Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rapor seorang direktur utama

Peningkatan laba Garuda didapat dari fasilitas yang diberikan pemerintah. Soeparno berjasa meningkatkan hasil penerbangan internasional, meskipun royal dan pelayanannya kurang.

25 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA penggantian jabatan Direktur Utama Garuda Indonesia tidak habis begitu saja setelah upacaranya usai. Maklum, ini perusahaan milik republik, menyangkut soal pelayanan dan rasa bangga orang banyak, dan asetnya bernilai Rp 1,9 trilyun sejak Januari 1988. Soeparno, direktur utama yang baru saja diganti, seorang bekas pejabat pemasaran, selama ini sudah tersiar berhasil mengibarkan Garuda Indonesia menjadi maskapai penerbangan dengan reputasi lumayan. Menurut Majalah Fortune edisi Desember 1991, Garuda berada pada urutan ke-30 dalam The Top 50 Airline Companies -- kendati komentarnya menyinggung bahwa di Indonesia orang tak punya pilihan lain kecuali naik Garuda (yang sebenarnya tak seluruhnya benar). Sebelum itu, akhir tahun lalu dikabarkan pula Garuda hendak membeli saham Australian Airline, maskapai 100% milik Pemerintah Australia, yang sebagian sahamnya memang sengaja dilepas dalam program penswastaan. Kecuali itu, Garuda telah pula membuktikan diri sebagai salah satu BUMN yang meraih untung. Pada 1991, labanya di atas Rp 239 milyar, meskipun ini berarti turun dari tahun sebelumnya. Pada 1990, labanya lebih dari Rp 330 milyar. Ini antara lain juga diungkapkan oleh Menteri Perhubungan Azwar Anas pada upacara serah terima jabatan direktur utama Garuda, Jumat pekan silam. Sehingga, kata Azwar Anas, pada 1991 lalu Garuda membayar pajak sekitar Rp 102 milyar. Bahkan, pada 1990 Garuda membayar lebih banyak lagi, lebih dari Rp 113 milyar. Namun, perhitungan angka itu banyak yang menyangsikan. Benarkah itu merupakan prestasi Soeparno atau hanya hasil rekayasa pengaturan pembukuan saja? Atau, yang memberikan untung itu bukan bidang usaha penerbangannya, melainkan keseluruhan Garuda Indonesia atau Garuda Group -- yang membawahkan usaha jasa boga (aero catering), biro perjalanan (Satriavi), dan beberapa hotel (melalui Aerowisata)? Seorang bekas pejabat di Departemen Perhubungan berkata, "Di Garuda, soal untung dan tidak untung itu politis sifatnya. Karena, merupakan pertimbangan direksi." Sumber itu melanjutkan, di zaman Wiweko Supono menjadi direktur utama, Garuda memang dinyatakan tidak untung. Yang dilakukan direksi waktu itu, antara lain memutuskan jangka waktu depresiasi adalah tujuh tahun, lebih pendek dari biasanya. Dengan perhitungan ini, Garuda tidak untung, kendati uangnya banyak. "Dananya dimanfaatkan untuk panjar penambahan armada karena Garuda perlu berkembang," katanya. Tidak mudah mengecek sejauh mana pernyataan itu benar. Wiweko Supono tak bisa dihubungi. Tetapi, setelah Soeparno menggantikan RAJ Lumenta, Januari 1988, angka keuntungan menjadi spektakuler. Pada tahun pertama masa jabatannya, ia diberitakan berhasil meningkatkan laba perusahaan menjadi Rp 127 milyar. Sebelumnya, 1987, laba itu hanya Rp 299 juta. Peningkatan jumlah laba sampai di atas 400 kali lipat itu (menurut laporan tahunan Garuda) kemudian diketahui bukan karena meningkatnya hasil usaha dari operasi, melainkan karena kemudahan yang diberikan Pemerintah. Soeparno meminta Pemerintah agar kerugian Garuda akibat devaluasi dibebankan pada tahun buku bersangkutan. Dan, permintaan tersebut dikabulkan. Sementara beban sudah dikurangi, pada 1988 Pemerintah menambahkan pula penyertaan modalnya dari Rp 600 milyar menjadi Rp 1 trilyun. Selanjutnya, Garuda memperoleh pula pinjaman dari pemerintah (untuk modal kerja) dengan bunga 11% -- seperti kemudahan bagi eksportir. Ketika itu, bunga komersial di pasar uang 24% -- 25%. Ketika berhasil menduduki posisi direktur utama, sejak awal Soeparno mengaku sudah bicara di depan rapat umum pemegang saham -- maksudnya di depan wakil-wakil Pemerintah -- Garuda perlu fleksibel dan lincah. "Mengelola bisnis transpotasi udara," seperti katanya dalam wawancara dengan TEMPO, "tidak bisa digandengkan dengan suatu mekanisme birokrasi." Sikap yang seperti itu, oleh sebagian orang, diartikan sebagai protes halus Soeparno atas keterlibatan Departemen Perhubungan yang terlalu jauh ikut menentukan kebijaksanaan bisnis Garuda -- antara lain, yang masih hangat di ingatan, adalah kasus perjanjian antara Garuda dan Singapore Airline. Juga, dalam upaya mengurangi ongkos serta meningkatkan efisiensi pula, Soeparno berani menolak instruksi menerbangi jalur-jalur yang kurang menguntungkan. Misalnya, ia menghentikan jalur penerbangan ke Kairo. "Ini merupakan bagian dari restrukturisasi yang saya lakukan," katanya. Sementara, penerbangan ke Amerika, kendati merugi, tetap ia jalani. "Karena, merupakan misi Pemerintah menarik wisatawan." Target yang hendak dicapainya memang cukup tinggi. Menurut seorang manajer Garuda di daerah yang padat wisata, Denpasar, direktur utama yang sudah diberhentikan itu menghendaki Garuda masuk kategori sepuluh terbaik di antara perusahaan penerbangan di dunia. Untuk itu, pelbagai hal dilakukan, misalnya pengurangan jumlah jam keterlambatan, dari 30% awal 1988 menjadi 15% di akhir tahun itu juga. Pembenahan di dalam juga dilakukan oleh Soeparno, untuk mendukung target. Misalnya, program pengembangan pegawai. Juga, dengan meninjau kembali sistem kepangkatan dan jenjang karir. "Setelah 40 tahun, baru sekarang kami berhasil membuatnya," kata Soeparno pada ulang tahun Garuda ke-40, 26 Januari 1989. Pada tahun itu pula, gaji pilot dinaikkan. Seorang pilot Airbus 300, yang semula setiap bulannya membawa pulang Rp 1,6 juta, per Desember 1989 sudah bisa mengantongi Rp 3,5 juta. Ini penting mengingat para pilot Garuda makin sering bergaul dengan penerbang dari pelbagai negeri, yang gajinya tentu sangat besar. Sejak 1988, di bawah kepemimpinan Soeparno, Garuda memang telah meningkatkan jalur penerbangan internasional. Hanya, beberapa tujuan dalam negeri yang memiliki jalur ke luar negeri dipertahankan, misalnya Yogya, Medan, Denpasar, dan Ujungpandang. Menurut Direktur Niaga Garuda Sunarjo, jalur-jalur itu penting karana 90% penumpangnya orang asing. Saat ini, pendapatan Garuda 85% datang dari penerbangan internasional, yang 15% dari dalam negeri. Sebelumnya, ketika ditinggalkan Direktur Utama Lumenta pada 1988, menurut Lumenta sendiri kepada TEMPO, sumbangan penerbangan internasional hanya 45% dari seluruh pendapatan Garuda. Jalur paling gemuk antara lain penerbangan ke Jepang, yang tingkat pengisian penumpangnya sampai 85% (titik impasnya kalau terisi 60%). Peningkatan operasi ke jalur internasional itu, kabarnya, dirintis oleh Soeparno sejak ia masih menjadi direktur niaga, di bawah Lumenta. Pada 1984 itu, Garuda hendak meningkatkan penggunaan pesawat-pesawatnya yang sebagian menganggur. Antara lain, melalui servis patungan dengan Cathay Pacific (ke Bali), dengan Malaysian Airline, China Airline, KLM, dan Korean Airline. "Garuda menggaet keuntungan tripel dari kerja sama itu. Pesawat-pesawat jarak jauh Garuda bisa terbang, mendapatkan uang sewa penggunaan pesawat, dan kalau untung masih ikut menikmati," tutur Lumenta kepada TEMPO. "Dan, yang paling berjasa dalam soal ini, ya Soeparno." Namun, kepemimpinan Soeparno tak lepas dari kritik. Belakangan ini, sambil terus menggenjot operasi meningkatkan pendapatan di jalur penerbangan internasional, Garuda di pihak lain, rupanya tak mampu mengerem sejumlah keroyalan. Kecuali itu, pelayanannya pun dianggap cacat. Rupanya, kata Azwar Anas kepada TEMPO, Presiden Soeharto juga mengamati perkembangan kualitas pelayanan Garuda di bawah Soeparno, yang belum juga menjadi lebih baik. Sumber lain menyebutkan, salah satu yang membuat Pak Harto kecewa pada pimpinan Garuda adalah ketika bekas Wakil Presiden Umar Wirahadisumah hendak mengantar istrinya berobat ke Jepang, belum lama ini. Waktu itu, penerbangan terlambat selama tiga jam, tapi tidak ada kata maaf sama sekali dari pihak Garuda. Akhirnya, disposisi untuk meminta Soeparno mundur pun keluar. Tapi, kata Soeparno, "Saya masih bisa mendongak membuka muka, karena saya pensiun dari Garuda bukan karena korupsi dan Garuda pun dalam keadaan bagus." Mohamad Cholid, Linda Djalil, Bambang Aji, Dwi S. Irawanto, Sandra Hamid.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus