Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

50 Hari Merumuskan Masa Depan Jakarta

Wagub DKI Riza Patria menjelaskan, saat ini tersedia beberapa pilihan status baru untuk Jakarta setelah bukan lagi Ibu Kota Negara.

4 Februari 2022 | 23.43 WIB

Tugu Selamat Datang di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. TEMPO/Aditia Noviansyah
Perbesar
Tugu Selamat Datang di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. TEMPO/Aditia Noviansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta punya waktu 50 hari untuk merumuskan masa depan Jakarta setelah tak lagi menjadi Ibu Kota Negara. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan diberi waktu 50 hari oleh Kementerian Dalam Negeri untuk menggodok naskah akademik RUU Kekhususan Jakarta.

"Kami sedang merumuskannya, karena diberi waktu oleh Kemendagri dalam 50 hari ke depan untuk menyelesaikan konsepnya, naskah akademik, dan sebagainya. Apa usulan dari Pemprov DKI Jakarta," ujar Riza di Balai Kota, Jakarta Pusat, Kamis, 3 Februari 2022. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Riza menjelaskan, saat ini tersedia beberapa pilihan status baru untuk Jakarta, antara lain pusat perekonomian, pusat perdagangan, kota bisnis, kota keuangan atau kota jasa perdagangan, kota jasa berskala global atau berskala internasional. Selain itu, Riza mengatakan ada pula pilihan menjadikan Jakarta pusat kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Dulu mohon maaf, yah, orang Malaysia belajarnya ke Indonesia, sekarang banyak orang Indonesia belajar ke Malaysia, begitu juga yang lainnya Sekarang ke depan indonesia bisa menjadi pusat perekonomian dan juga menjadi pusat pendidikan dan kesehatan. Itu harapan ke depan," kata Riza. 

Untuk merumuskan status baru itu, Wagub DKI Jakarta mengundang para pakar untuk duduk bersama. Riza Patria juga masyarakat untuk berperan aktif menentukan nasib Jakarta ke depan. 

"Ini semuanya ada timeline-nya. Ini akan dimasukkan ke Prolegnas 2023 untuk dibahas di DPR," kata Riza Patria. 

Selanjutnya Sylviana Murni berpendapat status Jakarta akan mirip Yogyakarta...



Menanggapi status Jakarta kelak, Ketua Komite III DPD RI Sylviana Murni berpendapat bakal mirip seperti Aceh dan Yogyakarta yang memiliki keistimewaannya sendiri. Sehingga warga Jakarta tak usah khawatir dengan perubahan status tersebut. 

"Jadi kita ga usah worried dengan kondisi usai Jakarta ditinggalkan sebagai Ibu Kota," ujar Sylviana. 

Mantan Wali Kota Jakarta Pusat itu mengatakan, Jakarta merupakan tempat lahirnya sejarah Indonesia dan konstitusi. Selain itu, walaupun tidak berstatus Ibu Kota, Jakarta tetap memiliki akar budayanya sendiri. 

"Jakarta itu kota multiplurarisme, toleransinya besar, masyarakat Betawi sangat egalitar. Kita menerima semua yang masuk," kata Sylviana. 

Dibanding khawatir dengan pencabutan status Ibu Kota, Sylvi mewanti-wanti agar aset pemerintah yang ada di Jakarta tidak jatuh ke tangan swasta. Menurut Sylvi beberapa aset pemerintah seperti misalnya Gedung DPR RI bakal kosong setelah Ibu Kota baru pindah sepenuhnya ke Kalimantan Timur. 

Apa lagi, ada rencana pemerintah pusat mau menguangkan aset-aset yang nilainya mencapai Rp300 triliun. Dana tersebut disebut bakal menjadi modal pembangunan Ibu Kota baru. 

"Jangan nanti (aset pemerintah) “oh ini mau dijual” atau apa, akhirnya berpindah tangan atau aset perorangan, bahkan menjadi aset swasta. Karena siapa yang mampu beli sebegitu mahalnya (aset pemerintah), siapa yang bisa nampung?" ujar Sylvi.

Selanjutnya aset pemerintah harus dicatat dalam sistem elektronik... 

Oleh karena itu, Sylvi mewanti-wanti agar seluruh aset pemerintah di Ibu Kota dicatat dalam sistem elektronik. Dengan cara itu, aset pemerintah yang ditinggal setelah pemindahan terjadi bakal aman. 

"Nah, ini e-aset ini ga boleh terlupakan, jangan sampai aset-aset kita hilang," kata Sylvi. 

Kepala Dinas Bina Marga DKI Hari Nugroho memastikan pembangunan infrastruktur ikonik akan tetap berlanjut meski Ibu Kota Negara pindah ke Kalimantan Timur. Berbagai infrastruktur itu, antara lain jembatan penyeberangan orang (JPO) ikonik hingga fasilitas publik yang lain. 

Hari mengatakan ke depan, Jakarta akan menjadi kota bisnis. "Service city sehingga menjadi destinasi bagi masyarakat urban, begitu masuk orang akan punya pengalaman baru,” kata Hari dalam seminar "Menata Jakarta Setelah IKN Pindah" di Jakarta, Jumat, 4 Februari 2022.

JPO adalah infrastruktur yang sengaja dibuat ikonik di Jakarta. Ada sejumlah JPO ikonik yang dibangun di Jakarta seperti JPO Sudirman dan JPO GBK. Hari mengatakan jembatan penyeberangan orang itu sengaja dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan semua lapisan masyarakat, mulai dari pesepeda hingga warga disabilitas atau lanjut usia (lansia).

Sejumlah kendaraan melintas di dekat pembangunan jembatan penyeberangan orang (JPO) Pinisi di kawasan Sudirman, Jakarta, Senin, 10 Januari 2022. TEMPO/Subekti.

"Meski bukan lagi IKN, Hari yakin Jakarta akan tetap menjadi tempat yang disenangi masyarakat,” ujarnya.

Meski DPR telah mengesahkan UU IKN, ternyata 58,8 persen warga Jabodetabek yang mengikuti survei cepat Pusat Kajian Kepemudaan (PUSKAMUDA) menolak pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Nusantara, Kalimantan Timur. Peneliti PUSKAMUDA Rissalwan Habdy Lubis menerangkan, survei diadakan tak lama setelah Jokowi mengumumkan nama Ibu Kota baru tersebut pada awal Januari 2022, dengan 500 responden dari Jabodetabek. 

"Lebih banyak responden dari kelompok usia 20 tahun ke atas, yakni 21,6 persen," ujar Rissalwan. 

Selanjutnya hanya 29 persen warga Jabodetabek yang setuju...

Dari survei tersebut, Rissalwan mengatakan hanya 29 persen warga Jabodetabek yang setuju dan sisanya 11,8 persen tidak peduli. Alasan masyarakat setuju pemindahan Ibu Kota antara lain, agar ada perbaikan kualitas lingkungan di Jakarta dan memandang perlu adanya pemisahan pusat ekonomi dan pemerintahan.

Sedangkan alasan tidak setuju, karena memandang nilai historis Jakarta sebagai Ibu Kota Negara, kekhawatiran kerusakan lingkungan di Kalimantan sebagai paru-paru dunia, membebani APBN, dan keputusan politis yang gegabah. 

"Lalu karena khawatir fokus penanganan Covid-19 jadi terabaikan. Padahal kasus Covid-19 sedang naik lagi," ujar Rissalwan. 

Alasan lain masyarakat setuju pemindahan Ibu Kota, karena berharap terciptanya peluang bisnis yang baru serta lingkungan yang lebih baik dan tertata. Untuk pihak yang tak bersedia, karena merasa bukan ASN sehingga tak memiliki ke harus an untuk pindah, ketiadaan modal untuk pindah, merasa sudah nyaman dan mapan di Jakarta. 

Ketiadaan fasilitas umum yang belum dibangun juga menjadi salah satu alasan masyarakat menolak pindah ke IKN Nusantara. "Ada juga pengorbanan dalam hal jejaring sosial dan kekhawatiran pergesekan sosial berbasis kesukuan," kata Rissalwan. 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus