Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Sekolah Alam di Rimba Muncang

Masyarakat adat Kasepuhan Karang di Lebak, Banten, menularkan budaya hijau kepada anak-anak mereka. Setiap anak harus tahu cara menanam pohon.

17 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK-ANAK Kasepuhan Karang berbondong-bondong pergi ke hutan adat pada Ahad, 26 Juni 2022. Mereka kompak mengenakan kaus seragam hijau bertulisan “Bibilitrik Ti Leutik”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adang Sabroni, 50 tahun, warga Kasepuhan Karang sekaligus guru SDN 1 Jagaraksa, yang mengajak mereka ke hutan. Didampingi pemuda adat dan atas dukungan kepala desa, Sabroni memberikan pendidikan konteksual tentang menanam pohon. Menyiapkan ratusan bibit kopi, dia mengajari anak-anak Kasepuhan Karang cara menanami lahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bibilitrik ti leutik artinya berjuang sejak kecil agar dewasa tinggal memetik,” kata Oni—panggilan Adang Sabroni—kepada Tempo di lokasi, Kamis, 11 Agustus lalu.

Kasepuhan Karang merupakan komunitas masyarakat adat yang secara administratif berada di Desa Jagaraksa, Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak, Banten. Warganya tersebar di 4 rukun warga dan 14 rukun tetangga di Kampung Cikadu, Cilunglum, Karang, Cibangkala, Kapudang, Kadongdong, dan Warung Pojok.

Bagi Sabroni, yang menjadi guru sejak 2004, mendidik anak-anak Kasepuhan Karang tidak cukup dengan mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Mereka, Oni melanjutkan, harus bisa bercocok tanam di hutan. Paling tidak, bisa menanam pohon. Dengan pertimbangan itulah Oni menggelar kelas Bibilitrik Ti Leutik di luar jam pelajaran. “Jangan sampai anak Kasepuhan Karang tidak bisa menanam pohon,” ujarnya.

Dia memantapkan hati untuk terus menggelar kegiatan di luar jam sekolah ini. Ke depan, anak-anak tidak hanya diajarkan menanam kopi, tapi juga komoditas lain yang bermanfaat dan memiliki nilai jual.

Tokoh Masyarakat Adat Kasepuhan Karang, Adang Sabroni. TEMPO/M Taufan Rengganis

Bagi Oni, penghijauan tidak semata bernilai ekonomi, tapi juga lebih ke upaya pelestarian lingkungan. “Hutan jangan sampai gundul, jangan sampai ada erosi yang membahayakan, dan masyarakat harus subur,” kata dia.

Konsultan karier dan pendidikan dari Jurusanku, Ina Liem, menilai pengajaran di lapangan seperti yang dijalankan Oni membuat pembelajaran menjadi lebih efektif. Berbeda dengan penjelasan di kelas yang cenderung abstrak, metode praktik langsung di lapangan akan lebih terpatri pada memori anak-anak.

Menurut Ina, mendekatkan anak ke alam seperti Bibilitrik Ti Leutik bisa memercikkan ide-ide inovatif bagi para murid di masa mendatang. “Masing-masing daerah punya local wisdom yang harus ditanamkan secara turun-temurun ke generasi muda supaya tidak hilang,” ujar Ina kepada Tempo.

Tempat pembibitan kopi yang dibagikan gratis untuk masyarakat adat Kasepuhan Karang. TEMPO/M Taufan Rengganis

Selain untuk mendidik anak-anak tentang menanam pohon di hutan, pemuda adat Kasepuhan Karang, Dede Sampai Nurjani, mengatakan kegiatan Bibilitrik Ti Leutik ditujukan untuk memperluas penanaman kopi di hutan adat. Pasca-pengakuan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 28 Desember 2016, masyarakat adat Kasepuhan Karang terus berupaya mengoptimalkan potensi hutan dengan tetap menjaga kelestariannya.

Masyarakat adat Kasepuhan Karang memiliki keyakinan bahwa pengelolaan lingkungan harus menitikberatkan pada keseimbangan. Apa yang masyarakat ambil dari alam harus selaras dengan apa yang masyarakat berikan kepada alam. Dari prinsip tersebut, Kepala Desa Jagaraksa, Jaro Wahid, mendorong pengelolaan hasil hutan non-kayu. Dengan demikian, warga bisa memetik hasil, tapi pohon tetap utuh.

Kasepuhan Karang punya target ambisius: menanam 1 juta pohon di hutan adat pada 2032. Dari penghitungan terakhir yang berlangsung pada 2018, Jaro melanjutkan, ada 35 ribu pohon di rimba mereka. Di antaranya pohon durian, manggis, duku, mangga, dan petai. Pohon kopi yang ditanam warga tidak mereka hitung. “Demi menjaga bumi, merawat hutan untuk kehidupan semua makhluk,” kata Jaro.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus