Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa perkara makar Papua Anes Tabuni, menyebut pihak Polda Metro Jaya meneleponnya satu hari setelah mengajukan surat pemberitahuan unjuk rasa. Menurut dia, surat itu diserahkan ke polisi pada 26 Agustus 2019. Seseorang justru mengajaknya makan siang, bukan membahas soal surat tanda terima pemberitahuan (STTP).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Mereka ajak makan siang tapi tidak memberitahu soal surat pemberitahuan, maka saya memutuskan tidak datang," kata Anes di hadapan majelis hakim Pengadian Negeri Jakarta Pusat, Senin, 10 Februari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anes menceritakan, dirinya selaku koordinator lapangan aksi datang ke Polda Metro Jaya untuk mengirimkan surat pemberitahuan unjuk rasa. Dia menyebut bertemu dengan petugas penerima surat di Direktorat Intelijen Keamanan (Intelkam) Polda Metro bernama Juventus dan Adam.
Saat itu pula Anes menyerahkan surat pemberitahuan aksi. Akan tetapi, polisi tak memberikan STTP. "Juventus memberitahukan kepada saya bahwa aksi berjalan saja," ucap Anes.
Anes lalu mempertanyakan bahwa apa yang dialaminya berbeda dengan kesaksian mantan Kepala Satuan Intelijen Keamanan (Kasat Intelkam) Polres Jakarta Pusat AKBP Danu Wiyata dalam sidang hari ini. Jaksa sebelumnya menghadirkan Danu sebagai saksi untuk enam terdakwa makar yang merupakan aktivis Papua.
Danu menyampaikan, massa aksi seharusnya mengantongi STTP yang dikeluarkan polisi. Jika tidak, maka unjuk rasa bersifat ilegal alias tidak sah. Danu mengaku telah menghubungi Anes untuk menyampaikan informasi itu. Namun, Anes tak merespons.
Dia lantas meminta Polda Metro Jaya agar memberitahu Anes bahwa syarat STTP terbit adalah harus ada audiensi polisi dengan penanggung jawab aksi terlebih dulu. Sayangnya, dia mengatakan, Anes tak datang audiensi.
"Karena tidak mau hadir maka tidak ada surat tanda terima pemberitahuan," ujar Danu.
Enam aktivis Papua yang terseret perkara makar adalah Paulus Suryanta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Anes Tabuni dan Arina Elopere. Mereka ditangkap polisi karena mengibarkan bendera Bintang Kejora saat unjuk rasa menuntut referendum di depan Istana Merdeka pada 28 Agustus 2019.
Jaksa penuntut umum mendakwa Suryanta Cs dengan dua pasal alternatif. Yaitu, Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP soal makar dan Pasal 110 ayat 1 KUHP ihwal permufakatan jahat.