Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Wawancara tempo dengan bekas Direktur Utama Garuda M. Soeparno tentang pengantian Dirut, manajemen dan pelayanan Garuda. juga pembelian pesawat md-11 dan korupsi di Garuda maintenance facility.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANAK Cirebon tamatan SMEA yang pernah menjadi guru SMEP ini ternyata mampu meniti karier selama 33 tahun, dari juru timbang hingga ke puncak Garuda Indonesia. Tak banyak orang seperti M. Soeparno. Namun, seperti tiap orang yang sampai ke pucuk, hanya ada satu jalan, yaitu turun. Pekan lalu, hal itu terjadi. Ia menyatakan sudah lama siap diganti. Namun, ia ternyata merasa kaget juga. Eksekutif berusia 53 tahun itu ternyata diganti oleh Wage Mulyono, yang berusia 57 tahun. Agak sulit juga mencari alamat kediamannya di Kompleks Polri kawasan Kuningan. Kendati harus melalui jalan kampung berbatu-batu, rumahnya ternyata cukup megah. Di pekarangan rumahnya tampak dua mobil BMW (satu masih berpelat putih baru) dan dua sedan Honda. "Ini rumah milik instansi Garuda," katanya kepada TEMPO yang datang mewawancarainya. Di bawah ini petikannya: "Saya sudah mendapat pacar, anak, istri, cucu, dan mendapat posisi di Garuda. Nah, kalau saya berbuat sesuatu yang jelek terhadap Garuda, moral saya mau dikemanakan? Sebab, sejak Garuda masih sengsara, saya sudah bekerja di sana. Apa alasan penggantian? Saya tidak tahu. Tidak tahu. Betulkah hubungan Anda dengan Menteri Perhubungan Azwar Anas, sebagai atasan, kurang harmonis? Ketika ditunjuk sebagai Dirut Garuda, saya baru datang dari luar negeri. Jadi, kami belum saling mengenal. Jadi, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak suka sama Pak Azwar secara pribadi. Barangkali ini ada pengaruhnya dengan cara hidup saya di luar negeri selama 17 tahun. Kalau saya ngomong ceplas-ceplos sama Anda, mungkin bisa diterima. Tapi kalau dengan menteri, sangat tergantung, siapa menterinya. Meskipun berkali-kali saya bilang sorry pak, kalau sudah di atas meja perundingan, saya harus menyampaikan pendapat saya. Kelihatannya Anda kurang setuju bila departemen terlalu banyak ikut campur dalam manajemen Garuda? Soal bisnis angkutan udara, barangkali saya sedikit lebih tahu daripada yang lain. Bisnis ini tidak bisa dikerjakan dengan mekanisme spekulasi. Kita ini persero, yang sebetulnya tunduk pada UU Hukum Dagang. Kekuasaan tertinggi adalah pemegang saham. Tapi PP 3 menyatakan pembinaan oleh departemen teknis. Pengertian pembinaan ini macam-macam. Ada yang mengatakan BUMN menjadi instrumen departemen itu. Tapi, BUMN kan bukan pegawai negeri. Ada yang bilang manajemen Garuda di bawah Anda terlalu boros. Antara lain dalam menjamu tamu-tamu? Begini. Keuntungan Garuda itu bukan terletak pada jumlah pendapatan. Yang paling banyak justru karena kita menekan biaya dan menutupi kebocoran. Mengenai jamuan itu . . . sudah ada anggarannya. Saya kira jumlahnya tak sampai 10% dari total biaya. Lagi pula, keadaan sekarang ini kan lain dengan zaman Pak Wiweko. Dulu Garuda duitnya nol. Tapi, karena Pemerintah banyak duit, Garuda bisa beli pesawat. Sekarang Garudanya bagus, tapi Pemerintahnya tidak punya duit. Dulu, untuk meletakkan landasan saja, Pak Wiweko membutuhkan waktu 16 tahun. Tapi saya dikasih waktu hanya empat tahun. Pembelian pesawat MD-11, apakah benar pilihan Anda ataukah titipan instansi lain? Apakah tak salah pilih? Untuk MD-11, persoalannya begini. Baru pada 1988 kita bisa berbicara mengenai pembelian pesawat. Namun, pada waktu itu usaha penerbangan sedang ramai, sehingga pemesanan pesawat harus antre hingga tujuh tahun. Nah, yang paling cepat bisa menyerahkan pesawat adalah McDonnell Douglas, yaitu untuk pesawat MD-11 tadi. Padahal, kita harus cepat-cepat mengambil momentum. Ukuran MD-11 ini sangat cocok dengan jumlah penumpang kita yang 250 orang untuk point to point. Jadi, untuk jenis pesawatnya sendiri, itu memang pilihan Garuda. Tentunya dengan pertimbangan teknis. Hanya saja, belakangan ada kesalahan dari pembuatan, sehingga tak sesuai dengan janji. Dulu, mereka bilang MD-11 bisa terbang 18 jam nonstop, tapi nyatanya hanya 14 jam. Karena itu, pesawat tersebut kita pakai untuk tujuan Hong Kong dan Tokyo. Tapi, cara pembelian dan pendanaannya, nah, ini yang saya sesalkan. Sistem yang paling baik ialah seperti yang dilakukan Singapore Airline: beli langsung ke pabrik, kemudian dibayar oleh bank, dan dicicil oleh perusahaan. Ini disebut financial lease, si perusahaan berhak membeli. Sedangkan dalam hal Garuda, leasing itu dilakukan oleh suatu konsursium PT Aerowisata (anak perusahaan Garuda -- Red.), PT Humpuss, PT Bimantara, dan sebuah perusahaan dari Jerman. Jadi, Garuda sebagai penyewa biasa dan harus mengembalikannya bila masa leasing habis. Ngomong-ngomong, katanya ada korupsi di Garuda Maintenance Facility, satu bagian dari Garuda? Saya tak pernah mendengar. Belum pernah ada laporan dari satuan pengawas intern maupun BPKP. Mamang ada satu catatan dari BPKP, yakni banyak suku cadang yang terdaftar dalam komputer tapi barangnya sudah tidak ada. Nilainya sekitar Rp 9 milyar. Ini, mungkin, akibat kami pindah dari Kemayoran dan Halim ke Cengkareng. Tapi itu sudah sejak zaman Pak Lumenta. Waktu itu saya sendiri masih di luar negeri. Saya minta agar itu diputihkan. Masa, harus dibawa terus. Tapi bekas Direktur Teknik, Sumedi Amir, kan sampai dipanggil Kejaksaan Agung? Bukan diperiksa. Tapi karena ada berita-berita di media massa, hal ini sempat ditanyakan oleh Kejaksan Agung. Dan jangan dihubung-hubungkan dengan berhentinya Pak Sumedi dari Garuda. Beliau berhenti karena sakit. Agaknya pelayan Garuda belum juga baik. Saya kira itu tidak akan habis-habisnya. Dan itu bukan monopoli Garuda. Coba ambil rate keterlambatan perusahaan penerbangan yang ada di ASEAN, Anda akan tahu perbandingannya. Memang, pembangunan yang pesat menyebabkan tuntutan masyarakat pemakai jasa Garuda besar sekali, sedangkan pengetahuan pemakai maupun penyelenggara jasa itu sendiri terhadap bisnis penerbangan masih sedikit. Jadi rendahnya pelayan itu juga karena teknis? Benar. Jumlah mekanik yang kita punyai sangat terbatas, tak lebih dari 300 orang, sedangkan jenis pesawat dan mesinnya terlalu banyak Sehingga kita memerlukan teknisi-teknisi khusus. Dulu saya sudah minta agar ada standardisasi, paling tidak untuk jenis pesawat saja. Tapi susahnya setengah mati. Kenapa? BUMN ini kan bosnya banyak. Departemen ini punya hubungan dengan pabrik ini, departemen itu dengan pabrik lainnya. Dari semua itu, pantulannya kepada kitakita ini, yang melaksanakannya. Dan yang sangat kecewa, kalau toh saya punya kesalahan, ya, dikasih tahu . . . . Sehingga saya bisa memperbaikinya. Kalau melihat pengganti Anda yang berusia 57 tahun, agaknya belum pantas untuk cepat-cepat pensiun. Umur saya baru 53 tahun. Sampai saat ini kesehatan saya masih prima, belum pernah sakit-sakitan. Dan saya pun masih bisa berbakti, kalau memang diperlukan. Toh, sekarang ini kan banyak pejabat yang masih dibutuhkan pemerintah, meskipun usianya sudah di atas 55 tahun. Max Wangkar, Bambang Aji, dan Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus