Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Igak Satrya Wibawa, mengatakan mural merupakan seni jalanan yang sudah dikenal sebagai media komunikasi bagi masyarakat untuk menyampaikan pesan, harapan, dan kritik kepada pihak yang mempunyai kekuasaan tertentu. Meski begitu, mural berbeda dengan grafiti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, grafiti lebih menonjolkan ekspresi pelukis dan sifatnya terkadang sangat personal karena hanya berupa tulisan atau simbol yang mewakili suatu entitas. "Sedangkan mural memiliki makna dan pesan lebih dalam. Kebanyakan ditempatkan di ruang publik dengan tujuan dilihat banyak orang," kata dia seperti dikutip Tempo dari laman Unair News, Kamis, 19 Agustus 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Igak menyebut etika dan perizinan mural di ruang publik bisa dilihat dari beberapa dimensi. Dilihat dari dimensi etis, properti publik tentu tidak bisa dipakai tanpa izin. "Namun, ini menjadi paradoks bila dilihat dari dimensi perlawanan, yaitu kasusnya harus menabrak etika, karena namanya juga perlawanan," ujarnya.
Sedangkan dalam dimensi seni, lanjut dia, wajar bila mural dijadikan simbol perlawanan, kritik atau pun harapan, dan sah saja bila penempatannya dalam ruang publik agar bisa didengar dan dilihat publik. "Agaknya susah bila menghadapkan seni dengan aturan karena seni kadang harus membenturkan keduanya," katanya.
Menurut Igak, mural dengan kritik sosial sama halnya baliho dengan pesan-pesan politis, yaitu sama-sama memanfaatkan ruang publik sebagai saluran penyampai pesan. "Hanya bedanya, mereka yang official punya kuasa, wewenang, dan memiliki privilegie tertentu menggunakan baliho," ungkap dosen mata kuliah Visual Culture & Creative Arts ini.
Sedangkan masyarakat yang tidak punya privilege, lanjut dia, melihat ruang-ruang penyampaian pendapat tersumbat di sana-sini. Akhirnya, mereka memilih mural sebagai media yang frontal dan efektif dalam menyampaikan pesan.
Di era digital, kata dia, semua orang bisa mengabarkan apa saja dan siapa yang menjadi sasaran kritik melalui mural perlu memperhatikan tanggapan yang akan diberikan. "Karena apapun bisa menjadi sesuatu yang besar bila direspon dengan cara yang salah dan bila ditanggapi secara reaktif, maka kemungkinan akan semakin menggaungkan pesan dalam mural," ujarnya.
AMELIA RAHIMA SARI