Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra, menyoroti tren peningkatan anak yang berkonflik dengan hukum (ABH) belakangan ini. Ia mendesak revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kondisi semacam ini membuat adanya dorongan publik agar pemerintah melakukan langkah lebih efektif untuk mencegah terjadinya ABH," ujar Dhahana dalam keterangan resmi, Ahad, 15 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menuturkan, secara konstitusional, hak-hak anak telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Beleid itu menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
“Harus diakui, meningkatnya kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual yang melibatkan anak, belakangan menimbulkan pertanyaan bagaimana agar pendekatan restorative justice kepada ABH ini dapat berjalan dengan efektif,” kata Dhahana.
Ia menjelaskan di Indonesia, restorative justice secara formil baru diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Secara formil, beleid tersebut adalah tonggak peradilan pidana Indonesia berparadigma restorative justice. Pasal 5 ayat (1) UU SPPA menyatakan sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
UU SPPA juga memperkenalkan konsep diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak, dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPPA disebutkan, anak yang berhadapan dengan hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi, dengan ketentuan dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Namun, mengingat tren peningkatan kasus kejahatan seperti pembunuhan dan kekerasan seksual oleh anak yang ancaman pidananya di atas 7 tahun, Dhahana menilai perlu melakukan penyesuaian terhadap UU SPPA. Sebab, diversi dalam UU SPPA tidak berlaku untuk kasus dengan ancaman pidana di atas 7 tahun.
“Penyesuaian ini harus memperjelas kapan rehabilitasi dapat diberikan dan kapan proses hukum formal lebih sesuai," tutur Dhahana. "Dengan juga mempertimbangkan keadilan bagi korban, dan di sisi lain tentu tanpa mengabaikan hak anak."
Dengan adanya revisi UU SPPA, ia berharap dapat membuat proses hukum lebih adil dan sesuai dengan dinamika tindak kriminal yang berkembang. “Dengan penyesuaian ini, diharapkan anak yang terlibat dalam kejahatan dapat mendapatkan kesempatan rehabilitasi yang efektif, sementara hak-hak korban juga tetap terjaga,” ujarnya.
Selain itu, Dhahana juga menggarisbawahi perlunya pengaturan restorative justice dalam undang-undang atau peraturan pemerintah. Selain di UU Peradilan Anak, penerapan restorative justice di Indonesia baru diatur dalam Peraturan Kepolisian, Peraturan Kejaksaan, dan Peraturan Mahkamah Agung.