa menyampaikan sedikit saja setelah perbincangan itu dilakukan. Kami hanya bisa menyampaikan atmosfer dialog, tapi tidak prosesnya.
Sebenarnya, dari siapa prakarsa perjanjian damai ini datang?
Saya bertemu dr Farid Husain (bekas Deputi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat-Red.) pada Februari tahun lalu. Inilah awal keterlibatan saya.
Siapa yang mengenalkan Anda kepada Farid?
Juha Christensen (seorang peneliti dan pengusaha asal Finlandia, yang dekat dengan Farid sejak kasus konflik Poso-Red). Juha saya kenal melalui seorang teman. Teman saya itu menelepon saya pada satu hari Sabtu. Dia bilang, apakah saya bisa bertemu Juha Christensen dan Farid Husain besok. Karena dia teman dekat, saya bilang "Ya, mari ngobrol sambil minum kopi." Dan kami pun berbincang selama berjam-jam. Lantas, sekitar dua hari sebelum Natal tahun lalu, Juha mengatakan kepada saya bahwa kedua pihak siap bertemu.
Jadi, itu hanya tiga hari sebelum tsunami menghantam Aceh?
Ya, sebelum saya setuju, saya harus tahu apakah semua siap ke Helsinki untuk menerima saya sebagai mediator. Pertama, tentu saya harus bertemu dengan perwakilan GAM yang tinggal di Stockholm, Swedia. Jadi mereka datang kira-kira pada awal Januari lalu. Saya jelaskan kepada mereka apa saja kemungkinan yang terjadi dalam dialog itu, dan bertanya apakah mereka siap berpartisipasi. Lalu saya mengundang kedua pihak bertemu, dan dialog itu pun dimulai.
Dari pengalaman Anda, apa yang menjadi kesamaan atau mungkin yang spesial, dari dialog ini dengan sebelumnya?
Saya kira setiap situasi adalah spesial. Kalau mau berhasil, negosiator haruslah memperlakukan semua pihak dengan hormat. Tentu, mereka juga harus percaya dengan mediator. Saya mengajak kedua pihak membahas kesulitan yang akan dihadapi. Kadang Anda harus mengulang masalah sama berkali-kali. Saya usul setelah pertemuan putaran keempat, "Apakah Anda semua menerima kalau CMI menyiapkan draf perundingan?" Mereka ternyata menerima. Dan saya berjanji mengirimkannya kepada mereka secepat mungkin.
Jadi, Anda menyusun draf perjanjian itu?
Ya. Hampir 95 persen masalah dalam draf itu telah disepakati kedua pihak. Sisanya, kita perlu bicara lagi. Seperti Anda lihat, naskah perjanjian itu sangat singkat. Tak terlalu panjang, tapi memuat banyak informasi, dan sangat ringkas. Kita juga sepakat bahwa kedua pihak harus bertemu lagi, dan kita menyiapkan draf terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Apakah terjemahan itu menjadi dokumen resmi perjanjian?
Bukan. Yang resmi tetap dalam bahasa Inggris. Jadi hanya ada satu terjemahan yang disepakati. Seperti Anda lihat, Menteri Hamid dan Malik Mahmud memberikan parafnya pada naskah terjemahan itu. Jadi hanya ada satu terjemahan. Terjemahan itu penting kalau kita ingin melihat dalam versi Indonesia yang disepakati. Saya tak ingin ada sepuluh versi terjemahan, yang mengartikan draf secara berbeda-beda.
Masalah apa yang paling sulit diselesaikan selama perundingan?
Mungkin pada soal apa yang disebut otonomi atau self government, tapi semua mengerti bahwa solusi yang ada bergantung pada perundingan ini, bahwa Provinsi Aceh tetap berada dalam wilayah Indonesia.
Kalau soal militer dan polisi?
Polisi hanya bertugas menegakkan hukum, sedangkan militer tak berurusan dengan hal itu. Mereka hanya berfungsi secara langsung untuk pertahanan luar. Ini pembagian tugas yang penting, dan juga masalah peka. Seperti juga proses reintegrasi anggota GAM ke masyarakat dan mekanisme yang sudah dibangun untuk itu. Juga soal amnesti, ada perdebatan antara pemerintah dan GAM tentang siapa yang pantas mendapat amnesti. Mereka yang kriminal sudah jelas posisinya dalam soal ini. Seperti Anda lihat di naskah perjanjian, kepala misi pemantauan nanti akan memutuskan hal ini.
Seberapa besar kekuasaan Anda dalam perjanjian itu?
Saya sebetulnya sendiri saja dalam hal ini. Tak ada pemerintah yang mengarahkan saya. Juga tak ada organisasi internasional yang memberikan instruksi kepada saya. Sebenarnya kondisi ini agak ideal bagi mediator. Saya dan rekan saya di CMI punya wewenang untuk membantu proses damai ini. Kami menyiapkan apa saja yang kami suka. Dari sudut pandang pemerintah saya, ini juga ideal. Mereka menyediakan uang, fasilitas, dan juga keamanan. Kalau pekerjaan ini berhasil, tentu mereka mendapat pengakuan. Tapi, kalau gagal, hanya saya yang bersalah.
Kalau ada sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, bagaimana mengatasinya?
Ada tiga tahap, dan pada tahap akhir, ketika dua tahap sebelumnya tak berhasil, masalah itu pun akan datang kepada saya. Dan saya katakan kepada kedua pihak, saya berharap mereka tak pernah datang kepada saya. Saya katakan, "Anda harus belajar menyelesaikan masalah ini."
Misalnya, TNI bilang GAM menyelundupkan senjata, sebaliknya GAM menuduh TNI menambah kekuatan non-organik. Sebagai pemutus akhir, apa yang akan Anda lakukan?
Itu terserah kepada tim pemantau. Saya tak terlibat dalam kegiatan sehari-hari. Tentu, masalah seperti ini akan dibahas, karena saya punya informasi apa yang terjadi di Aceh, dan kadang saya memberitahukannya ke pemerintah kalau masalah itu menyangkut sisi pemerintah. Anda bisa melihat bahwa tugas Aceh Monitoring Mission (AMM) sangat detail, dan mereka punya kebebasan yang besar. Militer tak boleh bergerak sebelum ada pemberitahuan kepada kepala misi pemantau.
Kalau salah satu pihak melakukan pelanggaran, apa yang bisa dilakukan oleh tim pemantau?
Kita punya pasal penyelesaian sengketa. Sangat mungkin bagi ketua tim pemantau Pieter Fieth untuk menyelesaikan masalah ini. Kalau dia tak bisa, dia bisa datang kepada saya sesuai dengan peran saya. Mekanisme ini penting agar masalah tidak terbengkalai.
Mengapa tak ada sanksi bagi yang melanggar?
Saya kira lebih baik begitu. Sanksi bagi pelanggar sesuai dengan hukum yang ada, misalnya polisi bisa bertindak, demikian juga pengadilan. Saya tak tahu bagaimana reaksi komunitas negara pemberi bantuan. Anda tahu bahwa pemerintah Indonesia sekarang sudah berubah. Saya tak mengerti mengapa kedua pihak mau membuat perjanjian damai kalau tak mau melaksanakannya. Sebab, mereka akan banyak kehilangan hal yang penting kalau tidak bertindak secara benar. (Dengan perjanjian ini) mereka bisa mendapat goodwill yang banyak dari berbagai pemerintahan dan investor di dunia, baik di wilayah mereka sendiri maupun di Eropa.
Dari pengalaman Anda, adakah perjanjian yang punya mekanisme penegakan aturan agar di lapangan tak melenceng?
Tak ada sama sekali mekanisme penegakan aturan itu dalam pengalaman saya dulu. Di Namibia, peran saya adalah mengawasi dan mengendalikan proses penyelesaian secara politik. Di Kosovo, negosiasi berakhir di atas meja. Jadi, tak ada mekanisme penegakan aturan. Di sana ada program perdamaian yang dilaksanakan oleh PBB dan Uni Eropa di Kosovo. Tak ada sanksi yang diberlakukan.
Dalam perjanjian itu disebut bahwa segera dibentuk pengadilan hak asasi manusia bagi Aceh. Apakah pengadilan itu akan berlaku surut?
Tidak. Pengadilan itu berlangsung kalau ada pelanggaran hak asasi manusia setelah perjanjian ini diteken. Kita juga akan membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang kita harapkan bisa melihat kejadian-kejadian pada masa lalu. Ini model seperti Afrika Selatan, dan saya kira hal ini sudah dipahami kedua pihak sewaktu perundingan kita lakukan. Sebenarnya ini termasuk isu yang sulit dalam perundingan itu.
Dari semua butir nota kesepahaman itu, kira-kira, dari pengalaman Anda yang luas itu, apa yang paling sulit dilaksanakan?
Saya tak tahu. Yang penting semua itu harus dilaksanakan. Saya lebih tertarik melihat sistem pemantauan yang sudah kita buat bersama dan disepakati pemerintah Indonesia. Tentu, pada bulan-bulan pertama sangat penting, apakah semua senjata siap dimusnahkan, dan orang-orang kembali ke kehidupan normal. Apakah pemerintah menarik semua militer non-organiknya. Lalu, bagaimana polisi lokal bisa dilatih seperti yang sudah disepakati.
Sejak perjanjian ini diteken, Aceh terbuka kembali kepada semua media internasional. Pelarangan peliputan apakah bisa diadukan ke AMM?
Ya. Itu komitmen yang jelas. Sewaktu perundingan kemarin, saya kira tak ada masalah dengan akses media di Aceh, baik nasional maupun internasional. Semua sadar akan pentingnya peran media, karena media akan mencegah perundingan ini berjalan mencong. Misalnya, soal partai politik lokal. GAM mengatakan hak pendirian itu ada pada semua warga Aceh, baik yang mendukung mereka maupun bukan.
Soal partai politik, ini tampaknya situasi yang kritis bagi GAM. Mereka bertransformasi dari gerakan bersenjata ke gerakan politik?
Ya, tentu proses itu butuh waktu. Dan yang sangat penting adalah soal ekonomi, bagaimana mereka bisa menjadi warga masyarakat yang produktif. Itu sebabnya ada kompensasi ekonomi.
Masalahnya, masyarakat tampaknya belum disiapkan untuk proses reintegrasi gerilyawan GAM ini.
Ada hal bagus, masyarakat sipil Aceh bertemu di Stockholm dan Kuala Lumpur beberapa waktu lalu. Masyarakat bisa membahas soal perjanjian ini. Saya kira masyarakat sipil dan semua lapisan masyarakat akan bisa bersama-sama membangun kembali Aceh.
Martti Ahtisaari
Lahir:
- Karelia, Finlandia, 1937
- Jurusan Ilmu Pendidikan Universitas Oulo, Finlandia.
- 1965-1972: Berbagai pos jabatan di Departemen Luar Negeri Finlandia
- 1973-1976: Duta besar Finlandia di Tanzania, sekaligus Zambia, Somalia, dan Mozambik.
- 1977-1994: Deputi Menteri Luar Negeri Finlandia
- Perwakilan Khusus Sekjen PBB untuk Namibia
- Menteri Luar Negeri Finlandia
- 1994-2000: Presiden Finlandia
- 2000-sekarang: Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative
- Duta Khusus PBB untuk Afrika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo