Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Nilai rupiah melemah dalam beberapa bulan terakhir, di kisaran Rp 16.000 per satu dollar AS, ini menyebabkan kekhawatiran di kalangan ekonomi dan masyarakat. Sejumlah faktor, baik dari sisi global maupun domestik, berkontribusi terhadap pelemahan mata uang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Perkembangan harga apapun baik, inflasi ataupun nilai tukar, selalu dipengaruhi dua faktor utama, yaitu satu faktor fundamental itu supply demand, kedua adalah berita," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers KSSK di Jakarta, Selasa, 30 Januari 2024, dikutip dari Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berikut adalah analisis mengenai penyebab utama pelemahan nilai rupiah dari berbagai sumber, antara lain dari Koran Tempo.
1. Penguatan Dolar AS
Salah satu penyebab utama melemahnya rupiah adalah penguatan Dolar AS. Kondisi ini dipicu oleh kebijakan moneter yang diambil oleh Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat, terutama kenaikan suku bunga yang agresif dalam upaya mengendalikan inflasi.
Suku bunga yang lebih tinggi di AS membuat aset-aset berbasis dolar lebih menarik bagi investor global, menyebabkan aliran modal keluar dari pasar negara berkembang termasuk Indonesia, dan masuk ke AS. Akibatnya, permintaan terhadap Dolar AS meningkat, sementara Rupiah mengalami tekanan.
2. Ketidakpastian Ekonomi Global
Ketidakpastian ekonomi global juga berperan dalam melemahnya rupiah. Konflik geopolitik, terutama perang Rusia-Ukraina, telah mengganggu pasar energi dan pangan global, menyebabkan lonjakan harga komoditas. Situasi ini menciptakan tekanan inflasi di banyak negara, termasuk Indonesia, dan mengurangi daya tarik investasi di pasar negara berkembang.
Selain itu, kekhawatiran akan potensi resesi global membuat investor lebih berhati-hati dan cenderung memindahkan investasi mereka ke aset yang dianggap lebih aman seperti Dolar AS.
3. Defisit Transaksi Berjalan
Di sisi domestik, defisit transaksi berjalan Indonesia juga menjadi faktor penyebab pelemahan Rupiah. Transaksi berjalan mencakup perdagangan barang dan jasa, serta aliran pendapatan dari dan ke luar negeri.
Ketika defisit transaksi berjalan meningkat, itu menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor lebih banyak barang dan jasa daripada yang diekspor, serta membayar lebih banyak pendapatan keluar dibandingkan yang diterima. Kondisi ini menciptakan tekanan tambahan pada Rupiah karena kebutuhan akan mata uang asing meningkat.
4. Inflasi Domestik
Inflasi domestik yang tinggi juga menjadi faktor penting dalam melemahnya rupiah . Kenaikan harga barang dan jasa di dalam negeri mengurangi daya beli masyarakat dan menekan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, inflasi yang tinggi sering kali memaksa Bank Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan moneternya, termasuk menaikkan suku bunga acuan.
Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mengendalikan inflasi, peningkatan suku bunga juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi aliran investasi asing.
5. Ketergantungan pada Impor
Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dan barang modal. Ketika harga barang impor meningkat atau ketika nilai tukar rupiah melemah, biaya impor menjadi lebih mahal.
Hal ini tidak hanya berdampak pada perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor, tetapi juga pada harga barang jadi di pasar domestik, yang pada akhirnya berkontribusi pada inflasi dan pelemahan lebih lanjut dari rupiah .
6. Aliran Modal Keluar
Pelemahan rupiah juga bisa diperparah oleh aliran modal keluar dari pasar finansial Indonesia. Investor asing cenderung menarik investasinya dari pasar negara berkembang ketika ada ketidakpastian ekonomi global atau ketika suku bunga di negara maju meningkat.
Aliran modal keluar ini menambah tekanan pada Rupiah karena menurunkan permintaan terhadap aset dalam mata uang rupiah dan meningkatkan permintaan terhadap mata uang asing.
Langkah Pemerintah dan Bank Indonesia
Dalam menghadapi pelemahan rupiah , Bank Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk menstabilkan nilai tukar. Langkah-langkah tersebut meliputi intervensi di pasar valuta asing, peningkatan suku bunga acuan, dan kebijakan makroprudensial lainnya.
Pemerintah juga berupaya untuk memperkuat fundamental ekonomi dengan mengendalikan inflasi, memperbaiki defisit transaksi berjalan, dan meningkatkan daya saing ekspor.
Selain itu, diversifikasi ekonomi dan peningkatan investasi domestik diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada impor dan memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur juga menjadi fokus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.